JAKARTA, KOMPAS Sepuluh negara memastikan diri mengikuti kejuaraan Piala Kapolri yang diadakan Pengurus Pusat Pertina di Kota Manado, Sulawesi Utara, pada 4-9 Juli mendatang. Kedatangan para petinju luar negeri ini menjadi ajang uji coba dalam kompetisi internasional bagi para petinju amatir Indonesia.
Kejuaraan dalam rangka Hari Bhayangkara ini akan mempertandingkan delapan kelas di kategori putra (46-75 kg) dan enam kelas putri (48-64 kg). Kejuaraan ini diselenggarakan Kepolisian Daerah Sulawesi Utara bekerja sama dengan Pemerintah Kota Manado. Sejauh ini, 10 negara yang sudah mendaftar, meliputi Malaysia, Singapura, Filipina, Thailand, Vietnam, Jepang, Sri Lanka, Australia, Taiwan, dan Jordania. Dari dalam negeri ada atlet dari 20 provinsi yang ikut bertanding.
Ketua Umum Pertina Johni Asadoma, Selasa (19/6/2018), mengatakan, lebih dari 200 petinju akan bertanding memperebutkan piala dan hadiah uang total 19.000 dollar AS atau lebih dari Rp 267 juta.
”Kehadiran banyak petinju dari sejumlah negara ini menjadi kesempatan bagi petinju kita untuk mengukur sekaligus menjajal kemampuan,” kata Johni.
Menurut Johni, jika pertandingan internasional sering diadakan di Indonesia, hal itu akan sangat menguntungkan bagi pembinaan petinju amatir.
”Tidak banyak sasana yang bisa mengirimkan petinjunya ke luar negeri, jadi memang lebih baik mengadakan pertandingan di rumah sendiri. Petinju kita membutuhkan pengalaman bertanding melawan petinju luar negeri,” ungkap Johni.
Kurangnya pengalaman bertanding menjadi persoalan bagi Indonesia. Pelatih pemusatan latihan nasional tinju Adi Swandana mengatakan, materi petinju yang disiapkan untuk pelatnas sangat terbatas, terutama dari sisi kualitas.
”Bukan hanya teknik yang masih kurang, tetapi juga mental petinju karena kurang pengalaman tanding,” ujar Adi.
Petinju pelatnas saat ini tengah menjalani pemusatan latihan selama satu bulan di Ukraina. Mereka meliputi Farrand Papendang, Sunan Agung Amoragam, Aldoms Suguro, Libertus Gha, Mario Blasius Kali, dan Sarohatua Lumbantobing.
Secara terpisah, mantan petinju nasional Ferry Moniaga yang tampil di Olimpiade Muenchen 1972 mengatakan, pembinaan tak bisa berjalan baik tanpa pertandingan yang cukup. Akibatnya, banyak petinju mengambil jalan pintas masuk ke tinju profesional demi mencari uang.
”Akhirnya, mereka hanya jadi bulan-bulanan petinju asing karena kurang kemampuan dasar,” kata Ferry.
Hal senada diungkapkan mantan petinju nasional Albert Papilaya. Menurut dia, kemampuan para petinju amatir di Indonesia masih belum bagus dan jauh di bawah rata-rata petinju Asia.
”Dibandingkan dengan petinju Thailand, Malaysia, dan Singapura saja, kemampuan rata-rata para petinju kita sangat jauh,” kata Albert, yang juga menjadi manajer tim DKI Jakarta. (IND)