Tangis dalam Sepi Sang Pahlawan Spanyol
Stadion Camp Nou, el clasico, hari Minggu lalu. Pria bertubuh ramping berotot itu meninggalkan lapangan pada menit ke-58. Sekitar 95.000 penonton, sebagian besar pendukung Barcelona, juga sekelompok fans Real Madrid, sontak berdiri memberikan penghormatan, standing ovation, kepada pahlawan mereka, pahlawan Spanyol yang mencetak gol kemenangan pada Piala Dunia 2010, Andres Iniesta.
Inilah el clasico terakhir bagi ”Sang Seniman”, pemain bintang yang dicintai bukan hanya oleh fans Barcelona, bukan hanya oleh warga Katalonia, bukan hanya oleh warga Spanyol, tetapi oleh seluruh dunia, bahkan juga oleh lawan-lawannya.
Akhir Mei lalu, di Wanda Metropolitano, Madrid, final Copa del Rey, pria berkepala plontos ini juga mendapat sambutan yang lebih kurang sama kala meninggalkan lapangan pada menit ke-51. Lelaki 33 tahun itu baru saja menyelesaikan laga ke-670 sekaligus merebut piala dan gelarnya yang ke-32 bersama Barcelona, klub yang dicintainya dan ”keluarga” di mana dia menghabiskan masa remaja sejak usia 12, dengan peluh, air mata, dan tentu saja tawa.
”Di Metropolitano, itu adalah gol yang sarat emosi,” ujar Iniesta yang menyumbang satu gol saat Barcelona menekuk Sevilla 5-0 di final Piala Raja. ”Sarat perasaan, penuh kenangan. Saya melewati hari-hari yang luar biasa bersama klub hebat ini, Barcelona. Saya bahagia tak terkira,” lanjut Iniesta yang beberapa hari sebelumnya memastikan mundur dari Barcelona untuk bergabung dengan klub China, Chongqing Dangdai Lifan, menurut harian El Mundo.
Puluhan ribu pendukung Barcelona di Nou Camp, juga di Wanda Metropolitano, sulit untuk tidak melelehkan air mata. Sebagian meneriakkan namanya, ”Iniesta… Iniesta… Ole.., Ole…” dengan mata memerah. Mereka tidak sekadar kehilangan ikon, pemain bintang, tetapi juga seorang pria bersahaja yang menjadi representasi kesuksesan klub ini selama satu dekade lebih. Lidah mereka seolah kelu karena seakan telah berpisah dengan sebuah era yang gemilang.
Bagi jimat Barcelona, Lionel Messi, kehilangan Iniesta juga barangkali separuh jiwanya telah lenyap. Tanpa Iniesta, mungkin Messi tak pernah merasakan deretan gelar pemain terbaik dunia Ballon d’Or, mengangkat piala ”Si Kuping Besar” Liga Champions atau bahkan Sepatu Emas.
Saat meninggalkan lapangan hijau di Metropolitano, Messi memeluknya erat, seolah tak ingin Iniesta pergi. Bagi Messi, jarum jam seakan berhenti. Tak ada lagi sosok penyelamat ini musim depan, terpisah ribuan mil dari Camp Nou, dari Bernabeu, dari ajang-ajang dan tantangan Barcelona musim depan. Iniesta pergi 18 tahun setelah pertemuannya dengan Messi di Akademi La Masia.
Bagi Messi, Iniesta bukan sekadar kolega di lapangan hijau. Bagi ”Si Kutu” dari planet lain ini, banyak momen, terutama di kala sulit dan tekanan begitu berat, manakala bintang Argentina itu membutuhkan pertolongan, sokongan kepercayaan diri, Messi butuh Iniesta berada dekat dengannya.
