Ancaman Kejutan ”Singa Teranga”
Senegal bisa disebut ”anak bawang” karena nyaris tidak punya pengalaman di Piala Dunia. Namun, berkat barisan individu cemerlangnya, misalnya Sadio Mane dan Keita Balde, tim ”Singa Teranga” itu berpotensi menjadi ”kuda hitam” seperti 16 tahun silam.
Bersama Mesir, Senegal adalah tim Afrika paling minim pengalaman di Piala Dunia. Satu-satunya keikutsertaan mereka sebelumnya pada turnamen akbar ini adalah tahun 2002 di Korea-Jepang. Sebagai tim debutan, Senegal saat itu dipandang sebelah mata. Namun, mereka justru mengejutkan dunia dengan menggulingkan juara bertahan Perancis.
Sebagai negara bekas koloni Perancis yang baru merdeka setengah abad lalu, capaian pada Piala Dunia 2002 itu dianggap fenomenal. Sebelumnya, anak- anak muda di Senegal jauh lebih mengenal nama-nama pemain seperti Zinedine Zidane dan Patrick Vieira, dua pemain andalan di skuad Perancis saat itu. Kostum ”Les Bleus” bertuliskan nama keduanya, bahkan jauh lebih mudah ditemui di jalanan Senegal ketimbang kostum hijau-putih ”Singa Teranga”.
Sebelum 2002, rakyat Senegal terbiasa mendukung Perancis pada Piala Dunia. Selain kedekatan emosional karena pernah dijajah, tim Perancis saat itu juga memiliki sejumlah pemain andalan keturunan Senegal, seperti Vieira yang lahir di Dakar. Tidak heran, saat Senegal mengalahkan Perancis, 1-0, pada penyisihan grup Piala Dunia 2002, rakyat Senegal berpesta laiknya merayakan
kemerdekaannya untuk kali kedua.
Sejak saat itu, rakyat Senegal meyakini, mereka bisa menggapai apa pun, termasuk hal yang nyaris mustahil, seperti mengalahkan negara induk yang menjajah mereka selama tiga abad.
”Itu (mengalahkan Perancis) hari paling menakjubkan bagi Senegal setelah merayakan kemerdekaannya (1960 silam). Bendera Senegal berkibar di beberapa sudut kota (Dakar). Hari itu, mereka meruntuhkan batasan psikologis negara inferior yang pernah lama dijajah (Perancis),” kata Liesl Louw-Vaudran, jurnalis asing yang pernah bertugas di Dakar, ibu kota Senegal.
Kekalahan Perancis, juara dunia bertahan dan kampiun Eropa, saat itu dikenang luas sebagai salah satu kejutan terbesar sepanjang masa Piala Dunia. Kontras dengan Perancis yang pulang lebih cepat pada penyisihan grup, Senegal melanjutkan melangkah jauh hingga ke perempat final. Langkah fenomenal mereka dihentikan oleh Turki melalui babak perpanjangan waktu.
Meletakkan kekuasaan
Setelah absen 16 tahun, Senegal kembali ke panggung terbesar sepak bola sejagat itu. Meskipun telah berganti generasi, Senegal tidak lagi diperkuat barisan legendanya, seperti El Hadji Diouf, Aliou Cisse, dan Papa Diop, yang mencetak gol tunggal ke gawang Perancis. Singa Teranga tetap ”dilepas” dengan antusiasme dan ekspektasi yang nyaris serupa tahun 2002 lalu.
Euforia itu salah satunya diperlihatkan Macky Sall, Presiden Senegal. Penggemar bola yang menjabat presiden negara itu sejak 2012 tersebut mengaku akan ”meletakkan” kekuasaannya sejenak demi mengikuti sepak terjang Singa Teranga di Rusia. Ia akan menonton langsung di stadion dan menjadi bagian dari ”pemain” ke-12 Senegal. ”Saya akan cuti setidaknya 12 hari untuk memperlihatkan bahwa kalian (tim Senegal) tidak sendirian di sana. Anggaplah setiap laga adalah final agar kalian tidak berhenti melangkah,” ujar Sall ketika melepas timnas Senegal, seperti dikutip AFP akhir Mei lalu.
