”Die Mannschaft” Melawan Kemapanan
Tim nasional Jerman datang ke Rusia dengan menanggung beban favorit juara. Namun, berkat suntikan tenaga dan gairah baru, ”Der Panzer” di jalur sejarah baru sejak 1962.
Juara dunia Jerman sangat serius menatap Piala Dunia Rusia yang akan segera bergulir. Seperti kala berjaya di Brasil, 2014 lalu, Pelatih Jerman Joachim Loew memasukkan timnya ke ”kamp konsentrasi” yang nyaris tersembunyi dari dunia luar, akhir pekan lalu di Italia.
Kamp latihan di Tyrol, wilayah di timur laut Italia, menjadi markas sementara ”Der Panzer” menjelang bertolak ke Rusia. Di lokasi itu, seperti diberitakan sejumlah media Italia dan Jerman, Loew memperlakukan para pemainnya bak ”tahanan militer”.
Menu santapan harian mereka diseragamkan dengan pengawasan khusus terkait nutrisi dan gizi. Berbagai gawai disita, penggunaan media sosial pun diharamkan. Para pemain bintang, seperti Leroy Sane dan Thomas Mueller, bahkan tidak dapat memakai mobil-mobil mewahnya ke lokasi latihan, seperti yang biasanya dilakukan di klub masing-masing.
”Bagi dia (Loew), kepentingan tim jauh di atas individu,” tulis La Gazette dello Sport, koran olahraga Italia.
Bukan tanpa alasan Loew sengaja melucuti satu per satu peranti dan simbol kemewahan dari para pemainnya yang tidak ubahnya pesohor. Baginya, kemapanan adalah musuh terbesar timnya untuk mempertahankan gelar juara dunia yang diraih empat tahun lalu di Brasil.
Etos kerja, kolektivitas, dan kedisiplinan tinggi adalah karakter kunci yang memberikan kesuksesan dan ingin terus dipertahankan Loew di tubuh Der Panzer. Ia menyadari, sebagai juara bertahan, tantangan timnya bakal luar biasa berat di Rusia.
”Jerman bakal diburu tim-tim (lawan) dengan cara-cara yang belum pernah dilakukan sebelumnya. Butuh kekuatan mendekati manusia super jika ingin kembali menjadi juara (di Rusia),” ujar Loew.
Perkataan Loew tidaklah berlebihan. Di Piala Dunia, mempertahankan gelar juara memang lebih sulit ketimbang meraihnya. Lebih dari setengah abad lamanya atau sejak Piala Dunia 1962 di Chile belum pernah ada tim yang mampu menjaga trofi Piala Dunia tidak berpindah tangan. Tim yang terakhir kalinya sukses menjaga dominasi itu adalah Brasil, pemilik rekor Piala Dunia dengan koleksi lima trofi.
”Saya bakal sangat terkejut jika Jerman mampu mempertahankan gelar juara,” ujar Dietmar Hamann, legenda Jerman yang pesimistis akan peluang negaranya di Rusia.
Berbeda dengan turnamen lain di sepak bola, seperti Liga Champions Eropa, Piala Dunia nyaris tidak mengenal istilah supremasi atau ”dinasti”. Itu dibuktikan tim Spanyol yang mendominasi Eropa dan dunia satu dekade silam.
Spanyol berjaya pada Piala Dunia Afrika Selatan 2010 berkat kiprah pasukan generasi emasnya, seperti Andres Iniesta, Xavi Hernandez, dan Iker Casillas. Sepak bola ala tiki-taka juga sukses memberikan trofi Piala Eropa pada 2008 dan 2012.
Di Brasil 2014, ”La Furia Roja” mengenakan kostum yang didesain khusus, yaitu berwarna merah-emas untuk menandakan masa keemasan tim ini. Saat itu, Spanyol masih dijagokan memenangi Piala Dunia. Kehadiran barisan generasi emas baru, seperti David de Gea, Koke, dan Jordi Alba menambah optimisme mereka.
Hasilnya? Spanyol luluh lantak. Mereka gagal lolos dari babak penyisihan grup setelah dilumat Belanda, 1-5, dan dibekap Chile 2-0. Nasib lebih buruk dialami Italia setelah jadi juara dunia 2006. Italia, yang berjaya di Jerman, jadi tim terbuncit di penyisihan grup Piala Dunia 2010.
Hal serupa dialami juara dunia 1998, Perancis. Generasi terbaik ”Les Bleus” yang dihuni barisan pemain, seperti Zinedine Zidane, Didier Deschamps, dan Patrick Vieira, itu pulang dari Piala Dunia Jepang-Korea Selatan 2002 dengan membawa malu. Menyusul prahara dan konflik di tubuh tim, tim kaya talenta individu itu finis terbuncit di penyisihan grup tanpa satu pun mencetak gol.
