Tim nasional Portugal tampil di bawah standar saat mengalahkan Maroko 1-0 pada penyisihan Grup B Piala Dunia Rusia, Rabu (10/6/2018) di Moskwa. Permainan pragmatis itu persis seperti dilakukan Portugal saat jadi juara Eropa pada 2016 lalu di Perancis. Cara serupa direplikasi ”A Selecao” di Piala Dunia Rusia.
Duel Portugal kontra Maroko di Stadion Luzhniki, Moskwa, itu dianggap sebagai salah satu laga paling menjemukan di Piala Dunia Rusia sejauh ini. Kebosanan itu terlihat jelas dari tribune media di stadion termegah di Rusia itu. Bukannya menyaksikan atau mencatat, salah satu jurnalis asing, yaitu dari Kamerun, justru sibuk bermain gim di ponselnya.
Tidak sedikit pula yang terkantuk-kantuk. Pada laga itu, seusai mencetak gol melalui tandukan Ronaldo di menit ke-4, Portugal seolah-olah ”menggembok pintu”. Mereka seolah tidak lagi berniat menyerang.
Kecuali gol Ronaldo, tim Portugal malam itu tidak menunjukkan kebesarannya sebagai juara Eropa. Mereka hanya menciptakan dua tembakan tepat ke arah gawang dan 47 persen penguasaan bola. Sebaliknya, Maroko mencecar pertahanan Selecao sepanjang babak kedua. Total 16 percobaan serangan mereka ciptakan. Gagalnya Maroko mencetak gol lebih karena lini serang mereka tampil tidak lebih baik dari kiper Portugal, Rui Patricio, dan rekan-rekannya di lini belakang.
Penampilan minimalis Selecao ini tidak jauh berbeda dengan laga kontra Spanyol, pekan lalu. Penguasaan bola mereka saat itu hanya 39 persen. Mereka mengemas tiga gol berkat kemampuan individu pemain terhebatnya, Ronaldo. Ia mencetak gol lewat penalti, tendangan bebas, dan tendangan dari luar kotak penalti. Ia lagi-lagi menjadi penentu di laga Maroko.
Tak heran, bek tengah Maroko, Medhi Benatia, menilai timnya hanya kalah beruntung dari Portugal.
Gol Ronaldo itu memaksa timnya tersingkir dini di penyisihan grup. ”Anda lihat, Pepe (bek Portugal) melakukan pelanggaran terlebih dulu sebelum Ronaldo mencetak gol. Anak-anak telah tampil luar biasa. Namun, itu tidak cukup karena kami kurang beruntung,” ujarnya dalam wawancara di mixed zone Stadion Luzhniki.
Tudingan kemenangan ”beruntung” ini bukan hanya sekali dialamatkan ke Portugal. Sinisme serupa berkali-kali dihadapi Selecao di Piala Eropa Perancis 2016. Ketika itu, Portugal tampil sangat pragmatis, seperti Eslandia, hampir di setiap laganya, mulai dari fase penyisihan grup hingga ke partai puncak di Paris.
Portugal lolos dari penyisihan grup Piala Eropa tanpa satu pun meraih kemenangan. Tidak sekali pun penguasaan bola mereka lebih tinggi dari tim-tim lawan, termasuk Kroasia yang disingkirkan lewat perpanjangan waktu di babak 16 besar; Polandia yang dikalahkan melalui adu penalti di perempat final; dan tuan rumah Perancis yang juga dikalahkan di final lewat babak ekstra.
Evolusi
Selain Ronaldo, nyaris tak ada evolusi dari permainan Selecao pasca-Piala Eropa. Tim ini masih dilatih Fernando Santos, pelatih yang dikenal mengutamakan kestabilan tim di atas jumlah gol. Selecao di Rusia juga dibangun dari sisa kejayaan di Perancis. Delapan pemain yang diturunkan Santos kontra Maroko adalah bagian dari tim saat Selecao mengalahkan Perancis di final Piala Eropa 2016.
Di satu sisi, mentalitas tampil seperti tim ”anak bawang” membuat Portugal mawas diri dan waspada dengan kekuatan lawan-lawannya. ”Tim ini selalu fokus dari laga ke laga.
Setiap lawan yang tampil di sini (Piala Dunia Rusia) adalah tim hebat. Itu dibuktikan dengan perlawanan
hebat Maroko sore ini,” ujar Andre Silva, gelandang Portugal, seusai laga itu.
Kewaspadaan Selecao bakal ditingkatkan saat menghadapi Iran di laga terakhir penyisihan grup pada Selasa (26/6/2018) dini hari WIB.
”Mereka (Iran) adalah tim yang bermain secara kolektif. Iran bakal merepotkan kami. Ini akan menjadi laga yang berat bagi kami. Untuk itu, kami harus meningkatkan permainan, terutama dari segi kolektivitas,” ujar Jose Fonte, bek tengah Portugal, di mixed zone.