Mimpi Buruk Bernama Adu Tendangan Penalti
Hal yang paling menyedihkan dalam adu tendangan penalti adalah, bahkan pria setua saya, bisa mengalahkan kiper kelas dunia sekalipun–Terry Venables.
Igor Akinfeev terduduk di depan gawangnya. Matanya nanar berkaca-kaca. Satu menit lebih kiper utama Rusia itu memandang kosong, sesekali dia mengusap matanya yang memerah sebelum sejumlah rekan setimnya membantunya berdiri.
Di sudut lain, sekelompok pemain Kroasia berlompatan dan serempak berbaring di rumput menindih kiper Danijel Subasic dan eksekutor terakhir Ivan Rakitic. Dalam pemandangan kontras di Stadion Sochi tersebut, sepak bola kembali pada satu titik perdebatan, atau pergumulan pemikiran yang tak pernah usai, adilkah satu laga yang menentukan hidup mati satu tim ditentukan lewat perjudian adu tendangan penalti?
Rusia, tuan rumah Piala Dunia 2018, tersingkir di babak perempat final. Mereka kini paham betapa menderitanya tersingkir dengan cara brutal seperti itu. Setelah perjuangan hebat selama 120 menit, seolah semua upaya sirna seketika saat satu atau dua pemain gagal menyarangkan bola lewat titik putih.
Di tribune penonton, sekelompok pendukung Rusia berpelukan, saling menghibur. Sebagian tak henti-hentinya menangis. Seorang bocah yang wajahnya dicat warna putih, merah, biru, juga meleleh air matanya, dia kemudian tertawa setelah menyadari wajahnya terproyeksi di layar besar stadion.
Tak berlangsung lama, pendukung Rusia yang jumlahnya puluhan ribu tersebut memberikan penghormatan berdiri, mereka bertepuk tangan untuk perjuangan Akinfeev dan kawan-kawan yang telah menerima kenyataan pahit ini. ”Kami tetap bangga. Rakyat Rusia kini telah jatuh cinta pada tim nasionalnya sendiri,” ujar Stanislav Cherchesov, pelatih pasukan ”Beruang Merah”.
Rusia pasti menerima kenyataan pahit itu dengan lapang dada. Beberapa hari sebelumnya, dalam laga babak 16 besar menghadapi Spanyol, justru pasukan Cherchesov yang memenangi laga lewat adu tendangan penalti. Setelah bertahan total selama hampir 120 menit menghadapi salah satu tim paling ofensif, mereka memenangi perjudian sepakan 12 pas itu untuk melaju ke perempat final.
Sampai dengan kelarnya perempat final yang menyaring ajang paling bergengsi ini menjadi empat tim, Perancis, Belgia, Inggris, dan Kroasia di babak semifinal, Piala Dunia 2018 telah menyelesaikan empat laga babak gugur dengan adu tendangan penalti. Sejauh ini Kroasia menjadi tim yang mampu menyelesaikan babak tos-tosan itu dengan dua kemenangan, atas Denmark di babak 16 besar, dan atas Rusia di perempat final.
Inggris juga lolos ke semifinal setelah pada babak 16 besar menyingkirkan Kolombia lewat tembakan 12 langkah. Bagi Inggris di bawah kendali Gareth Southgate, sukses lolos dari adu tendangan penalti adalah yang pertama kalinya dalam empat kesempatan di Piala Dunia.
Dalam tiga kesempatan pertama, tahun 1990, 1998, dan 2002, mereka seolah menerima ”kutukan” tak pernah menang dalam adu tendangan penalti di babak gugur turnamen utama (mayor). Jika ditambah Piala Eropa, Inggris enam kali tak pernah mampu melewati adu tendangan penalti dengan kemenangan.
Hanya satu laga
Dalam enam edisi Piala Dunia terakhir, saat memasuki babak gugur setelah fase grup, tercatat hanya satu laga setelah perpanjangan waktu yang tidak diselesaikan lewat adu tendangan penalti, yakni saat final Piala Dunia 2014 antara Jerman dan Argentina. Selebihnya harus diselesaikan lewat drama penuh air mata tersebut, termasuk final 1994 saat Brasil mengalahkan Italia setelah eksekusi Roberto Baggio yang pahanya sudah dibalut perban melambung di atas gawang Brasil.
Sepanjang sejarah Piala Dunia modern yang selalu menggelar drama adu penalti sejak 1982 di Spanyol, sebanyak 30 laga harus diselesaikan dengan adu keberuntungan antara kiper dan eksekutor tersebut. Dari 30 laga itu, hanya dua laga harus diselesaikan dengan fase sudden death, yakni setiap satu eksekutor setelah lima eksekutor pertama hasil masih berakhir imbang.
Jerman, juara dunia empat kali, adalah negara yang paling sukses dalam drama adu tendangan penalti di Piala Dunia. Mereka mencatat rekor 100 persen keberhasilan dengan memenangi empat laga dari empat kesempatan sejak pertama kali mengalahkan Perancis di Piala Dunia 1982. Ini adalah adu penalti pertama sejak babak tos-tosan itu diperkenalkan pada gelaran 1978 di Argentina.
Sampai dengan laga antara Rusia dan Kroasia, sebanyak 279 tendangan penalti setelah perpanjangan waktu telah dilakukan sepanjang sejarah Piala Dunia, dengan 196 eksekusi berhasil dilaksanakan sempurna.
