Bukan Sekadar Generasi Emas
Setidaknya hingga lima tahun lalu, jika ada yang menjagokan Belgia dalam turnamen besar sepak bola, pastilah hanya dianggap sekadar lelucon. Namun, kini lelucon itu sudah jauh kehilangan kelucuannya. Sangat jauh.
MOSKWA, SENIN Cerita menyentak Belgia yang mampu menundukkan juara dunia lima kali sekaligus favorit kuat juara Piala Dunia 2018, Brasil, pada perempat final tiga hari lalu, masih terngiang. Sanjungan kepada ”generasi emas” Belgia pun kembali membahana. Namun, generasi emas tersebut hanyalah sekeping bagian dari kisah panjang negara itu membangun tim nasional yang tangguh.
Pada laga di Kazan Arena itu, skuad penuh talenta dan tradisi gelar seperti Brasil dibuat tak berkutik oleh permainan ”Setan Merah”, julukan Belgia. Jurus-jurus tusukan Brasil yang masyhur itu selalu mentok oleh kokohnya benteng Belgia. Sebaliknya, serangan balik Belgia sangat ampuh memorakporandakan pertahanan tim ”Samba”.
Pada partai itu, Belgia cuma mencatatkan 8 percobaan gol dengan hanya 3 yang tepat sasaran. Adapun Brasil menggelontorkan 26 upaya, 9 di antaranya jitu. Namun, hasil akhir berkata lain: 2-1 untuk Belgia.
Siapa pun yang menyaksikan laga itu tampaknya bisa sepakat bahwa Belgia layak memenangi pertandingan. Pelatih Brasil Tite pun mengakui Belgia bermain lebih efektif ketimbang timnya.
”Saya tidak akan bilang kami kurang beruntung. Belgia memiliki pemain-pemain berkualitas tinggi, seperti (Kevin) De Bruyne, (Romelu) Lukaku, (Eden) Hazard, dan bahkan (Vincent) Kompany serta (Thibaut) Courtois. Mereka pemain-pemain top,” ujar Tite seusai laga.
Pemain-pemain yang disebut Tite itulah generasi emas Belgia. Selain efektif, mereka juga bermain kompak dan militan malam itu. Kombinasi teknik mumpuni dan semangat tarung tinggi betul-betul menjelma maksimal bagi keuntungan Belgia.
Visi 2000
Generasi emas Belgia sudah disebut-sebut sejak mereka tampil di panggung Piala Dunia Brasil 2014. Meski sudah jauh meningkat dari masa-masa sebelumnya, penampilan Belgia kala itu masih sedang-sedang saja sehingga terhenti di perempat final. Hal itu berulang saat mereka ikut Piala Eropa 2016 di Perancis.
Saat datang ke Rusia tahun ini pun mereka kembali diperhitungkan sebagai tim kuat. Namun, banyak orang masih meragukan daya saing mereka dengan elite-elite lama, seperti Brasil, Jerman, Spanyol, Argentina, dan Inggris. Kemenangan atas Brasil kemarin menunjukkan Belgia kini sepantar dengan para raksasa sepak bola dunia. Bahkan, peluang mengangkat trofi pun terbuka lebar.
Dari manakah gerangan kekuatan Belgia itu datang?
Tidak ada mantra ajaib simsalabim atau strategi instan untuk membidik target satu-dua turnamen. Belgia memilih jalan panjang dan berliku demi mengubah status tim medioker Eropa menjadi kekuatan permanen sepak bola dunia.
Tahun 2000 menjadi awal titik balik tersebut. Saat itu, bersama Belanda, Belgia menjadi tuan rumah Piala Eropa 2000. Tetangganya yang lebih sukses dalam urusan sepak bola itu pun menjadi salah satu favorit juara dan mampu melaju hingga semifinal. Sementara Belgia terpuruk di fase grup dengan hanya sekali menang lawan Swedia serta dua kali kalah dari Italia dan Turki.
Hasil menyakitkan di rumah sendiri itu membuka mata asosiasi sepak bola Belgia (RBFA) untuk membenahi timnas. Mereka lantas membangun sistem pembinaan pemain secara holistik dan berkelanjutan dari usia dini. Cetak biru revolusi tersebut dinamai ”Visi 2000”, sesuai tahun awal penerapannya.
Sistem itu mencari dan menggodok pemain secara bertahap di setiap jenjang usia bekerja sama dengan sekolah dan klub-klub. Jurnalis Stuart James, dikutip dari laman The Guardian tertanggal 6 Juni 2014, mencatat, Belgia membangun pusat sepak bola nasional yang baru untuk mewujudkan visi itu.
RBFA pun mengucurkan dana besar untuk pengembangan pemain muda dan usia dini serta menggratiskan kursus kepelatihan tingkat dasar sehingga mendongkrak peminat 10 kali lipat.
Mendidik
Negara seukuran Jawa Tengah itu juga mendirikan delapan pusat pelatihan regional untuk merekrut dan menggembleng bibit berbakat. Pusat pelatihan yang tersebar merata di seantero negeri membuat para tunas muda mudah menjangkaunya.
Teknik yang difokuskan adalah menggiring bola secara kreatif dan menekan lawan dengan ketat. Hal itu seperti diungkapkan Bob Browaeys, salah seorang arsitek Visi 2000 sekaligus pelaksananya. ”Kami ingin menghasilkan pemain yang berbeda dan gaya bermain yang berbeda pula,” kata pelatih timnas Belgia U-15, U-16, dan U-17 selama hampir 20 tahun itu.
Dalam kesempatan lain pada 2015, seperti dikutip dari laman FIFA, Browaeys menjelaskan, prinsipnya dalam memoles pemain muda adalah dengan menjadi pendidik, bukan pelatih. Metodenya adalah menciptakan lingkungan di mana para pemain memiliki kesempatan untuk berkembang.
Selain itu, Browaeys juga sering berbicara dari hati ke hati kepada setiap pemain dan membuat mereka menetapkan target masing-masing. ”Saya mencoba mengasuh kreativitas dan kemampuan individual mereka sambil tetap menjaga semangat kolektivitas tim,” ujarnya.
Hasilnya, banyak pemain dilirik klub-klub strata tertinggi kompetisi Eropa yang membuat keterampilan mereka kian matang. Kerja keras secara serius dan konsisten selama 18 tahun tersebut kini dinikmati timnas Belgia. Pada November 2015, mereka sudah memetik satu buah manis saat Belgia untuk pertama kalinya dalam sejarah menduduki peringkat pertama dunia FIFA.
Dengan fondasi sistem pembinaan pemain muda yang kokoh itu, Belgia dapat menciptakan aliran konstan generasi emas, bukan sekadar fenomena yang timbul-tenggelam. Seperti dikatakan Browaeys, ”Suatu hari nanti, bisa saja pemain seperti Eden Hazard bahkan tidak cukup bagus dan harus diganti. Itu tidak mudah.”
(REUTERS/AFP/ENG)