Sepak bola merupakan salah satu produk sukses yang dihasilkan oleh kemerdekaan Kroasia dari Yugoslavia. Olahraga ini mengangkat derajat bangsa Kroasia setelah Davor Suker dan kawan-kawan finis di posisi ketiga pada Piala Dunia 1998. Ini pencapaian besar bagi Kroasia yang waktu itu baru tujuh tahun merdeka.
”Sepak bola membentuk identitas bangsa sama besar dengan perang,” ujar Presiden Kroasia waktu itu, Franjo Tudman.
Tudman tahu betul bagaimana sepak bola bisa dimainkan dalam permainan politiknya. Dia menggelontorkan anggaran untuk sepak bola yang salah satunya untuk membentuk identitas bangsa. Kroasia terlalu lama berada dalam tekanan Yugoslavia sehingga tidak bisa menyuarakan jati dirinya.
Kerinduan pada jati diri itu dinyatakan tegas oleh bek Kroasia, Igor Stimac, sebelum laga semifinal Piala Dunia 1998 melawan tuan rumah Perancis. ”Kami berada di bawah Yugoslavia selama 45 tahun dan kami tidak bisa mengatakan bahwa kami orang Kroasia. Sekarang kami bisa. Itu sangat penting bagi kami,” tegas mantan bek West Ham United itu.
Sepak bola memang mengambil peranan penting dalam kemerdekaan Kroasia. Saat masih di bawah Yugoslavia, stadion merupakan kanal untuk menyuarakan keinginan komunal kelompok-kelompok etnis untuk merdeka.
Di liga Yugoslavia, sejumlah klub juga menjadi representasi kelompok-kelompok politik, seperti dikupas oleh Alex J Bellamy dalam buku The Formation of Croatian National Identity A Centuries-Old Dream. Klub Crvena Zvezda atau Red Star sangat kuat dikaitkan dengan Republik Serbia dan dinilai sebagai klub orang-orang nasionalis Yugoslavia. Sementara Dinamo Zagreb dikenal sebagai klub penguasa Republik Sosialis Kroasia.
Dua klub itu yang kemudian melahirkan ”Kericuhan Maksimir” pada laga 13 Mei 1990 di Stadion Maksimir, Zagreb. Kerusuhan besar antarsuporter kedua klub ini dimitoskan sebagai pemicu Perang Tanah Air yang berlangsung hingga 1995.
Kekacauan perang itulah yang memaksa Luka Modric dan Ivan Rakitic mengungsi pada masa kecilnya. Mereka hanya segelintir dari jutaan orang yang menderita akibat perang sipil itu.
Kini, Modric dan Rakitic telah menjadi bintang sepak bola dunia. Mereka menjadi tumpuan harapan bangsa Kroasia untuk mencapai puncak kejayaan di Rusia. Mereka berharap pencapaian 1998 bisa terulang, bahkan terlampaui.
Mereka bisa menyerap sumber motivasi besar jika sejenak memejamkan mata dan memutar ulang kenangan pahit di pengungsian. Mantan pelatih timnas Kroasia Miroslav Blazevic dalam wawancara dengan Simon Kuper, penulis buku Football Against The Enemy, mengatakan, ”Setiap kali menjelang pertandingan, saya berbicara kepada para pemain tentang masalah (bangsa) Kroasia, penderitaan para patriot kita. Sebab, dalam sepak bola, motivasi sangat penting.”
Modric dan kawan-kawan memiliki motivasi yang besar untuk mewujudkan mimpi besar menjadi juara dunia. Langkah mereka kini dihadang tuan rumah Rusia. Duel di Sochi akan panas, hingga dilabeli ”bernuansa neraka” oleh media Kroasia.(ANG)