Dalam sepak bola, tiada hal yang mustahil. Kroasia, negara dengan populasi penduduk hanya sekitar 4 juta jiwa, melesat ke final Piala Dunia Rusia 2018 setelah menyingkirkan negara kiblat sepak bola, Inggris, pada semifinal, Kamis (12/7/2018) dini hari WIB di Moskwa. Mental baja tim ”Vatreni” menjungkirbalikkan logika.
Luka Mandic (26), suporter tim nasional Kroasia, berulang-ulang membuat tanda salib di dada sambil menengadahkan kepalanya ke langit saat meninggalkan tribune Stadion Luzhniki. Matanya sembab, rahangnya bergetar hebat. ”Ini sulit dipercaya. Kami hanya negara kecil yang pernah diterpa sejumlah masalah. Namun, kami bisa ke puncak dunia. Kami menunjukkan, apa pun bisa terjadi berkat kekuatan tekad. Ini malam yang tidak akan pernah saya lupakan,” ujar Mandic seraya mengusap air mata kebahagiaan.
Banyak logika dan kelaziman yang dipatahkan tim Vatreni untuk mencapai final Piala Dunia pertamanya semenjak berdirinya negara itu tahun 1991 silam. Mereka negara terkecil yang melangkah ke final Piala Dunia setelah Uruguay, yang berpenduduk 3,4 juta jiwa, terakhir kali menembus final pada 1950. Kroasia juga menjadi negara dengan peringkat terendah dalam sejarah, yaitu ke-20 dunia, yang lolos ke final.
Selain itu, seperti dikatakan Mandic, sejumlah persoalan mendera sepak bola Kroasia menjelang dan selama bergulirnya Piala Dunia kali ini. Federasi Sepak Bola Kroasia (NHS) tengah disorot menyusul kepemimpinan presidennya, Davor Suker. Legenda Kroasia yang membawa Vatreni lolos ke semifinal Piala Dunia Perancis 1998 itu dianggap ”boneka” dari Zdravko Mamic, mantan presiden klub Dinamo Zagreb, yang terjerat kasus korupsi dan dianggap ”mafia” penjualan pemain.
Isu tak sedap itu juga berdampak pada buruknya performa Vatreni di kualifikasi Piala Dunia Rusia. Kroasia nyaris tidak lolos ke Rusia setelah menelan kekalahan bertubi-tubi dari Eslandia dan Turki. Ante Cacic, pelatih saat itu, lantas dipecat dan digantikan Zlatko Dalic. Kehadiran Dalic, pelatih religius yang mengutamakan kolektivitas tim ketimbang aspek individu, membawa perubahan besar di tim.
Perubahan besar itu salah satunya mengakibatkan terpentalnya striker Nikola Kalinic. Pemain AC Milan itu diusir dari tim dan dipulangkan ke Kroasia setelah menolak diturunkan pada laga kontra Nigeria di penyisihan Grup D Piala Dunia Rusia. Kalinic mengeluhkan sakit di punggungnya sebagai alasan menolak dimainkan Dalic saat itu. Ia khawatir cederanya itu bakal lebih parah jika nekat bermain.
Namun, bagi pelatih berjiwa spartan seperti Dalic, alasan ”cengeng” itu tidak dapat diterima. Di semifinal banyak pemain Kroasia yang sebenarnya tak bugar 100 persen. ”Malam ini tak seorang pun pemain yang ingin diganti, termasuk mereka yang menderita cedera minor, yang membuat tidak bisa tampil lagi pada laga berikutnya. Dua dari mereka bahkan tampil dengan ’satu kaki’, tetapi itu tidak terlihat (di lapangan). Karakter pantang menyerah ini membuat saya bangga,” ujar Dalic seusai laga.
Lelah berlari
Permainan Kroasia memang sulit dinalar. Kaki-kaki mereka terlihat lelah berlari pada babak pertama laga itu. Betapa tidak, mereka melewati menit laga jauh lebih lama dari Inggris atau Perancis, finalis lain, di Rusia. Dua kali beruntun mereka harus melewati perpanjangan waktu dan adu penalti di babak 16 besar dan perempat final. Kelelahan itu memicu tumbangnya sejumlah pemain, seperti bek Sime Vrsaljko pada laga kontra Rusia.
Ajaibnya, Vrsaljko yang tengah cedera lutut tetap tampil di Luzhniki. Bek Atletico Madrid itu, yang beberapa kali meringis menahan sakit di Luzhniki, berkontribusi pada gol penyama skor Kroasia berkat asisnya yang disambut sontekan Ivan Perisic.
Mental spartan ditunjukkan Mario Mandzukic yang menolak diganti setelah bertabrakan dengan kiper Inggris, Jordan Pickford. Mandzukic lalu mencetak gol yang membuat jutaan warga Kroasia larut dalam euforia.
”Berkali-kali kami terjatuh dan tertinggal lebih dulu pada tiga laga terakhir. Namun, kami mampu bangkit. Ini semua buah tekad kuat dan kebersamaan tim. Kami semua berjuang untuk satu sama lain dan demi kebanggaan negara ini (Kroasia). Karakter ini menjadi ciri khas generasi kami,” ujar Perisic.
Militansi skuad Kroasia kini agaknya mengikuti jejak Italia saat menjuarai Piala Dunia Jerman 2006. Tak diunggulkan, tetapi menjadi juara. Lawan Italia di final 2006 adalah Perancis, yang juga akan dilawan Kroasia.
Marco van Basten, legenda Belanda, menilai, Kroasia memiliki kekuatan menakutkan untuk menjungkalkan Perancis. Mereka militan dan mengamalkan semangat untuk berkorban.