Dalam biografi The Artist, Being Iniesta, Messi mengatakan, ”Di lapangan, saya ingin dia dekat dengan saya, terutama jika laga semakin berat dan berbalik menjadi buruk. Mendekatlah padaku, ambil alih kendali dan tanggung jawab! Dan dia selalu melakukannya dengan baik,” ujar Messi.
Masa gelap di La Masia
Di La Masia pula, sejarah Andres Iniesta bermula. Pada September 1996, saat region Kalatolina masih hangat, pada usia 12 tahun dia bergabung dengan keluarga akademi Barcelona yang termasyhur itu. Namun, hari-hari awal di La Masia bukanlah kenangan yang hendak disimpan selamanya.
Iniesta menggambarkan, saat dia datang pertama kalinya ke La Masia adalah saat terburuk dalam hidupnya. Jose Bermudez, senior dan rekannya di akademi, mengingat, Andres adalah bocah bertubuh kecil dengan wajah pucat, kurus, sedih, rapuh, dan sensitif. ”Dia (Iniesta) seperti bocah yang tidak berhenti menangis,” kata Bermudez mengenang.
Pada malam pertama bergabung di La Masia, Andres kecil terus menangis. Ayahnya, Jose Antonio, menginap di Hotel Rallye, hanya beberapa ratus meter jaraknya dari akademi. Jose tak bisa tidur memikirkan Andres kecil, yang dia paham mengalami kesepian di malam pertamanya. Kesuksesannya ditempa melalui tangisan-tangisan lirih.
Jose kemudian pergi ke rumah ayahnya, kakek Andres. Mereka kemudian berencana mengambil kembali Andres dan membawanya pulang. Konspirasi ini gagal, keburu terbongkar oleh ibu Andres, Mari. ”Biarkan dia mencoba!” ucap Mari, dan Andres kecil tetap di akademi untuk kemudian menjadi pesepak bola paling berjasa bagi Spanyol.
Dalam bukunya, The Artist, Iniesta mengenang momen-momen tersebut. Dia benar-benar merasa diabaikan kala Jose dan Mari pulang ke La Mancha, meninggalkan dia di La Masia. Mantan kiper Barca, Victor Valdes, masih ingat benar hari-hari pertama Iniesta di Barcelona. ”Kesuksesannya ditempa melalui tangisan-tangisan lirih,” kata Valdes.
Ya, Valdes benar, lewat perasaan terabaikan, air mata yang mengalir dalam sepi, Andres Iniesta menyelesaikan karier di Barcelona, 22 tahun kemudian, dengan sederet 34 piala dan gelar, termasuk satu gelar juara dunia dan dua gelar juara Eropa.
Gelar yang Diraih Andres Iniesta | |
Barcelona | |
9 La Liga: | 2004-05, 2005-06, 2008-09, 2009-10, 2010-11, 2014-15, 2015-16, 2017-18 |
6 Copa del Rey: | 2008-09, 2011-12, 2014-15, 2015-16, 2016-17, 2017-18 |
4 Liga Champions: | 2005-06, 2008-09, 2010-11, 2014-15 |
3 Piala Dunia Antraklub: | 2009, 2011, 2015 |
Spanyol | |
1 Piala Dunia: | 2010 |
2 Piala Eropa: | 2008, 2012 |
Inteligensia tinggi
Jika Messi sering disebut alien dari galaksi lain berkat kemampuannya menggiring bola dan mencetak gol, terutama dengan kaki kirinya yang ajaib, Andres Iniesta adalah konduktor pengatur irama permainan Barca yang membuat Messi berada di bawah lampu sorot. Tak sekadar pengatur strategi, Iniesta merupakan pemain dengan inteligensia paling menonjol di dalam tim.
Sebuah studi mengungkapkan, kemampuan Iniesta untuk menemukan ruang dan timing yang pas saat situasi kemelut dan rumit, melakukan umpan akurat pada situasi tertekan dan terimpit, jauh di atas rata-rata pemain lain, bahkan Messi dan Xavi Hernandez sekalipun.