Tren buruk seperti itulah yang ingin dihindari Loew. Untuk itu, demi menjaga gairah, ambisi, dan kualitas di tubuh Jerman, ia gencar melakukan peremajaan. Menyusul pensiunnya beberapa senior, seperti Philipp Lahm dan Miroslav Klose, sejumlah bintang baru bermunculan.
Melimpah
Untuk pertama kalinya dalam dua dekade terakhir, Jerman memiliki pemain berkualitas yang sangat melimpah. Bayangkan saja, di sektor penyerang sayap kiri, misalnya, setidaknya ada tiga pemain hebat yang bersaing, yaitu Sane, Julian Draxler, dan Marco Reus. Loew juga dipusingkan dengan kayanya pilihan pemain di sektor tengah menyusul meroketnya penampilan pemain muda, seperti Leon Goretzka dan Julian Brandt.
Barisan darah segar Jerman itu telah ”disapih” dan teruji pada Piala Konfederasi Rusia 2017. Meskipun tidak diunggulkan di turnamen persiapan Piala Dunia Rusia 2018 itu, Joshua Kimmich dan kawan-kawan jadi juara.
Barisan bintang saat itu, seperti Kimmich dan striker belia, Timo Werner, kini telah dipromosikan masuk ke skuad senior. Mereka masing-masing diplot menggantikan Lahm dan Klose yang pensiun dari timnas Jerman seusai Piala Dunia 2014.
Berkat kebijakan stunzpunkte atau mendirikan pusat-pusat latihan regional, talenta-talenta sepak bola berbakat di negeri Bavaria terus bermunculan ibarat pucuk-pucuk daun yang tumbuh di musim semi. Menariknya, itu semua tercipta berkat kehancuran sepak bola Jerman era akhir 1990-an dan awal 2000-an.
”Ini merupakan buah hasil investasi jangka panjang dari pembinaan sepak bola berjenjang di Jerman. Sulit memang mencari pengganti dari Lahm atau (Bastian) Schweinsteiger. Namun, kami punya pemain-pemain baru yang prospektif dan punya kans untuk lebih hebat,” ujar Loew.
Kombinasi pemain senior dan muda itu meloloskan Jerman ke Rusia dengan capaian fenomenal di fase kualifikasi. Jerman memenangi semua, yaitu sepuluh laga di fase penyisihan regional menuju ke Piala Dunia Rusia. Tak hanya itu, mereka menuai rekor sebagai tim paling produktif dalam sejarah kualifikasi Piala Dunia zona Eropa, yaitu 43 gol.
Lebih merata
Der Panzer, yang pada masa silam dikenal lambat dan monoton, kini jauh lebih dinamis dan agresif. Kehadiran tenaga muda membuat tim ini bermain lebih cepat, cair, dan menekan. Menariknya pula, tak seperti tim unggulan lainnya, seperti Argentina dan Brasil yang mengandalkan satu dua pemain bintang, misalnya Lionel Messi dan Neymar, distribusi gol-gol tim Jerman sangat merata.
Hampir semua pemain, baik di lini depan maupun bek tengah, menyumbang gol. Hal itu membuktikannya tingginya kolektivitas tim Jerman. ”Kami tak perlu mencari motivasi baru (untuk juara). Mereka sendiri menunjukkan betapa dahaga,” ujarnya.
Ia meyakini, Jerman memiliki sumber daya untuk kembali berjaya di Rusia. Ia berkata, timnya tidak kehilangan motivasi untuk terus berprestasi tinggi. Hadirnya pemain seperti Reus bakal menambah daya ngotot Jerman, tim yang saat ini menghuni peringkat pertama dunia, untuk mempertahankan gelar juara dunia.
Bagi Reus, Piala Dunia Rusia adalah ”penebusannya” setelah absen di Brasil, empat tahun lalu, akibat cedera lutut. Jika bugar 100 persen, bintang Borussia Dortmund yang mengemas tujuh gol pada musim lalu itu bisa menjadi pilihan utama Loew di sektor sayap kiri.
Hadirnya pemain kaya prestasi dan pengalaman, seperti Thomas Mueller dan Toni Kroos, menjaga kualitas dan ketenangan Jerman dalam menghadapi laga-laga krusial di Rusia nanti. Kroos, pemain yang menjadi dinamo permainan dari Der Panzer, masih di puncak kejayaannya.
Ia ingin mereplikasi konsistensinya di Real Madrid ke Jerman. Konsistensi di level tertinggi itu dibuktikan lewat raihan tiga trofi Liga Champions dan tiga gelar juara Piala Dunia Antarklub bersama Real. ”Kami harus bekerja lebih keras dan meningkatkan sejumlah sektor jika ingin kembali juara,” ujarnya. (AFP/Reuters/JON)