Tim nasional Inggris memulai Piala Dunia Rusia 2018 sebagai tim paling minim pengalaman, juga belia. Namun, latar belakang itu justru menjadi keuntungan bagi mereka. Tanpa beban masa lalu dan dengan kesahajaannya, skuad ”Tiga Singa” lebih ringan melangkah di Rusia. Mereka pun kini kian dekat untuk mewujudkan mimpi merengkuh trofi.
SAMARA, KOMPAS Sebagian publik Inggris bertanya-tanya ketika Pelatih Inggris Gareth Southgate nekat memboyong kiper Jordan Pickford dan bek Harry Maguire, dua pemain yang tidak punya label bintang dan minim pengalaman internasional, ke Rusia. Southgate hanya menjawab singkat, ”Saya yakin, ini adalah skuad yang bisa membuat kita bersemangat (lagi).”
Pickford dan Maguire hanyalah dua dari 19 pemain Inggris yang tak pernah mencicipi atmosfer Piala Dunia sebelumnya. Dari semua anggota skuad, 10 pemain bahkan belum sekali pun pernah memakai kostum ”Tiga Singa”. Inggris juga disebut sebagai tim paling ”ingusan” di Rusia, yaitu dengan rata-rata usia pemain 26 tahun dan 20 penampilan untuk timnas.
Tidak heran, banyak suporter fanatik Inggris yang absen mengikuti kiprah Tiga Singa di Rusia. Saat laga perempat final melawan Swedia di Samara, misalnya, hanya 5.000 pendukung Inggris yang datang menonton. Jauh lebih banyak orang Rusia, bahkan Swedia, yang hadir di Samara Arena.
Hal itu sangat kontras dengan turnamen-turnamen sebelumnya, seperti Piala Eropa Perancis 2016, di mana suporter Inggris berduyun-duyun datang.
Namun, perjudian Southgate meninggalkan sejumlah pemain berpengalaman, seperti kiper Joe Hart dan gelandang Jack Wilshere yang gagal di Piala Dunia Brasil, terbayar lunas di Samara. Pickford, yang dipandang sebelah mata di Liga Inggris, menjadi pemain terbaik pada laga di Samara berkat tiga penyelamatan spektakulernya. Adapun Maguire, yang pada Piala Eropa 2016 datang ke Perancis hanya sebagai seorang pendukung Inggris, mencetak gol pembuka Tiga Singa di Samara.
Publik Inggris dan dunia pun kini memahami alasan Southgate, pelatih yang juga minim pengalaman, nekat membawa barisan belia ke Rusia. Southgate paham, masalah terbesar kegagalan bertubi-tubi Inggris di turnamen besar seperti Piala Dunia bukan lantaran kalah teknik atau kualitas. Sebagai mantan pemain yang pernah dihantui kegagalan penalti di semifinal Piala Eropa 1996, ia sadar pentingnya aspek psikis.
Tanpa pengalaman atau beban masa lalu, label superstar, dan sorotan ekspektasi publik, kaki-kaki pasukan muda Tiga Singa lebih ringan melangkah di Rusia. Mereka tidak ubahnya anak-anak yang hanya ingin bermain bola dengan riang gembira dan jiwa lapar. Tidak ada pemain yang merasa mapan atau lebih hebat dari lainnya, seperti pada era Alan Shearer, David Beckham, dan Wayne Rooney.
Seperti keluarga
Seperti para remaja, mereka sering bercanda dan berbincang satu sama lain. Tidak seperti tim Inggris di Piala Dunia 2014 yang lebih sering menghabiskan waktu di bus dalam perjalanan berlatih atau ke stadion dengan headset dan menutup telinga dari rekan-rekannya.
”Kami seperti keluarga yang menghabiskan banyak waktu bersama. Saya melihat mereka (rekan setimnya) seperti saudara sendiri dan sebaliknya. Jadi, ini semua tentang kebersamaan dan kepercayaan,” ujar Harry Kane, striker Inggris, seusai laga itu.
Kolektivitas dan kebersamaan adalah nilai-nilai dasar dari sepak bola, yaitu olahraga tim atau beregu. Kesahajaan juga tecermin dalam karakter bermain Tiga Singa di Rusia. Mereka tidak banyak gembar-gembor atau melakukan operan rumit di kotak penalti saat menyerang. Hanya lewat sepak pojok sederhana, mereka bisa membuat gol, seperti ditunjukkan Maguire. Hanya melalui umpan silang simpel dari sayap, Inggris mencetak gol, seperti gol Dele Alli di Samara.
Meskipun terkesan sederhana, gol-gol itu hanya mungkin tercipta berkat kesamaan ”frekuensi”, kolektivitas, dan hasil tempaan berjam-jam latihan. Tidak heran, legenda Inggris, Sir Geoff Hurst, meyakini, Kane dan kawan-kawan bisa memulangkan Piala Dunia ke Inggris. Ia terbawa ke masa mudanya—ketika meraih Piala Dunia pada tahun 1966—saat melihat sepak terjang Kane dan kawan-kawan di Rusia.
Seperti di masa bersejarah Inggris saat itu, Tiga Singa tampil dengan barisan pemain minim pengalaman. ”Sukses di Piala Dunia ditentukan oleh semangat dan persahabatan yang dijalin selama empat atau lima pekan. Pada 1966, jika ada pemain yang merasa lebih hebat dan eksklusif, (pelatih) Alf Ramsey tidak segan mengeluarkannya dari tim. Anda tidak bisa hanya bergantung pada satu-dua pemain,” ujar Hurst, seperti dikutip majalah GQ.
James, suporter Inggris asal Manchester yang ditemui di Rusia, mengakui Tiga Singa saat ini tidaklah ”semewah” generasi-generasi masa lalu. ”Nama Harry Kane atau Dele Alli tidak sepopuler Wayne Rooney atau David Beckham di kancah dunia. Namun, justru itu kekuatan mereka. Tim ini menghilangkan ego dan kemewahan, hal yang selama ini menjadi masalah di Inggris,” ujarnya beberapa waktu lalu.
Kesahajaan dan jiwa muda Inggris itu kini akan diuji Kroasia, salah satu tim matang dan kaya pengalaman, di partai semifinal pada 12 Juli dini hari WIB. Duel berbeda usia dan karakter ini tentu menjanjikan laga yang sengit dan panas karena kedua tim sama-sama ingin menciptakan sejarah.