Sall dan rakyat Senegal optimistis, Singa Teranga bisa kembali mengaum, bahkan lebih jauh melangkah ketimbang pendahulunya di Korea, 16 tahun lalu. Harapan itu tidak terlepas dari materi tim saat ini. Skuad yang akan tampil di Rusia itu dianggap lebih hebat dan kuat ketimbang tim pada 2002 silam. Tim kali ini generasi ”emas” Senegal.
Tim yang belum pernah menjuarai turnamen bergengsi apa pun, termasuk Piala Afrika, itu bukan hanya tentang Mane, bintang Liverpool yang kini diisukan tengah didekati Real Madrid. Mereka memiliki sejumlah talenta lain yang menjadi perantau sukses di Eropa, seperti duo bek Kalidou Koulibaly (Napoli) dan Youssouf Sabaly (Bordeaux); Cheikhou Kouyate (West Ham United) dan Idrissa Gueye (Everton) yang menjadi ”mesin” dua silinder di tengah; serta Keita Balde (AS Monako) dan Mbaye Niang (Torino) yang punya kecepatan bak kilat di lini depan.
Selain Balde dan Niang, Senegal juga memiliki pemain cepat yang berteknik tinggi dalam mengolah bola, seperti Mame Diouf (Stoke City), Moussa Konate (Amiens), dan Diafra Skaho (Rennes). Itu menjadikan Senegal sangat kaya lini serang. Mereka pun berambisi mengukir sejarah sebagai tim Afrika pertama yang menembus semifinal di Piala Dunia. ”Kami ingin melangkah lebih jauh ketimbang generasi pada 2002. Akan sangat fantastis bagi Senegal jika kami mampu melakukan itu,” kata Kara Mbodji, bek Senegal, dikutip laman FIFA.
Purwarupa ”The Reds”
Tidak sedikit pengamat yang meyakini, Senegal akan mengikuti jejak klub Liverpool yang melangkah jauh, yaitu menembus final Liga Champions. Seperti dua juara dunia, yaitu Jerman yang dibangun dari Bayern Muenchen dan Borussia Dortmund; serta Spanyol yang direkonstruksi dari paham ”tiki-taka” Barcelona tahun 2000-an, Senegal bisa menjadi purwarupa dari tim ”The Reds” di Rusia.
Bukan rahasia jika sebuah tim kerap dibangun dari karakter satu atau dua pemainnya, seperti pernah dilakukan pelatih Sergio Batista di timnas Argentina, 2011 lalu. Batista mencoba merekonstruksi Barcelona ke dalam tim ”Tango”. Sang bintang, Lionel Messi, tentu saja menjadi alasannya melakukan pendekatan unik itu. Namun, percobaan itu gagal total di Copa America 2011 yang digelar di Argentina. Tim Tango kalah di perempat final oleh Uruguay, tim juara saat itu.
Pendekatan serupa kini diteruskan Aliou Cisse, mantan pemain Senegal yang juga lama berkarier di Liga Inggris. Pelatih Senegal yang eksentrik itu memodifikasi taktik ”The Reds” ala manajer Juergen Klopp. Serupa Liverpool, Cisse kerap memainkan formasi 4-3-3 dengan pendekatan counter-pressing yang digemari Klopp. Taktik itu dinilai Cisse bisa mengoptimalkan ”kekayaan” Senegal saat ini, yaitu barisan penyerang cepat dan berteknik tinggi seperti Mane.
Serupa Liverpool, Senegal kerap mencecar lawan dengan serangan frontal secepat kilat begitu mendapatkan bola. Pergerakan barisan penyerangnya, yaitu antara Mane, Sakho, dan Balde, pun sangat cair. Mereka sering bertukar posisi guna membingungkan lawannya, serupa halnya dilakukan trio Liverpool, yaitu Mane, Mohamed Salah, dan Roberto Firmino. Tipikal bermain energik seperti ini tentu menjanjikan hiburan, apalagi mereka bakal menghadapi Kolombia, tim yang juga kaya kecepatan dan teknik, pada penyisihan grup.
Hanya saja, faktor minusnya, Cisse belum mantap betul dengan pilihan pemainnya. Ia masih kerap membongkar pasang susunan pemainnya, terutama di lini serang, guna mencari tim terbaik. Di satu sisi, itu bisa memusingkan calon-calon lawannya. Namun, di lain pihak, itu bisa menjadi bumerang, mengurangi kohesi alias kekompakkan di tim yang dulu disebut ”ajaib” ini.