Nainggolan dan Icardi Korban ”Faktor X” Pelatih
Awal pekan ini, sejumlah tim peserta putaran final Piala Dunia 2018 mengumumkan skuad utama mereka yang akan diboyong ke Rusia. Beberapa tim baru mengumumkan skuad sementara, sedangkan lainnya skuad inti. Hampir tidak ada kejutan berarti dari tim-tim favorit, seperti Brasil, Perancis, atau Spanyol, demikian pula dengan tim populer Inggris.
Namun, kejutan muncul di tim Belgia yang tidak menyertakan gelandang pekerja keras Radja Nainggolan di skuad utama. Pemain berdarah Indonesia yang tampil gemilang bersama AS Roma sepanjang musim 2017-2018 dicoret Pelatih Roberto Martinez.
Kejutan juga muncul di daftar nama tim Argentina yang tidak menyertakan Mauro Icardi. Striker Internazionale Milan (Italia) itu menjadi salah satu pemain paling subur di Liga Serie A dan berhasil mengantarkan pasukan ”Nerazzurri” kembali ke percaturan elite klub Eropa, Liga Champions, musim depan.
Dalam jumpa wartawan hari Minggu lalu, Martinez menampik tuduhan bahwa didepaknya Nainggolan lebih karena alasan nonteknis. Telah menjadi rahasia umum, Nainggolan memang dicap ”anak nakal”, kerap tidak disiplin, bahkan sejak Belgia ditangani Marc Wilmots.
Namun, dibandingkan beberapa gelandang lain yang dipilih Martinez, publik bertanya-tanya karena pelatih berkebangsaan Spanyol itu lebih memilih pemain dengan penampilan rata-rata bahkan tidak punya menit bermain yang mumpuni bersama klubnya.
”Ini murni alasan taktikal,” ujar Martinez yang lama berkarier sebagai pelatih di Liga Primer Inggris bersama Swansea, Wigan, dan Everton. ”Dalam dua tahun terakhir, tim telah bekerja keras untuk bermain dengan cara yang lebih menyerang. Dalam kasus Radja, kita semua tahu dia telah menjadi figur penting pada level klub. Namun, saya pikir dia tidak punya tempat di dalam tim (Belgia),” kata Martinez.
Meski tidak terpilih dalam dua laga terakhir Belgia di babak kualifikasi melawan Gibraltar dan Yunani, fans Belgia tetap yakin Nainggolan akan masuk skuad ke Rusia. Maka, ketika Martinez mengonfirmasi pencoretannya, pelatih itu mendapat cercaan pedas di media sosial.
Kabar terakhir malah menyebutkan, kelompok pendukung Nainggolan membuat petisi dengan lebih dari 30.000 tanda tangan. Mereka meminta Martinez memasukkan nama pemain AS Roma itu ke dalam skuad Belgia.
Nainggolan pun langsung bereaksi keras. ”Ini tidak masuk akal,” ujar Nainggolan kepada harian Nieuwsblad. ”Dia (Martinez) memanggil Youri Tielemans yang lebih banyak di bangku cadangan bersama Monaco,” ujar Nainggolan dengan nada tinggi.
”Saat dia ditunjuk melatih Belgia, Martinez mengatakan bahwa pemain timnas Belgia harus bermain di kompetisi top. Sekarang dia memilih Axel Witsel yang bermain di China. Itu semua oke saja, tetapi apakah saya harus menaikkan level permainan saya?” kata Nainggolan yang langsung menyatakan pensiun di level internasional menurut harian Italia, Gazzetta dello Sport.
Musim lalu, Nainggolan tampil 31 kali bagi AS Roma dan mencatat 4 gol serta 9 asis. Catatan gol ini tidak terlalu mengesankan, tetapi permainan Nainggolan secara umum meningkat, terutama dalam kemampuan yang setara antara menyerang dan bertahan. Kerja kerasnya di lapangan tengah juga banyak mengangkat kinerja AS Roma baik di level domestik maupun Eropa.
Nainggolan ”anak nakal”
Meski mendapat sokongan luas, terutama dari kelompok fans-nya di media sosial, sebagian publik Belgia memaklumi keputusan Martinez mencoret si ”anak nakal” Nainggolan yang merajah hampir seluruh tubuhnya. Namun, publik tetap mempertanyakan pemilihan sejumlah pemain dengan prestasi buruk sepanjang musim lalu.
