Banyak orang berkata, Stadion Luzhniki di kota Moskwa, Rusia, adalah ”kembaran” dari stadion kebanggaan Indonesia, Gelora Bung Karno, di Jakarta. Di satu sisi, anggapan itu benar. Kedua stadion, meskipun terpisah jarak 9.300 kilometer, berbagi kemiripan arsitektur. Kedua stadion itu juga menjadi saksi bisu kemesraan hubungan diplomatik Indonesia-Rusia di masa silam.
”Stadion Luzhniki adalah kembaran GBK (Gelora Bung Karno). Stadion itu menjadi inspirasi Bung Karno (Soekarno) mendirikan GBK pada tahun 1960,” ujar Duta Besar Indonesia untuk Federasi Rusia dan Belarus M Wahid Supriyadi dalam perbincangan di Moskwa, beberapa waktu lalu.
Melihat Luzhniki, stadion terbesar di Rusia yang menjadi arena pembukaan sekaligus penutupan Piala Dunia 2018, seperti menatap GBK, stadion yang kini kembali cantik setelah renovasi besar-besaran untuk menyambut Asian Games 2018.
Dari kejauhan, pilar-pilar dan kolom beton Luzhniki yang berwarna coklat terlihat serupa dengan struktur beton penyangga tribune Stadion Utama GBK. Bedanya, pilar-pilar dan kolom beton di GBK berdiri sedikit miring, tidak tegak lurus seperti Luzhniki. Kesamaan lain, Luzhniki dikelilingi kompleks fasilitas olahraga lain, seperti arena akuatik, lapangan tenis, kantor Komite Olimpiade Nasional, dan gedung serbaguna.
Ketika berdiri pada Juli 1956, Luzhniki menjadi salah satu stadion terbesar dan termegah di Eropa. Saat itu stadion yang berada tepat di tepi Sungai Moskwa tersebut dapat menampung 100.000 penonton. Bung Karno, yang ketika itu menjalin hubungan dekat dengan Uni Soviet dan pemimpinnya saat itu, Nikita Khrushchev, turut hadir dalam inaugurasi stadion tersebut.
Seperti ditulis Russia Beyond, Bung Karno sangat terkesan dengan stadion yang saat itu dinamai Stadion Lenin, sebagai penghormatan atas tokoh komunis Uni Soviet yang meninggal pada 1924, Vladimir Lenin. ”Untuk menjadi negara yang besar dan disegani dunia, kita harus memiliki fasilitas olahraga yang diakui (kehebatannya) oleh dunia,” ujar Soekarno saat itu, seperti ditulis dalam buku Indonesia dan Diplomasi Olahraga yang diterbitkan Universitas Columbia, Amerika Serikat.
Pemerintah Uni Soviet saat itu ikut andil dalam mendesain cetak biru SUGBK dan kompleks olahraga pendukung lainnya, termasuk Istora Senayan. Dukungan negara komunis itu diwujudkan dengan mengirim tim arsitek dan perancang asal Moskwa, Technoexport, ke Jakarta. Uni Soviet juga menggelontorkan dana pinjaman lunak sebesar 12,5 juta dollar AS atau setara Rp 179 miliar untuk membangun kompleks olahraga Senayan saat itu.
Namun, sebagai mantan arsitek dan orang yang sangat idealis, Bung Karno tidak ingin sekadar meniru Luzhniki. Ia menginginkan stadion yang lebih megah dan menarik perhatian publik dunia. Untuk itu, ia menyisipkan gagasan orisinilnya dalam desain arsitektur SUGBK. Ia menginginkan SUGBK memiliki atap stadion yang saling menyambung atau disebut ”temu gelang” agar mampu melindungi ratusan ribu penonton dari guyuran hujan dan sengatan sinar matahari tropis.
”Saya telah berkeliling dunia. Saya telah melihat Stadion Rio de Janeiro (Brasil), Stadion Warsawa (Polandia), stadion (Olimpico) di Roma (Italia), juga Meksiko dan Amerika Serikat. Memang, stadion ini (SUGBK) bukan yang terbesar. Rio de Janeiro sedikit lebih besar. Namun, ini stadion terbaik di dunia. Tidak ada stadion lain di dunia yang memiliki atap bundar seperti ini,” ungkap Soekarno ketika itu.
Atap unik berbentuk bundar itulah yang tidak dimiliki Luzhniki maupun stadion-stadion di dunia lainnya saat itu. Namun, pada perkembangannya, entah karena balik terinspirasi SUGBK dan Soekarno, Pemerintah Rusia menambahkan atap temu gelang saat merenovasi Luzhniki pada tahun 1996.