Yulvianus Harjono & Herpin Dewanto dari Moskwa, Rusia
·4 menit baca
Kegagalan Spanyol pada Piala Dunia Rusia 2018 menyiratkan kondisi yang kian genting untuk melakukan perubahan. Skuad yang pernah begitu mendominasi selama kurun waktu 2008-2012 itu menghadapi tantangan regenerasi pemain dan terobosan gaya permainan.
MOSKWA, KOMPAS Spanyol menjadi tim yang menakutkan ketika berturut-turut menjuarai Piala Eropa 2008, Piala Dunia 2010, dan Piala Eropa 2012. Namun, sejak itu, skuad ”La Furia Roja” seperti kehilangan kepingan penting sehingga terus terseok-seok, termasuk pada Piala Dunia kali ini saat ditaklukkan Rusia pada babak 16 besar, Minggu (1/7/2018).
Kondisi serupa saat Spanyol tersingkir di fase grup pada Piala Dunia Brasil 2014 seharusnya sudah menjadi tanda bahaya. Meski kegagalan empat tahun lalu itu disangkutpautkan dengan mitos kutukan juara bertahan, alasan yang lebih masuk akal adalah ada sesuatu yang tidak beres di dalam skuad.
Begitu pula ketika tampil pada Piala Eropa 2016, Spanyol hanya bisa melaju sampai babak 16 besar karena ditundukkan Italia, 0-2. Spanyol terus mempertahankan pemain-pemain tua dan gaya bermain yang sama. ”Walaupun berganti pelatih, mereka (Spanyol) sudah bermain seperti itu sejak 10 tahun terakhir,” kata Pelatih Portugal Fernando Santos sebelum menghadapi Spanyol pada laga pertama di Rusia dua pekan lalu.
Piala Dunia 2018 seharusnya menjadi titik balik dari keterpurukan itu. Namun, justru sebaliknya, Spanyol malah mengawali turnamen ini dengan bermain api. Federasi Sepak Bola Spanyol (RFEF) memecat pelatih Julen Lopetegui dan menggantinya dengan Fernando Hierro sehari sebelum Piala Dunia bergulir.
Ketegangan sempat terjadi di ruang ganti. Dalam situasi darurat itu, Hierro memilih untuk melanjutkan cara Lopetegui. Hasilnya, Spanyol mempertontonkan pertahanan yang rapuh: lima kali kebobolan dalam tiga laga pertama. Terakhir, saat melawan Rusia, mereka bahkan harus ”dibantu” gol bunuh diri bek Rusia, Sergei Ignashevich, untuk mendapatkan skor.
Presiden RFEF Luis Rubiales ketika ditemui di area mixed
zone di Stadion Luzhniki setelah kekalahan dari Rusia tidak mengakui ada kesalahan dari pihaknya. Menurut dia, pemecatan Lopetegui adalah sesuatu yang sudah tepat dan bukan penyebab kegagalan di Rusia. ”Hierro adalah sosok yang hebat dan pekan depan kami mulai membahasnya (masa depan Hierro),” katanya.
Pergantian era
Selain masalah pelatih, Spanyol kini juga kehilangan pemain bintangnya setelah Andres Iniesta mengumumkan bahwa laga kontra Rusia itu menjadi laga terakhirnya bersama Spanyol. Pensiunnya Iniesta, yang mencetak gol tunggal ke gawang Belanda pada final Piala Dunia 2010, menjadi tanda bahwa sebuah era telah berakhir.
Spanyol membutuhkan bintang-bintang baru, apalagi Gerard Pique juga dikabarkan akan pensiun setelah tampil di Rusia. ”Spanyol masih punya banyak pemain bagus dan bakal ada generasi baru,” kata Iniesta. Piala Eropa 2020 akan menjadi pembuktiannya.
Tidak hanya bagi Spanyol, Piala Dunia Rusia juga menjadi panggung internasional terakhir bagi barisan bintang Argentina, tim yang disingkirkan Perancis, Sabtu lalu. Langkah pensiun ini salah satunya dilakukan Lucas Biglia (32), gelandang yang mengemas 57 penampilan bersama tim ”Albiceleste”. Biglia memilih mundur untuk memberi ”jalan” bagi para talenta muda.
”Sekarang saatnya bagi saya untuk mundur. Saya harus tahu diri. Tidak lagi ada ruang bagi saya di tim ini ke depan. Akan ada barisan (pemain) generasi baru yang kaya talenta. Ini saatnya bagi mereka untuk mengambil alih,” tutur Biglia di Arena Kazan, Sabtu lalu.
Kesadaran serupa dilakukan Javier Mascherano, gelandang bertahan Argentina yang kini memasuki usia senja, yaitu 34 tahun. ”Berakhir sudah. Mulai saat ini saya hanya akan menjadi salah satu fans (Argentina). Saatnya mengucapkan selamat tinggal agar para pemain muda bisa muncul,” ujar pengoleksi 174 penampilan bersama Albiceleste yang kini berkarier di Liga China tersebut.
Kegagalan di Rusia mau tidak mau bakal memaksa Albiceleste menyongsong babak baru, yaitu peremajaan skuad. Argentina merupakan skuad ketiga di Rusia dengan rata-rata usia pemain tertua, yaitu 29,3 tahun. Hanya Kosta Rika dan Panama yang bisa melampaui keuzuran mereka.
Argentina sebetulnya memiliki barisan talenta muda hebat, seperti Emiliano Rigoni, Mauro Icardi, dan Angel Correa, yang bersinar di klub masing-masing. Namun, ketiganya tidak dipanggil ke Rusia.
Adapun Cristian Pavon, gelandang serang muda lainnya, hanya sekali dimainkan sebagai tim inti. Tak ayal, mereka kesulitan mengimbangi tenaga dan kecepatan Perancis, tim termuda di Rusia dengan rata-rata usia pemain 25,8 tahun.
Jorge Sampaoli, Pelatih Argentina yang kini dikabarkan akan mundur setelah kegagalan di Rusia, mengatakan, Argentina masih memiliki masa depan cerah. ”Saya sangat yakin, tim ini bisa menjadi hebat lagi suatu hari nanti. Argentina punya banyak pemain muda yang hebat,” ujarnya dalam jumpa pers akhir pekan lalu.
Sampaoli mengibaratkan sepak bola sebagai sebuah ”roda kehidupan”. ”Sepak bola selalu berubah. Anda tidak selalu bisa berada di atas. Kami harus menerima kenyataan ini. Itu akan membuat kita belajar untuk lebih baik,” ujarnya.