Saat usianya telah mencapai 30 tahun lebih pun, inteligensia sepak bola Iniesta tak banyak menurun meski kecepatan dan staminanya mengalami degradasi. Dalam situasi paling menekan sekalipun, pemain yang dilahirkan di Desa Fuentealbilla, Provinsi Albacete, pada 11 Mei 1984 itu selalu mampu menemukan solusi. Tak mengherankan, Messi merasa sangat nyaman jika Iniesta berada dekat dengannya pada situasi yang sangat berat.
Pelatih Belgia Roberto Martinez menggambarkan Iniesta sebagai pemain dengan ”tiga mata” karena kemampuan pemain ini melakukan pemindaian kilat dalam situasi yang berlangsung hitungan sepersekian detik. ”Dia bergerak dengan bola sangat cepat, meliuk dengan kecepatan penuh, untuk kemudian melakukan umpan atau mencetak gol. Pemain lawan seolah mengejar bayangan,” ucap Martinez dengan takjub.
Dalam sejarah sepak bola modern, segelintir pemain membuat kita takjub dengan kemampuannya, tingginya IQ mereka dalam memainkan sepak bola. Bagi kebanyakan orang, bakat dan kemampuan mereka nyaris sulit diterjemahkan, bahkan lewat ilmu pengetahuan olahraga paling mutakhir sekalipun. Nyaris seperti misteri Ilahi.
Namun, sekelompok ilmuwan Skandinavia akhirnya menemukan jawaban misteri tersebut. Kelompok ilmuwan tersebut, kebanyakan berasal dari Institut Karolinska di Stockholm Swedia—satu dari sedikit universitas medis paling prestisius di dunia—yakin mereka telah menemukan jawaban atas misteri di lapangan hijau tersebut. Mereka mampu mengidentifikasi dan memilah faktor-faktor yang membuat seorang pemain bola mampu mempunyai IQ yang sangat tinggi melalui serangkaian penelitian di laboratorium.
Laporan The Guardian beberapa pekan lalu menyebutkan, penelitian itu didasarkan pada tes kemampuan kognitif 57 pemain sepak bola, laki-laki dan perempuan, dengan usia dan level pendidikan yang sama dari tiga divisi teratas liga sepak bola Swedia.
Tujuan tes ini sederhana, untuk mendapatkan gambaran kemampuan ”fungsi eksekutif” tiap pemain. Ke-57 pemain bola tersebut diuji dalam beberapa tes kemampuan dalam penyelesaian masalah (problem solving), perencanaan beragam tugas (multitasking), fleksibilitas kognitif, dan keandalan menghadapi perubahan.
Para ilmuwan meyakini, kemampuan ini berbeda dengan tingkat inteligensia (IQ). Sebagai contoh, selama tes, para pemain bola itu diminta menggambar pola geometri yang tidak berulang pada sebuah kertas untuk mengetahui ”kelancaran mendesain”, sebuah tes yang sangat populer untuk mengevaluasi kreativitas seseorang dalam kondisi penuh tekanan.
Tanpa banyak diketahui publik, Iniesta dan Xavi ternyata juga telah mengikuti tes tersebut dan hasilnya bisa ditebak, kedua pemain tersebut berada di peringkat teratas dalam kelancaran mendesain dan mendapatkan skor tinggi pada apa yang disebut ahli saraf sebagai ”penghambatan” atau kemampuan respons perilaku untuk menyelesaikan persoalan pada tugas yang datang serempak dengan tempo cepat. Xavi, sama seperti Iniesta, berada di peringkat atas untuk setiap tes.
Tidak mengherankan, pada era Iniesta dan Xavi berduet di lapangan tengah Barcelona, klub ini mencapai prestasi fenomenal dengan memenangi keseluruhan dari enam kejuaraan dan kompetisi pada musim 2008-2009 saat Pep Guardiola masih menjadi bos di Camp Nou.