Mimpi setinggi langit timnas Rusia di Piala Dunia 2018 berakhir di Sochi saat mereka takluk dari Kroasia melalui adu penalti, Minggu (8/7/2018) dini hari WIB. Namun, kisah perjuangan tidak kenal lelah mereka akan terus abadi dan terpatri di benak jutaan warga Rusia
Samara, kota di Rusia yang berbatasan dengan Kazakhstan, seolah menjadi kota mati ketika tim Rusia berlaga menghadapi Kroasia di babak perempat final Piala Dunia 2018 di Sochi. Sangat jarang warga berlalu lalang menikmati sore yang panjang dengan langit terang di musim panas itu. Sejumlah mobil bahkan menepi, pengemudinya memasang lampu bahaya, hanya untuk mendengarkan radio atau melihat siaran langsung daring.
Indera pendengaran, mata, dan seluruh perhatian mereka tertuju ke Sochi, kota di tepi Laut Hitam yang terpisah jarak 1.900 kilometer dari Samara. Di dalam sebuah taksi, pengemudinya, Sharipov Ergashevich, menginjak pedal gas mobil dalam-dalam. Mobil itu melaju sangat kencang, menyiratkan pengemudinya dikejar waktu.
Taksi itu terkadang bergerak zig-zag. Kami yang duduk di belakang pun sampai dag-dig-dug melihat kelakuan Sharipov yang tak dapat berkonsentrasi mengemudi. Betapa tidak, satu tangannya menggenggam ponsel pintar. Sesekali ia menatap ke layar ponsel itu yang menampilkan live text laga Rusia versus Kroasia. ”Gol? Apa benar gol?” teriaknya ke arah suara jeritan kegirangan di tepi jalan.
Saat itu, Rusia unggul lebih dulu atas Kroasia berkat gol Denis Cheryshev. Jeritan kegirangan dari halaman sebuah apartemen di tepi jalan raya pun terdengar hingga ke dalam taksi itu. Sharipov kembali menginjak pedal gasnya dengan perasaan riang. Setibanya di tempat tujuan di sebuah apartemen, Sharipov mampir sejenak ke kedai kebab yang berada di depan apartemen.
Di kedai itu, belasan warga Rusia memandangi layar televisi yang menampilkan laga di Sochi. Mereka mengenakan atribut Rusia. ”Saya pendukung Rusia,” ucap seorang bocah, yang mengenakan kostum merah khas Rusia, menyapa ramah. Mereka hampir tidak menyentuh makanan yang berada di meja karena perhatian terfokus ke televisi.
Jeritan kegirangan terdengar keras dari kedai itu seiring malam kian larut. Pada detik itu, di Sochi, bek Rusia, Mario Fernandes, mencetak gol penyama kedudukan 2-2 di babak ekstra. Asa Rusia kembali muncul. Namun, tidak lama berselang, keheningan dan kekecewaan mengiringi berakhirnya adu penalti. Tim ”Sbornaya” gagal mengulangi heroisme seperti saat menyingkirkan Spanyol di babak 16 besar.
Satu per satu pengunjung kedai itu pulang. ”Ya, kecewa tentu. Namun, bagaimanapun mereka telah memberikan yang terbaik,” ujar seorang warga Samara menggantungkan bendera Rusia ke atap kedai kebab itu.
Mimpi warga Rusia melihat timnya tampil di semifinal berakhir malam itu. Namun, pengalaman dua pekan terakhir akan melekat di ingatan mereka. Sbornaya telah menghidupkan kembali gairah dan kebanggaan rakyat Rusia akan timnas sepak bola mereka. Itu ditunjukkan dengan atribut tim dan bendera Rusia yang bertebaran di jalan serta teriakan Ross-iya, Ross-iya (Rusia) yang membahana.
”Hal yang tersisa adalah perubahan signifikan dari perilaku warga (Rusia). Dari hari pertama, kami sebetulnya tidak berharap banyak dari mereka (tim Rusia). Namun, ekspektasi itu mendadak berganti harapan tinggi untuk juara. Bagaimanapun, mereka telah membuat seisi negara ini bangga,” ujar Denis Kazansky, komentator di Match TV Rusia.
Rasa bangga juga dirasakan Kirill Kondrashov, warga Rusia yang sedang menumpang kereta jurusan Nizhny Novgorod-Moskwa, Sabtu (5/7) malam. Ia menonton laga Rusia-Kroasia itu saat sudah berada di atas kereta. Dengan menggunakan telepon genggamnya, ia mengajak penumpang lain untuk menonton laga tersebut.
Saat adu penalti berlangsung, mereka sontak berteriak gembira. Namun, ketika akhirnya Rusia kalah, Kirill melempar telepon genggamnya ke bangkunya. ”Sebenarnya kami tidak berharap banyak terhadap tim kami. Namun, ketika sudah sampai sejauh ini dan kalah, kami tentu juga merasa kecewa,” katanya.
Di sisi lain, Kirill sangat bangga karena tim kesayangannya mampu tampil memukau selama menjadi tuan rumah. Tidak hanya bisa sampai ke perempat final untuk pertama kali sejak Uni Soviet bubar, tetapi juga bisa menyingkirkan Spanyol. Bisa mengajak Kroasia berlaga hingga adu penalti juga sudah sangat hebat.
Penampilan gemilang skuad Sbornaya ini pun membuat warga di Nizhny Novgorod berbondong-bondong memenuhi fan fest untuk menyaksikan laga tersebut. Ratusan pendukung Rusia bahkan rela basah kuyup kehujanan pada sore itu.
Capaian Sbornaya di perempat final dan mengalahkan juara dunia 2010, Spanyol, adalah prestasi tertinggi tim itu di bawah Federasi Rusia atau setelah runtuhnya Uni Soviet, 1991 silam. Tak heran, menurut Denis Kazansky, kebanggaan dan kembalinya kecintaan warga Rusia akan Sbornaya ditunjukkan dengan banyaknya nama (Artem) Dzyuba atau (Igor) Akinfeev yang diberikan kepada bayi-bayi yang terlahir dua pekan terakhir di Rusia.
Ya, warga Rusia telah kembali jatuh cinta kepada Sbornaya. Satu kegagalan atau ketidakberuntungan, yaitu di Sochi, tidak bisa merampas kecintaan itu.