Era Baru ”La Celeste” Bersama ”El Maestro”
Sepak bola merupakan salah satu identitas kebangsaan Uruguay. Itulah mengapa negeri berpenduduk sekitar 3,5 juta jiwa tersebut terus melahirkan talenta-talenta brilian. Skuad La Celeste pun menjadi salah satu tim terkuat bersama El Maestro Oscar Tabarez.
Sepak bola merupakan salah satu identitas kebangsaan Uruguay. Itulah mengapa negeri berpenduduk sekitar 3,5 juta jiwa tersebut terus melahirkan talenta-talenta brilian. Skuad La Celeste pun menjadi salah satu tim terkuat bersama El Maestro Oscar Tabarez.
Montevideo meriah. Jalanan riuh dengan pawai kemenangan Uruguay di Copa America 2011. Pesta kemenangan itu menjadi magnet yang menarik semua orang untuk turun ke jalan, termasuk seorang nenek berusia 80 tahun. Dia tidak pernah menikmati sepak bola, tetapi hari itu dia tak kuasa untuk tak turun ke jalan ikut berpesta.
Momen itu dituangkan dalam surat sang nenek kepada Oscar Washington Tabarez, Pelatih La Celeste, skuad Uruguay. Sepak bola dari negeri mungil yang diapit raksasa Amerika Selatan, Argentina, dan Brasil itu perlahan kembali ke panggung elite.
Tabarez yang ditunjuk menjadi pelatih pada 2006 merombak sistem pembinaan di negeri berpenduduk sekitar 3,5 juta jiwa itu. Sebelumnya, sepak bola kurang terurus. Sekadar mengandalkan bakat alami tidak cukup lagi di sepak bola modern. Puncaknya, Uruguay gagal lolos ke Piala Dunia 1994, 1998, dan 2006, serta tersingkir di fase grup Piala Dunia 2002.
”Ketika saya mengambil alih pada 2006, kami bahkan kesulitan mendapatkan lawan—kami tidak bisa bertanding,” ujar Tabarez kepada The Telegraph.
”Kami kesulitan untuk berkompetisi di level internasional. Kami tidak lolos ke Piala Dunia dan manajemen sebelumnya tidak menyiapkan laga-laga persahabatan. Kami seharusnya melakukan perjalanan hingga ke ujung dunia hanya untuk bertanding,” ujar Tabarez.
Tabarez kemudian merombak sistem pembinaan dengan penjenjangan tim nasional. Dia memulai dari U-15 supaya para pemain dalam rentang usia 20-25 tahun sudah bisa menjadi tulang punggung timnas senior.
Sistem yang dikenal dengan ”Proses Tabarez” itu meloloskan Uruguay ke Piala Dunia 2010 dengan usia pemain rata-rata 26,7 tahun, seperti dalam kolom Karan Tejwani. Luis Suarez, Edinson Cavani, dan kiper Fernando Muslera, yang waktu itu berusia 23 tahun, mengantar Uruguay finis di posisi keempat di Afrika Selatan. Tahun berikutnya, mereka menjuarai Copa America di Argentina.
Tiga pemain pilar itu, yang kini berusia 31 tahun, menjadi sosok kunci di skuad La Celeste untuk Piala Dunia 2018. Mereka, bersama kapten sekaligus bek tangguh Diego Godin, akan memimpin para pemain muda yang rata-rata berusia 20-23 tahun, seperti Nahitan Nandez, Rodrigo Bentancur, Lucas Torreira, Mauricio Lemos, Maxi Gomez, Giorgian De Arrascaeta, Jose Maria Gimenez, dan Federico Valverde. Dua nama terakhir mengantar tim muda Uruguay finis keempat di Piala Dunia U-20 tahun lalu.
Para pemain muda itu membuat Tabarez leluasa meracik variasi permainan. Lini tengah, misalnya, di bawah komando gelandang Inter Milan, Matias Vecino, bisa dimainkan dengan pola tiga ataupun empat pemain.
”Kami berharap memiliki pilihan yang lebih baik dari sebelumnya, khususnya di lini tengah,” ujar Tabarez sebelum uji coba melawan Ceko dan Wales di China, Maret lalu.
Lini tengah Uruguay sebelumnya identik dengan pemain-pemain berfisik kuat serta bermain lugas dan cenderung keras. Karakter itu diwakili oleh Diego Perez dan Egidio Arevalo yang menjadi jangkar ganda La Celeste pada Piala Dunia 2010.