Nainggolan sendiri tidak pernah membantah bahwa dirinya seorang pencandu rokok, sebuah isu yang sejak awal memicu perseteruannya dengan Martinez. Laman goal.com memaparkan, mantan Pelatih Belgia Marc Wilmots mengaku telah memberikan kamar khusus bagi Nainggolan saat mengikuti Piala Eropa 2016 di Perancis. Nainggolan diberi kamar hotel dengan balkon sehingga dia bisa mengepulkan asap rokok tanpa membunyikan alarm.
Soal kebiasannya minum alkohol, Nainggolan pun tak mengelak. Dalam wawancara dengan Gazzetta, gelandang yang telah bermain lebih dari 250 kali di Serie A tersebut mengatakan kebiasaan itu tidak mengurangi komitmennya untuk klub dan timnas.
Meski demikian, dia pernah terlambat hadir dalam pertemuan tim menjelang laga melawan Estonia, Juni tahun lalu. Namun, Nainggolan membantah terlambat hadir dan mengatakan banyak pemain juga terlambat bergabung sebelum laga kualifikasi.
Kebiasaan merokok dan menenggak alkohol tampaknya menjadi faktor utama mengapa Martinez tidak menyertakan pemain berusia 30 tahun itu ke dalam skuad utama. Pada setiap tim, pelatih punya otoritas penuh memilih pemain dengan mempertimbangkan banyak hal, tidak melulu teknis. Faktor nonteknis diyakini menjadi alasan utama Martinez dalam kasus Nainggolan.
Namun, di sisi lain, publik Belgia juga menyoroti keputusan Martinez yang memasukkan nama Cristian Benteke (Crystal Palace, Inggris) dan Nasri Chadli (West Bromwich Albion, Inggris) yang tampil di bawah standar pada musim lalu. Benteke bahkan menjadi salah satu pemain yang paling bertanggung jawab atas terdegradasinya Palace ke Divisi Championship. Musim 2017-2018, mantan striker Liverpool itu tampil 31 kali dan hanya mencetak 3 gol bersama Palace.
Martinez juga menyertakan striker Michy Batshuayi meskipun pemain Borussia Dortmund ini menderita cedera pergelangan kaki pada April lalu. Gelandang Manchester United, Marouane Fellaini, yang tampil medioker sepanjang musim, juga menjadi pilihan Martinez di lapangan tengah. Fellaini semula menjadi pilihan utama Pelatih Jose Mourinho saat mengawali musim dengan gaya permainan menyerang.
Namun, menit bermain pemain jangkung ini semakin berkurang manakala Mourinho lebih banyak menerapkan strategi permainan oportunis bertahan dengan serangan balik. Lebih banyak masuk dari bangku cadangan, penampilan Fellaini jauh dari harapan pendukung fanatik ”Setan Merah”.
Meski mempunyai sekelompok pemain kelas dunia yang menjadi tulang punggung klub-klub elite di liga-liga ternama, Belgia gagal bersinar dalam dua turnamen akbar sejak Piala Dunia 2014.
Sejak generasi Eric Gerets pada awal 1980-an, Belgia kembali mendapatkan cengkeramannya di panggung dunia berkat lahirnya ”generasi emas” Eden Hazard dan kawan-kawan pada satu dekade terakhir. Meski mempunyai sekelompok pemain kelas dunia yang menjadi tulang punggung klub-klub elite di liga-liga ternama, Belgia gagal bersinar dalam dua turnamen akbar sejak Piala Dunia 2014.
Meski melaju sampai semifinal di Brasil, generasi emas yang dipimpin Eden Hazard ini jauh dari penampilan terbaik dan terutama jauh dari harapan publik.
Di Perancis 2016, prestasi Belgia semakin melorot dan hanya mampu menembus babak perempat final. Piala Dunia Rusia 2018 sepertinya menjadi kesempatan terakhir bagi generasi emas Belgia untuk meraih prestasi tinggi. Namun, dengan semakin menuanya Hazard dan kawan-kawan, mencapai usia rata-rata 30 tahun lebih, harapan tersebut tampaknya akan kandas.
Keputusan aneh Sampaoli
Namun, bukan hanya publik Belgia yang terkejut. Sebagian besar warga Argentina pun terheran-heran dengan keputusan Pelatih Jorge Sampaoli yang mencoret pemain depan Mauro Icardi dalam daftar skuad utamanya ke Rusia.
Sampaoli lebih memilih dua pemain yang lebih berpengalaman di lini depan, Sergio Aguero (Manchester City, Inggris) dan Gonzalo Higuain (Juventus, Italia). Dengan kata lain, Sampaoli hanya membawa dua striker murni dan membagi tugas mencetak pundi-pundi gol pada barisan gelandang kreatif di belakangnya, tentu saja di bawah kendali Lionel Messi.
