”La Nati” Menanti Akhir Bahagia
Swiss sudah 10 kali mengikuti Piala Dunia dan mengambil banyak pelajaran. Namun, sampai saat ini, tim berjuluk ”La Nati” ini tidak pernah bisa melangkah jauh. Babak perempat final merupakan titik terjauh yang pernah mereka tempuh pada 1954 atau 64 tahun silam. Kini Swiss berupaya kembali mengulang kejayaan itu di Rusia.
Skuad Swiss pernah mengalami malam yang panjang dan menyakitkan di Cologne, Jerman, pada Juni 2006. Malam itu, ”La Nati” menjadi tim pertama dalam sejarah yang tersingkir dari ajang piala dunia meskipun tidak pernah kebobolan gol hingga babak perpanjangan waktu. Mereka juga menjadi tim pertama yang gagal mencetak satu pun gol dalam adu penalti.
Dua gelar langka yang memalukan itu diberikan oleh Ukraina yang baru menjalani debutnya di Piala Dunia Jerman 2006. Bertemu pada babak 16 besar, Swiss dan Ukraina bertarung tanpa gol hingga babak perpanjangan waktu selesai.
Ketika adu penalti berlangsung, kiper Ukraina, Oleksandr Shovkovskiy, tidak mendapat tugas yang terlalu berat karena dua pemain Swiss, Marco Streller dan Ricardo Cabanas, menendang bola agak ke tengah dan tidak terlalu keras. Shovkovskiy mudah menebaknya. Lalu tendangan Tranquillo Barnetta hanya mengenai mistar gawang.
Sebaliknya, tiga dari empat pemain Ukraina sukses menceploskan bola ke gawang Swiss. Hanya Andriy Shevchenko yang gagal. Adu penalti itu berakhir dengan skor 0-3 untuk kemenangan Ukraina. Swiss pun tersingkir di babak 16 besar untuk kedua kalinya setelah tahun 1994.
”Kami merasakan kekosongan. Kami sudah berniat memainkan sepak bola positif, menyuguhkan sepak bola atraktif melalui para pemain muda. Itu semua bisa kami lakukan sampai malam ini,” kata pelatih Swiss saat itu, Kobi Kuhn, seperti dikutip laman The Guardian pada 27 Juni 2006. Laga malam itu, kata Kuhn, merupakan contoh bahwa Swiss kerap grogi.
Padahal, Swiss sangat tangguh selama fase grup. Berada di Grup G, Swiss memimpin klasemen dan unggul atas Perancis. Selama fase grup itu, mereka tidak pernah kalah dan tidak pernah kebobolan.
Melihat hasil buruk itu, Kuhn masih bisa merasakan optimisme karena memiliki banyak pemain muda bertalenta. ”Saya tidak takut akan apa yang terjadi dua tahun lagi. Kami pasti akan lebih siap,” katanya.
Belum terwujud
Namun, harapan Kuhn rupanya belum bisa terwujud hingga saat ini. Mereka selalu menjadi tim yang buas di awal, tetapi mudah dijinakkan di tengah perjalanan. Skuad La Nati seperti cepat kehabisan tenaga ketika mengikuti Piala Dunia.
Dua tahun setelah tragedi di Cologne itu, misalnya, Swiss bangkit dan tampil perkasa di babak kualifikasi Piala Dunia 2010. Mereka memimpin klasemen Grup 2 zona Eropa. Namun, ketika bertarung di putaran final di Afrika Selatan, Swiss tersingkir di fase grup yang juga dihuni Spanyol dan Cile.
Pada Piala Dunia Brasil 2014, nasib Swiss sedikit lebih baik. Mereka tetap bisa memimpin grup kualifikasi di zona Eropa dan kali ini bisa kembali menembus babak 16 besar. Namun, mereka kemudian bertemu Argentina dan kalah. Langkah mereka terhenti akibat gol tunggal pemain Argentina, Angel Di Maria, pada menit ke-118.
Setelah pulang dari Brasil, skuad Swiss kemudian mendapat pelatih baru, Vladimir Petkovic, mantan Pelatih Lazio. Di tangan Petkovic, Swiss kembali tampil meyakinkan selama fase kualifikasi Piala Dunia 2018. Mereka membuka laga perdana kualifikasi dengan kemenangan 2-0 atas Portugal yang bermain tanpa Cristiano Ronaldo yang sedang cedera. Selanjutnya, Swiss selalu menang dalam delapan laga selanjutnya.