Berubah
Selama kualifikasi Piala Dunia 2018, Tabarez lebih memilih pemain-pemain muda yang mampu menciptakan kreasi permainan, bukan sekadar memutus aliran bola lawan. Pola itu salah satunya diterapkan saat Uruguay menjamu Bolivia yang berakhir 4-2.
Pada laga itu, di mana La Celeste meraih tiket ke Rusia, lini tengah dipimpin oleh Vecino dalam pola 4-3-1-2. Sisi kiri ditempati Valverde dan sisi kanan diisi Bentancur. Adapun pemain 23 tahun Giorgian De Arrascaeta jadi pengatur permainan.
”Pertandingan hari ini banyak berlari. Ini sangat intens dan (para pemain muda) bermain bagus,” ujar Tabarez kepada ESPN.
Formasi lini tengah sering diubah oleh Tabarez seperti saat uji coba melawan Austria yang menerapkan pola 4-1-4-1. Vecino tak tergantikan. Valverde dan Bentancur didorong sedikit ke depan, diapit oleh De Arrascaeta di kiri dan pemain senior Jonathan Urretaviscaya di kanan. Uruguay kalah 1-2 di laga itu, tetapi permainan mereka menjanjikan bisa lebih baik.
Uruguay kini memiliki pemain tengah yang lihai menguasai bola, mengatur permainan dengan umpan-umpan jitu, sekaligus menjadi penghubung dengan duet algojo Suarez-Cavani. Tabarez membawa Uruguay ke era baru.
Permainan mereka lebih rumit dengan hadirnya pemain-pemain muda berkemampuan teknis tinggi. Mereka juga menyuntikkan kecepatan, faktor kunci di sepak bola modern dan karakter serangan balik La Celeste.
Pemain-pemain muda inilah yang menjadikan Suarez dan Cavani semakin berbahaya. Mereka bisa bermain seperti di klubnya dengan dukungan lini tengah yang memiliki visi permainan bagus. Ini ancaman bagi lawan-lawan Uruguay di Rusia.
Cavani musim ini kembali ke permainan terbaiknya bersama Paris Saint-Germain dengan 28 gol di Ligue 1 Perancis. Dia juga baru saja menceploskan gol ke-42 dalam laga ke-100 bersama Uruguay saat melawan Wales. Di kualifikasi Piala Dunia 2018, Cavani mencetak 10 gol, terbanyak di timnas Uruguay.
Adapun Suarez musim ini sedikit menurun bersama Barcelona dengan 24 gol di La Liga. Namun, kehadirannya di lapangan selalu menjadi teror bagi bek-bek lawan. Di timnas, dia pun semakin matang dan belum tergantikan dengan koleksi 50 gol dalam 97 laga internasional.
Mengawal dua predator gol Uruguay itu menuntut fisik prima, konsentrasi tinggi, dan akurasi dari bek-bek lawan. Kecerobohan saat melakukan intersep atau tekel, misalnya, akan berakibat fatal.
Stabilitas tim
Selain perubahan besar di lini tengah, Uruguay tidak kehilangan kekuatan di lini belakang. Godin yang telah berusia 32 tahun masih menjadi salah satu bek terbaik di dunia. Godin akan berduet dengan Jose Maria Gimenez, bek 23 tahun, rekan setim di Atletico Madrid.
Bek sayap yang menjadi salah satu karakter Uruguay dalam membangun serangan juga tidak kehabisan stok. Selain bek senior Martin Caceres, ada juga Guillermo Varela dan Gaston Silva.
Pemain senior, seperti Godin, Suarez, Cavani, dan Caceres, menjadi penyeimbang tim di saat para pemain muda dipromosikan ke tim utama. Stabilitas tim, menurut Godin, merupakan sukses besar La Celeste.
”Sukses besar tim ini adalah dalam delapan tahun setelah Afrika Selatan, kami menjaga konsistensi, di kualifikasi Piala Dunia, dalam Copa America,” ujar Godin yang telah tampil 116 kali bersama Uruguay.
”Ada kelompok pemain yang masih cukup bagus. Sejumlah perubahan telah dilakukan dengan memasukkan para pemain baru, para pemain muda yang juga berpengalaman karena tampil di Eropa sekaligus tim nasional usia muda,” ujar Godin kepada FIFA.
Era baru Uruguay ini membuat Godin berharap bisa mengangkat trofi Piala Dunia, yang terakhir kali diraih Uruguay 68 tahun lalu. ”Secara pribadi, ini bisa menjadi Piala Dunia terbesar saya karena pengalaman, usia, momentum, dan kedewasaan saya. Itulah mengapa saya ingin menikmati ini sepenuhnya dan juara,” ujar sang kapten.