Tanda tanya besar mencuat karena Aguero, selain belum pulih dari cedera lutut, juga tidak tampil dalam laga kompetitif sejak Maret lalu. Pemain bertubuh gempal ini harus lebih awal mengakhiri musim bersama City meski mengaku saat ini sudah sepenuhnya fit untuk tampil di Rusia.
”Kondisi saya semakin membaik,” ujar mantan menantu legenda sepak bola Argentina, Diego Armando Maradona, tersebut.
...Icardi tersingkir karena bukan teman dekat Messi, sosok paling berpengaruh yang ikut menentukan dalam pemilihan pemain.
Higuain setali tiga uang. Mantan pemain Real Madrid ini tampil cukup baik bersama Juvemtus musim lalu dengan melesakkan 16 gol dan mencetak 6 asis. Namun, koleksi gol Higuain bagi tim Turin itu melorot karena musim sebelumnya dia berhasil menyarangkan 24 gol.
Kritik pedas terhadap Higuain justru jika ia tampil bersama pasukan ”Tango”, Argentina. Sejak 2014 dan bermain 16 kali, Higuain hanya mencetak 2 gol dan terakhir mencetak gol untuk Argentina pada Oktober 2016.
Itu sebabnya publik heran mengapa Sampaoli justru menggusur Icardi, pemain yang sangat gemilang musim lalu bersama Inter Milan. Tampil bersama sejumlah pemain bukan kelas dunia, Icardi menunjukkan kelasnya sebagai striker mematikan di kotak penalti dengan 29 gol dalam 33 penampilan.
Mantan striker Argentina, Hernan Crespo, yang akhirnya mengungkapkan keputusan aneh tersebut. Menurut eks pemain AC Milan itu, Icardi tersingkir karena bukan teman dekat Messi, sosok paling berpengaruh yang ikut menentukan dalam pemilihan pemain.
Crespo bahkan yakin, Icardi tersingkir karena Messi adalah teman dekat Maxi Lopez—pemain Argentina yang kini bermain untuk klub Torino—yang punya masalah pribadi dengan Icardi.
”Di timnas Argentina kini ada yang namanya lingkaran sihir. Anda paham yang saya maksud?” ujar Crespo pada harian Gazzetta dello Sport. ”Icardi tidak berada dalam lingkaran itu dan sialnya dia tidak akan pergi ke Rusia,” kata Crespo yang tampil 64 kali bagi Argentina (1995-2007) dan mencetak 35 gol.
Menurut Crespo, seperti dikutip goal.com, tim Tango butuh ujung tombak dengan tipe Icardi, tetapi Sampaoli dan Messi berpikir sebaliknya. ”Ini teori konspirasi, tetapi saya yakin di bawah Sampaoli Icardi punya kesempatan besar untuk membuktikan kualitasnya,” kata Crespo.
Populer sebagai ”pembunuh di kotak penalti”, Icardi adalah pemain paling mematikan di kotak milik kiper tersebut. Menurut Crespo, Icardi bahkan pemain terbaik di dunia jika penilaian hanya pada efektivitas mencetak gol di kotak penalti. ”Saat dia mendapatkan bola di kotak penalti, dia sangat mematikan,” kata Crespo.
Mantan pemain Inter Milan itu juga mengungkapkan, Icardi bisa memberikan mobilitas ekstra di kotak penalti, hal yang tidak dipunyai oleh para ujung tombak lainnya pilihan Sampaoli. ”Dia juga matang pada usianya yang 25 tahun. Di Inter dia sudah membuktikannya,” ujar Crespo.
Kasus yang menimpa Radja Nainggolan dan Mauro Icardi sekali lagi membuktikan bahwa ”faktor x” kadang menjadi penentu keputusan pelatih dalam memilih skuad inti. Secara umum, pelatih-pelatih kelas dunia yang membawa tim ke Rusia 2018 telah melaksanakan tugasnya dengan baik.
Dicoretnya sejumlah pemain ternama pun tak hanya terjadi di tim Belgia ataupun Argentina. Pelatih Perancis Didier Deschamps pun mencoret sejumlah nama populer, seperti Alexandre Lacazette, Dimitri Payet, Anthony Martial, dan Adrien Rabiot. Juga Pelatih Spanyol Julen Lopetegui yang mencoret Alvaro Morata.
Namun, berbeda dengan Martinez dan Sampaoli, baik Deschamps dan Lopetegui jauh dari tuduhan miring adanya ”faktor x” dalam pemilihan pemain. Semua keputusan akan dipertanggungjawabkan di Rusia mendatang.