Menanti Ledakan Kedua ”Dinamit”
Prestasi skuad ”Dinamit” Denmark pernah meledak pada era 1992-1998. Dalam generasi emas sepak bola Denmark itu ada nama kiper Peter Schmeichel. Kini, giliran putranya, kiper Kasper Schmeichel, serta mesin gol Christian Eriksen yang akan memantik ledakan kedua skuad Dinamit.
Denmark pernah membuat kejutan pada Piala Eropa 1992 di Swedia. Padahal, saat itu mereka beruntung karena pada awalnya hanya menggantikan tempat Yugoslavia yang tak bisa bermain karena dilanda perang dan perpecahan. Dengan persiapan hanya sepekan, permainan defensif Peter Schmeichel dan kawan-kawan justru ”meledak” dan mampu meraih gelar Piala Eropa untuk kali pertama. Di final, tim ”kuda hitam” itu menaklukkan Jerman, 2-0.
Tren positif terus berlanjut hingga Denmark menjuarai Piala Raja Fahd 1995, yang setelah dikelola FIFA berganti nama menjadi Piala Konfederasi. Denmark meraih gelar setelah di partai puncak menaklukkan Argentina, 2-0.
Tiga tahun kemudian, Peter Schmeichel dan kawan-kawan mampu menembus putaran final Piala Dunia Perancis 1998. Itu menjadi penampilan kedua Denmark di Piala Dunia setelah penampilan perdana 12 tahun sebelumnya.
Dengan pengalaman tampil di Piala Dunia yang sangat minim, mereka kembali mencuri perhatian. Pada debut Peter Schmeichel di Piala Dunia itu, tim Dinamit mampu meraih peringkat kedua Grup C di bawah Perancis. Sayangnya, laju mereka terhenti di perempat final setelah ditaklukkan Brasil, 2-3.
Skuad Dinamit pada periode 1992-1998 itu bisa dikatakan merupakan generasi emas Denmark. Pada kisaran periode itu pula, tepatnya tahun 1993 dan 1996, mereka menempati peringkat keenam dunia, tertinggi sepanjang sejarah sepak bola negeri itu.
Dua dekade berlalu, giliran Kasper Schmeichel mengikuti jejak ayahnya untuk menjalani debut di Piala Dunia. Setelah sukses fenomenal bersama Leicester City menjuarai Liga Inggris musim 2015-2016, Kasper bersemangat menjalani debutnya di Rusia. ”Bermain di Piala Dunia tentu saja menjadi impian saya. Tidak ada yang jauh lebih besar dari mewakili negara di Piala Dunia,” kata Kasper, seperti dikutip Leicester Mercury.
Kasper bersama gelandang serang Christian Eriksen dan Thomas Delaney memang menunjukkan kebangkitan kedua bagi tim Dinamit. Setelah terpuruk di peringkat ke-46 dunia pada 2016, terburuk dalam sejarah Denmark, mereka bangkit hingga dua tahun terakhir bisa menempati peringkat ke-12 dunia.
”Ledakan” Dinamit kali ini cukup terasa pada kualifikasi Piala Dunia 2018 zona Eropa. Sempat terseok pada awal kualifikasi Grup E saat ditekuk Polandia, 2-3, pada 8 Oktober 2016, Denmark justru tercambuk untuk memperbaiki performa tim. Hasilnya, mereka balas menaklukkan Polandia dengan skor telak 4-0. Selain itu, tim Dinamit juga tidak terkalahkan pada 10 laga berikutnya di kualifikasi dan play off.
Puncaknya adalah saat Dinamit menang telak 5-1 atas Irlandia pada laga play off, 14 November 2017. Permainan Eriksen pun meledak dengan mencetak hattrick pada laga itu. Gelandang yang bernaung di klub Liga Inggris, Tottenham Hotspur, itu menjadi pencetak gol terbanyak bagi Denmark di sepanjang kualifikasi dan play off Piala Dunia 2018, yakni 11 gol. Kemenangan gemilang atas Irlandia itu mengingatkan pada laga tahun 1985 saat Denmark lolos ke Piala Dunia 1986 setelah mengalahkan Irlandia dengan skor 4-1.
