Jalan-jalan di kota Tunis nyaris kosong selama 90 menit, Rabu malam, 19 November 2014. Penduduk ibu kota Tunisia itu lebih suka berkumpul di kafe-kafe, menonton lewat layar lebar, pertandingan kualifikasi Piala Afrika antara kesebelasan Tunisia melawan Mesir. Bagi mereka, laga ini menjadi ”oase” setelah berhari-hari seluruh media termasuk televisi hanya menyuguhkan acara politik yang membuat bosan para pemirsa; televisi menjadi panggung para kandidat presiden yang akan bertarungan pada hari Minggu, 23 November 2014.
Saat tim nasional yang dijuluki ”Elang Carthago” itu menang 2-1, serasa ada roh semangat baru yang menyusup dalam diri rakyat Tunisia. Inilah hasil nyata tiga tahun setelah Revolusi Melati (lebih populer disebut Revolusi Musim Semi Arab) tahun 2011 yang mengakhiri pemerintahan penguasa korup diktator Zine El Abidine Ben Ali. Padahal, timnas Tunisia sebenarnya ibarat anak yatim Revolusi Melati. Di zaman Ben Ali, Elang Carthago merupakan simbol nepotisme dan korupsi rezim. Ben Ali menyerahkan pengelolaan Federasi Sepak Bola Tunisia pada menantunya, Slim Chiboub. Hak siar dan sponsorship ada di tangan saudara laki-laki istri Ben Ali, Leila Trabelsi. Semua, termasuk pemilihan pemain, diatur keluarga Ben Ali.
Timnas, simbol persatuan palsu Ben Ali, menjadi korban. Stadion sepak bola menjadi tempat senyatanya bagi rakyat untuk mengekspresikan kebebasan. Tidak ada tempat lain untuk mengungkapkan kebenaran selain di stadion sepak bola; sebab mengungkapkan kebenaran berisiko ditangkap polisi dan dihukum. Di situ sepak bola memainkan peran dalam revolusi, tidak hanya mendorong demokrasi, tetapi juga menjadi panggung protes yang sebenarnya melawan pemerintah.
Pada November 2010, beberapa pekan sebelum pecah Revolusi Melati, fans Tunisia sejak menit awal mencemooh Elang Carthago yang menjalani laga persahabatan melawan Australia. Padahal, babak pertama tim Tunisia menang 3-1, tetapi mereka tetap diejek. Itulah sebabnya, pada suatu masa pernah tidak ada lagi anak-anak yang mau tidur memakai piyama putih-merah warna kostum Elang Carthago. Tidak ada sopir taksi berhenti menarik karena ingin menonton mereka bertanding.
Elang Carthago turun ke lapangan mungkin atas nama rakyat Tunisia. Namun, rakyat Tunisia belum menyepakati mereka memainkan peran dalam imajinasi nasional. Padahal, di zaman Presiden Pertama Tunisia, Habib Bourguiba, olahraga khususnya sepak bola, berfungsi sebagai pembentuk identitas nasional dalam lingkungan internasional; yakni pembentukan identitas nasional dalam kesadaran bangsa sebagai bagian dari komunitas nasional (Daisuke Sato: 2004).
Sepak bola begitu terlibat dalam gerakan kemerdekaan Tunisia. Menurut Tsugutaka Kato (2002), ”Berbeda dengan di Aljazair yang sama-sama dijajah Perancis, di Tunisia, gerakan rakyat tidak dilakukan kekuatan militer; pusat gerakan dilandaskan pada konstitusionalisme moderat. Pertama dan utama, gerakan perjuangan dikembangkan sebagai gerakan kultural untuk membangkitkan kesadaran sebagai bangsa, membarakan pemikiran baru melalui lingkungan kultural terorganisasi seperti asosiasi alumni, asosiasi olahraga, dan akademik….”
Ikan kecil
Akan tetapi, sejarah mencatat telah terjadi salah urus. Akibatnya, ketika pada tahun 2015, koran terbesar di Perancis, Le Temps, melakukan survei dukungan rakyat Tunisia terhadap Elang Carthago, hasilnya mengejutkan. Hanya 3,9 persen orang Tunisia yang mengakui mendukung timnas. Enam puluh satu persen responden lebih memilih menonton opera sabun ketimbang menonton laga Elang Carthago. ”Ini gambaran jelas tentang tidak adanya jalinan suci antara bangsa dan kesebelasan nasional,” komentar wartawan Tunisia, Mourat Ayara.
Tetapi, apakah kini saat Elang Carthago untuk kelima kalinya ikut putaran final Piala Dunia, rakyat Tunisia tidak peduli?
Tidak dapat disangkal, Elang Carthago di Rusia akan bagaikan ikan kecil di kolam besar. Sebab, di kolam besar itu ada ikan besar Inggris (dengan antara lain salah satu striker terbaik dunia saat ini Harry Kane, Gary Cahill, Raheem Sterling, dan Jamie Vardy) dan Belgia (dengan antara lain Romelu Lukaku, Eden Hazard, kiper Thibaut Courtois, dan juga Kevin De Bruyne).
Tetapi, semua bisa terjadi di lapangan. Adakah yang pernah menduga Eslandia mampu menahan imbang 1-1 Argentina yang diperkuat Lionel Messi, Angel Di Maria, Sergio Aguero, Gonzalo Higuain, dan Javier Mascherano? Tunisia pernah mengejutkan dunia dengan Revolusi Melati (2011). Sebuah revolusi yang akhir menular ke sejumlah negara di Timur Tengah dan mengubah wajah kawasan itu. Tunisia tercatat dalam sejarah dunia memiliki panglima perang begitu masyhur, Hanibal, yang dengan gagah berani memimpin perang melawan Romawi, meski kalah. Apa pun yang terjadi, pencapaian Tunisia adalah produk dari budaya sepak bola nasional yang memiliki semangat juang tinggi.
Dan, Selasa (19/6/2018) dini hari, saat Elang Carthago melawan Inggris, jalan-jalan di Tunis akan kembali sepi. Penduduk kota itu akan berkumpul di kafe-kafe, rumah-rumah, menyaksikan perjuangan timnas, seperti tahun 2014 saat kualifikasi Piala Afrika.
Elang Carthago kini adalah institusi nasional yang dicintai—bukan karena identitas nasional kuat, tetapi mungkin lebih karena sepak bola adalah cukup dinamik dan inspiratif untuk mempersatukan rakyat Tunisia yang memiliki beragam identitas. Karena Elang Carthago adalah diasporik; para pemain nyaris tidak pernah tinggal di Tunisia karena mereka berkarier di negara-negara Eropa dan Teluk. Akan tetapi, semua itu tidak menjadi rintangan bagi semangat tim: sebuah model yang indah dari kohesi dan integrasi para ekspatriat dan contoh yang sangat baik dari keterbukaan yang akan menginspirasi rakyat Tunisia yang masih berjuang terus untuk bersatu.