Sampai mereka bertemu Portugal lagi yang sudah diperkuat Ronaldo, Swiss baru menelan kekalahan, 0-2. Itu kekalahan mereka satu-satunya di kualifikasi sehingga mereka mampu mengoleksi 27 poin dari 30 poin yang tersedia dalam 10 laga. Tim asuhan Petkovic itu gagal memimpin klasemen karena Portugal unggul dalam jumlah selisih gol. Sementara Swiss harus mengalahkan Irlandia Utara terlebih dahulu dalam babak play off sebelum mendapat tiket ke Rusia.
Meski terganjal Portugal, penampilan Swiss pada babak kualifikasi itu membuktikan keberhasilan Petkovic dalam mengubah skuad La Nati menjadi lebih agresif ketika menyerang dan menguasai bola. ”Kami sudah banyak berkembang sebagai satu tim yang utuh,” kata Petkovic seperti dikutip FIFA.
Kemajuan itu juga didorong oleh semakin banyaknya pemain Swiss yang berlaga di klub-klub top Eropa saat ini, antara lain Granit Xhaka (Arsenal), Stephan Lichtsteiner (Juventus), dan Ricardo Rodriguez (AC Milan). ”Jika dibandingkan lima atau enam tahun lalu, kualitas kami sekarang sudah jauh berbeda,” kata Xhaka.
Berangkat dari hasil evaluasi itulah optimisme Swiss kembali menyala menjelang keberangkatannya ke Rusia nanti. Kali ini mereka yakin bisa mendapatkan akhir yang lebih bahagia. Petkovic kini mematok target untuk bisa menembus perempat final, pencapaian yang pernah mereka lakukan pada tahun 1934, 1938, dan 1954.
Sebelum melangkah jauh, Swiss harus berhitung di Grup E. Mereka sadar bahwa Brasil merupakan tim terkuat dan berpeluang besar memimpin klasemen. Karena itu, Swiss harus mati-matian menundukkan Kosta Rika dan Serbia untuk bisa menempati posisi kedua. Jika Swiss bisa membuat kejutan dengan mengalahkan Brasil pada laga perdana mereka di Rusia nanti, itu akan menjadi bonus yang tak ternilai harganya. Dari sisi mental, mereka akan lebih terbantu saat bertemu dengan penghuni grup lainnya.
Tak bertaring
Namun, Swiss tetap saja masih memiliki kelemahan yang harus segera ditutupi. Penulis sepak bola, Nick Ames, dalam artikelnya di ESPN menilai Swiss masih memiliki lini depan yang lemah. Mereka hanya kuat di sektor sayap, tetapi tidak punya striker yang tajam.
Andalan utama Petkovic di lini depan adalah Haris Seferovic, penyerang pelapis di Benfica yang mencetak enam gol musim ini di semua kompetisi. Dari semua laga kualifikasi, termasuk play off kontra Irlandia Utara, Seferovic hanya mencetak empat gol dari total 24 gol yang dikemas Swiss. Pendukung Swiss pun kecewa dan mereka sempat mencemooh Seferovic pada laga kontra Irlandia Utara.
Selain Seferovic, Petkovic sebenarnya masih punya Josip Drmic dan Breel Embolo. Namun, Drmic jarang dimainkan di klub Borussia Monchengladbach musim ini karena juga faktor cedera, sedangkan Embolo masih berusia 21 tahun dan belum menemukan konsistensi.
Salah satu pemain yang bisa menjadi pembeda adalah Xherdan Shaqiri yang berperan sebagai gelandang serang. Dengan catatan, Shaqiri harus bisa menjernihkan pikirannya sebelum ke Rusia. Ia bersama klubnya, Stoke City, baru saja terdegradasi dari Liga Primer Inggris.
Lini tengah inilah yang akan dimaksimalkan Petkovic. Apalagi mereka punya Lichsteiner dan Rodriguez yang mampu memperkuat sektor sayap dan mendongkrak daya serang Swiss.
Petkovic pun menyadari bahwa masih ada banyak kekurangan di tubuh timnya. Namun, ia masih punya waktu untuk memperbaiki atau menutup celah yang dimiliki dalam dua laga persahabatan yang dijadwalkan pada awal Juni 2018, sebelum piala dunia digelar.
Tidak seperti saat di kualifikasi, mereka akan mencoba menghadapi tim yang lebih kuat, yaitu Spanyol. Barisan pertahanan solid Spanyol bisa dipakai untuk mengukur ketajaman lini depan Swiss.
Kemudian mereka juga akan bertemu Jepang pada laga persahabatan kedua. Dalam dua pertemuan terakhir, Swiss belum bisa mengalahkan tim ”Samurai Biru” itu.