Langit Samara terang benderang, padahal jam baru menunjuk pukul 05.30. Ya, musim panas membuat matahari terbit lebih cepat di Rusia, negara di belahan utara Bumi itu. Suasana Sabtu (7/7/2018) pagi itu menyambut dua peliput pesta bola yang baru tiba setelah menempuh perjalanan lima jam dari Kazan, kota lain yang menjadi penyelenggara pertandingan Piala Dunia Rusia.
Pemilik apartemen tempat mereka menginap belum tiba. Mereka lantas duduk di depan halaman toko kue di seberang Jalan Partsyezda. Tas-tas dan koper berisikan kamera, laptop, dan berbagai alat kerja ditaruh di tempat itu.
Sejumlah orang lalu lalang menuju ke halte bus di seberang kami untuk pergi bekerja. Tak jauh, sekitar 10 meter dari halte bus itu, sejumlah polisi tengah beristirahat seusai berpatroli.
Di tengah keasyikan melihat geliat pagi hari di Samara, seorang warga lokal menyapa. Awalnya, ia meminta sebatang rokok, hal yang sangat lumrah di Rusia. Tak lama, ia nyerocos dengan bahasa Rusia. ”Anda punya rubel (uang Rusia)? Berikan saya 50 rubel (Rp 11.000) saja,” ujarnya dengan menggunakan bantuan alat penerjemah, Google Translate, di perangkat ponsel.
Aroma alkohol tercium dari embusan napasnya. Permintaan tak dipenuhi, bukan lantaran mereka tidak punya uang yang jumlahnya tidak seberapa itu. Mereka khawatir, pria itu atau rekan-rekannya meminta lebih banyak jika diberi.
Benar saja, sesaat kemudian, tiga rekannya ikut menghampiri. ”Anda dari mana? Tidak ada rubel? Bagaimana (kalau) dollar Amerika? Berikan 50 sen atau 1 dollar saja,” ujar pria itu sambil menyilangkan jari telunjuk di lehernya sebagai tanda mengancam.
Suasana pun menjadi mencekam. Salah satu dari para penikmat sepak bola itu tersengat kekhawatiran. Kenangan ketika nyaris dirampok di kampung legenda Perancis, Zinedine Zidane, di La Castellane, Marseille, Perancis, ketika meliput Piala Eropa 2016, mendadak hidup kembali. Situasi di Samara saat itu sama bahayanya dengan di Castellane, daerah pinggiran Marseille yang dipenuhi ghetto dan rawan kriminalitas.
Situasi itu menjadi pengalaman barunya di Rusia, negara yang selama tiga pekan sebelumnya terlihat sangat ramah dan aman, bahkan di malam hari sekali pun. Kesan ramah itu berubah total dan tergambar di tulisan pada kaus yang dikenakan salah satu berandalan itu, ”prepare, attack, and destroy”. Pria Rusia yang mengenakan kaus itu mengaku dirinya pelaku kriminal dan paling ngotot meminta sesuatu.
Beruntung, tidak lama berselang, pemilik apartemen muncul. ”Mereka ini teman-teman saya dari Indonesia. Tolong, jangan diganggu,” ujar Oleg Salynin, sang pemilik apartemen.
Oleg membimbing langkah ke apartemennya. ”Tolong, kunci pintu dua kali. Jangan pernah berkontak dengan orang-orang itu. Mereka adalah (pelaku) kriminal yang tidak segan merampok Anda. Sangat berbahaya,” ujar Oleg begitu tiba di apartemennya.
Oleg lantas bercerita. Meskipun indah, Samara memiliki sisi gelap, yaitu kriminalitas. Turis asing sering menjadi target, terutama saat malam hari dan subuh. Samara adalah salah satu kota di Rusia yang sempat diisolasi karena proyek-proyek rahasia, salah satunya wahana antariksa, di era Uni Soviet. Tak heran, turis asing sering menjadi perhatian warga di kota kecil yang sering disebut ”Kota Antariksa” itu.
Berdasarkan situs Numbeo yang rutin melakukan monitoring indeks kriminalitas di sejumlah negara, Rusia adalah salah satu negara paling rawan kejahatan di Eropa. Negara tuan rumah Piala Dunia 2018 itu menempati peringkat kedelapan negara rawan kriminalitas jalanan di Eropa. Adapun Perancis berada di urutan ketiga dan Ukraina nomor satu.
Benar saja, baru-baru ini dua jurnalis asing peliput Piala Dunia menjadi korban kriminalitas di Rusia. Seperti dilansir Moscow Times, seorang jurnalis asal Inggris yang bekerja untuk BBC dibius lalu dirampok di sebuah taksi yang ditumpanginya di Moskwa. Ia kehilangan ponsel, kartu ATM, dan uang 550 pounds (sekitar Rp 10 juta). Adapun jurnalis lainnya asal Amerika Serikat ditusuk oleh orang Rusia dan terluka di sebuah bar di kota itu.