Tak Meratapi Keterbatasan
Prestasi tim sepatu roda Indonesia di Kejuaraan Marathon Swiss 2018 sungguh menakjubkan. Mereka berhasil menggondol masing-masing dua medali emas, perak, dan perunggu dari empat nomor senior di kejuaraan elite Eropa. Padahal perlombaan itu merupakan ajang temu dari pesepatu roda dunia.
Tim Indonesia menunjukkan kegemilangannya, 6 Mei 2018, di Basel, Swiss. Tim yang terdiri dari delapan atlet pelatnas Asian Games 2018 itu, membawa pulang total enam medali dari nomor jarak panjang, 32 kilometer (km) putra dan putri, serta jarak pendek, nomor 21 meter putra dan putri.
Dominasi ditunjukkan pada jarak pendek putri. Atlet pelatnas Alifia Meidia Namasta mampu meraih emas disusul rekannya Salman Falya Niluh di posisi kedua. Perbedaan waktu mereka hanya 0,07 detik.
Keperkasaan Alifia dan Salman memaksa pemenang tahun lalu, Maria Del Pillar Zimmerli yang merupakan atlet tuan rumah, berada di peringkat keenam dengan jarak waktu sampai 5 menit 8,19 detik.
Di nomor jarak panjang putra, atlet senior Muhammad Oky Adrianto pun meraih emas. Ia unggul tipis 0,21 detik dari Yannick Friedli, atlet tuan rumah yang merupakan pemenang pada 2017. Sisanya, Nura Annisa mendapatkan perunggu pada jarak panjang putri, serta Yossy Aditya Nugraha dan Elvio Augurius Laksona menyumbang perak dan perunggu pada jarak pendek putra.
Prestasi di Basel itu menunjukkan dominasi Indonesia dari pemain-pemain eropa yang merupakan kiblat sepatu roda dunia. Hal itu kembali mengingatkan kejayaan sepatu roda Indonesia pada SEA Games Jakarta 2011. Saat itu, tim Indonesia, termasuk Oky, menyapu bersih seluruh emas dalam 12 nomor yang dilombakan.
“Sejak itu sepatu roda tidak pernah dimainkan lagi dalam tiga ajang SEA Games berikutnya, pada 2013, 2015, dan 2017. Lawan sudah tahu kekuatan kita seperti apa,” ucap pelatih sepatu roda Karta Wibawa, Senin (21/5/2018), di GOR Bekasi, Jawa Barat.
Terseok-seok
Meski demikian, banyak halangan sebelum kejuaraan di Swiss. Sebelumnya, pada April 2018, tim Indonesia mengikuti dua kejuaraan di Jerman, yaitu Arena Geisingen Internasional dan Gross Gerau Speedskating.
Dalam dua kejuaraan itu, hasil tim Indonesia nihil. Bahkan, tidak satu pun atlet mampu menembus 10 besar. Prestasi terbaik hanya mencapai 20 besar yang dilakukan Alifia.
Ternyata, kata Oky, di Jerman, mereka hanya terfokus beradaptasi dengan trek aspal. “Aspal di sana benar-benar mulus. Berbeda dengan saat kita berlatih di Jakarta. Jadi lebih banyak mengenal trek dulu,” ucapnya.
Masalah yang dihadapi tim Indonesia di Jerman bermuara pada ketidakjelasan pelatnas sepatu roda. Mereka tidak memiliki tempat lokasi pelatnas khusus sesuai standar. Hal itu karena arena bertanding sekaligus pelatnas di Jakabaring Sport City (JSC), Palembang, masih dalam tahap pengerjaan.
Oleh karena itu, sejak awal pelatnas, Maret 2018, atlet terpaksa menggunakan lintasan jogging Stadion Utama Gelora Bung Karno (SUGBK) selama sebulan. Mirisnya, tempat itu jauh dari kata laik untuk menjadi pelatnas.
Kualitas aspal di lintasan jogging itu tidak memenuhi standar trek sepatu roda karena memang didesain untuk kebutuhan umum. “Aspalnya agak bergelombang,” kata Alifia.
Belum lagi, faktor lain yang menyebabkan para atlet sulit fokus. Banyak masyarakat Jakarta yang berlari santai dan bersepeda di lintasan itu. Akibatnya, mereka tidak berani memacu kecepatan maksimal karena takut menabrak.
Mirisnya, masalah itu belum selesai hingga tim kembali dari Swiss, pertengahan Mei. Mereka kini berlatih di lintasan sepatu roda yang berada di sekitar GOR Bekasi.
Meski lebih baik, kondisi trek lingkaran oval itu juga jauh dari standar. “Aspalnya memang berbeda banget dari untuk yang asli bertanding, apalagi dengan di Jerman,” tutur Karta.
Adapun, pada latihan Senin sore, pelatnas harus berbagi trek dengan klub lokal Bekasi dan masyarkat yang menyalurkan hobi. Akibatnya, laju atlet pelatnas kerap terhadang. Trek selebar 3 meter dengan panjang melingkar sekitar 150 meter itu dipenuhi lebih dari 30 orang.
Butuh tempat
Tim Indonesia memang mampu membuktikan prestasi di tengah keterbatasan pelatnas. Namun, mereka membutuhkan tempat berlatih yang laik disebut pelatnas. Karena, atlet butuh fokus lebih untuk mewujudkan target satu medali emas dari dua nomor yang dilombakan, 20km putra dan putri, pada Asian Games 2018.
Belajar dari pengalaman di Jerman, mereka membutuhkan waktu lebih untuk beradaptasi pada trek pertandingan. Apalagi, trek untuk pelatnas sebelum ke Palembang terbilang di bawah standar.
Para atlet berharap dapat secepatnya berlatih di Arena JSC. Mereka ingin lebih mengenal aspal dan celah-celah tikungan trek. Semakin lama adaptasi akan semakin baik pula performanya.
Karena, salah satu keuntungan tuan rumah adalah menjadi yang pertama dan terlama mecoba trek. Bila tidak terwujud, pembangunan arena itu tentu hanya indah untuk dipandang saja.
Tim pelatih pun perlu berlatih di arena itu. Mereka ingin meningkatkan kondisi atlet yang saat ini baru mencapai 75 persen. "Kami perlu menyesuaikan kondisi atlet dengan kondisi cuaca di Palembang yang cukup panas," kata Karta.
Wakil Ketua Umum Bina Prestasi Pengurus Besar Persatuan Olahraga Sepatu Roda Seluruh Indonesia Jeffey Abel mengatakan, tim akan segera ke Palembang setelah arena skate board dan sepatu roda di Jakabaring Sport City rampung. Kemungkinan besar, tim baru bisa berlatih pada Juli.
Pada Mei 2018, data Inasgoc menyebutkan pengerjaan arena sepatu roda lebih cepat dari jadwal yang direncanakan. Pengerjaan hampir mencapai 53 persen dari 43 persen rencana awal. Untuk itu, arena mungkin dapat selesai lebih awal dari target pada akhir Juni.