”Tidak sering saya mencetak hattrick, jadi jelas luar biasa untuk mencapai Piala Dunia dengan tiga gol dalam play off. Ini sangat berarti bagi seluruh karier dan hidup saya,” kata Eriksen dalam laman resmi FIFA.
Serasa ”deja vu”
Pada putaran final Piala Dunia Rusia 2018, Denmark berada di Grup C bersama tim unggulan Perancis, Australia, dan Peru. Denmark diprediksi akan bersaing ketat dengan Peru untuk memperebutkan posisi peringkat kedua grup, mendampingi Perancis ke babak 16 besar.
Namun, Denmark berpeluang memberi kejutan karena mereka pernah menaklukkan Perancis. Bagi Denmark dan Perancis, Piala Dunia kali ini serasa ”deja vu” karena sebelumnya mereka pernah dua kali bertemu pada penyisihan grup. Pada Piala Dunia 1998, tuan rumah Perancis menang 2-1. Denmark balas mengalahkan ”Les Bleus” pada Piala Dunia Korea Selatan dan Jepang 2002.
Pelatih Denmark Age Hareide menilai persaingan di Grup C bakal menarik. ”Ini grup yang sangat menarik dengan Peru dari Amerika Selatan, Perancis yang merupakan tim yang sangat kuat, serta Australia yang jauh dari kami dan sedikit asing. Ini (lawan) tersebar di seluruh dunia, jadi ini sangat menarik,” kata Hareide.
”Kami tahu banyak tentang Perancis, tetapi kami tidak tahu banyak tentang Australia dan Peru. Jadi, kami harus mempelajarinya dan menyusun strategi menghadapi mereka,” ujar pelatih berusia 64 tahun itu.
Hareide memang harus mengoptimalkan kekuatan timnya untuk mencuri poin pada penyisihan grup. Hareide mengandalkan formasi 4-3-3 meski sesekali ia menggunakan formasi 4-2-3-1 dengan pemain senior Niklas Bendtner yang kini membela Rosenborg sebagai ujung tombak.
Hareide membangun tim dengan pertahanan yang cukup baik di bawah komando kapten tim sekaligus bek tengah Simon Kjaer. Di bagian kiri, bek Jens Stryger Larsen (bermain di klub Udinese, Italia) bisa bergantian dengan Riza Durmisi (Real Betis/Spanyol). Mereka bisa bekerja sama dengan Mathias Joergensen (Huddersfield/Inggris) yang dipasang di sisi kiri pertahanan.
Hereide masih memiliki pekerjaan rumah untuk memperbaiki performa sisi kanan pertahanan timnya. Selama ini ia mencoba memainkan Henrik Dalsgaard (Brentford/Inggris) dan Peter Ankersen (FC Copenhagen), tetapi hasilnya kurang memuaskan.
Di lini tengah, Christian Eriksen menjadi tumpuan tim Dinamit. Bersama Thomas Delaney (Werder Bremen/Jerman) dan William Kvist (Copenhagen), trisula ini cukup efektif untuk membangun serangan dan mencetak gol dari lini kedua. Gelandang Lasse Schone (Ajax/Belanda) bisa menjadi pilihan alternatif Pierre-Emile Hojbjerg (Southampton/Inggris).
Di barisan penyerang, Hareide mengandalkan Nicolai Jorgensen (Feyenoord/Belanda), Yussuf Poulsen (RB Leipzig/Jerman), dan Pione Sisto (Celta Vigo/Spanyol). Bendtner bisa menjadi alternatif bersama Andreas Cornelius (Atalanta/Italia).
Skuad Dinamit kali ini memang bukanlah tim yang diunggulkan pada Piala Dunia 2018. Namun, mereka punya pengalaman justru tampil impresif sebagai ”kuda hitam” dalam beberapa turnamen. Kebangkitan tim pada kurun dua tahun terakhir boleh jadi pertanda akan hadirnya ledakan prestasi kedua bagi skuad Dinamit.