Argentina, yang di Rusia 2018 ini kalah melawan Perancis di babak 16 besar, merupakan negara nomor dua yang paling sukses. Pemegang dua gelar juara dunia itu empat kali berhasil menang dari lima kesempatan. Tahun 1990 di Italia, diinspirasi oleh Diego Armando Maradona dan Osvaldo Ardiles, Argentina mencapai partai final setelah memenangi dua adu tendangan penalti melawan Yogoslavia dan Italia, sebelum kalah di final melawan Jerman.
Tahun 1998, Argentina mengalahkan Inggris untuk melaju ke perempat final. Namun, pada 2006, Argentina kalah dalam adu tendangan penalti melawan tuan rumah Jerman yang berbuntut kerusuhan antarpemain dan ofisial kedua kubu.
Brasil juga termasuk negara yang sukses dengan memenangi tiga dari empat kesempatan, termasuk mengalahkan Italia di gelaran 1994. Sementara Perancis memenangi dua dari empat kesempatan, termasuk saat ”Les Bleus” menyerah kalah melawan Italia pada final 2006.
Sampai dengan laga antara Rusia dan Kroasia, sebanyak 279 tendangan penalti setelah perpanjangan waktu telah dilakukan sepanjang sejarah Piala Dunia, dengan 196 eksekusi berhasil dilaksanakan sempurna. Angka konversi yang jelas memihak eksekutor ketimbang kiper ini sekali lagi memperlihatkan tekanan terbesar ada di pihak penembak. Dalil tendangan penalti menyebutkan, kiper hanya bertanggung jawab sekitar 5 persen untuk menahan eksekusi, sementara penembak punya beban 95 persen keberhasilan.
Perdebatan panjang
Jika Jerman dan Argentina adalah kisah sukses adu tendangan penalti, lebih banyak negara yang merasakan pahitnya hasil babak tos-tosan tersebut. Inggris adalah contoh negara yang selalu sial dalam adu penalti sebelum pasukan Southgate mengakhiri kutukan saat jumpa Kolombia.
Meski demikian, adu penalti barangkali cara brutal yang paling adil dalam penentuan hasil laga juga mengingat sistem yang dipakai sebelum 1978.
Gerardo Martino yang menangani Paraguay pada Piala Dunia 2010 mengakui, adu tendangan penalti sangat tidak adil. ”Semua orang paham bahwa sangat tidak adil penentuan pemenang lewat adu penalti. Tetapi memang demikian faktanya,” ujar Martino yang timnya menang atas Jepang lewat babak penuh drama tersebut.
Kecaman yang disampaikan Venables, juga kritik Martino, memang merupakan perdebatan panjang yang sampai detik ini tak pernah usai. Logika sepak bola mengatakan, permainan ini adalah pergerakan tanpa henti 22 pemain yang berebut bola selama 90 menit, atau 120 menit tanpa henti. Dalam babak gugur, upaya luar biasa itu seolah tak berarti manakala laga harus ditentukan lewat adu penalti. Saat bola ditempatkan di titik putih, hanya dua pemain yang berinteraksi, selebihnya terpaku di tengah lapangan.
Saat Spanyol yang populer dengan passing football-nya, saat mereka mampu melakukan 600 passing akurat dalam satu laga, penderitaan kalah adu penalti seolah mencapai puncaknya. Saat rata-rata pemain bergerak lari sepanjang 10 kilometer lebih, laga harus ditentukan hasilnya oleh satu sepakan dan beberapa langkah saja.
Meski demikian, adu penalti barangkali cara brutal yang paling adil dalam penentuan hasil laga juga mengingat sistem yang dipakai sebelum 1978. Pada 1970, saat FIFA belum memakai sistem adu penalti, dan laga tak mungkin ditentukan lewat pertandingan ulang (replay), penentuan pemenang menggunakan undian koin. Italia melaju ke final Kejuaraan Eropa 1968 (kemudian berganti nama menjadi Piala Eropa) mengalahkan Uni Soviet dengan undian tersebut. Israel kalah dalam perempat final Olimpiade juga akibat sistem undian tersebut.
Israel yang merasa terpukul akibat kekalahan tersebut kemudian mengajukan proposal kepada FIFA agar badan dunia itu menggunakan adu tendangan penalti, sistem yang digunakan turnamen domestik di Eropa dan Amerika Latin sejak 1952. FIFA menyetujui sistem ini dan debut terjadi pada kualifikasi Zona Afrika pada 1977 saat Tunisia mengalahkan Maroko.
Venables yang mantan pelatih Inggris dan Australia barangkali benar, tetapi mungkin juga adu tendangan penalti, sekali lagi adalah cara brutal yang paling adil saat ini. Meski begitu, bagi para pemain yang mengalami kegagalan, penderitaan itu sangat panjang, bahkan masih menjadi mimpi buruk sampai saat ini. Tanyalah pada mantan bintang Inggris, Chris Waddle dan Stuart Pearce, dua pemain yang gagal saat adu penalti melawan Jerman.
Saat menjadi pemain, Southgate pun gagal menjadi eksekutor penalti saat Inggris kalah adu penalti melawan Jerman di Piala Eropa 1996. Maka kita paham mengapa dia seolah lepas dari mimpi buruk saat membawa Harry Kane dan kawan-kawan memenangi adu penalti melawan Kolombia di Rusia 2018.