Kroasia, Negeri Mungil yang Menantang Raksasa
Melbourne Park, siang hari, menjelang laga perempat final Grandslam Australia Open 1997 antara Goran Ivanisevic dan Thomas Muster. Saya duduk santai menikmati segelas bir dingin di areal taman di depan layar lebar bersama ratusan penonton lain.
Tiba-tiba kami dikejutkan oleh serombongan penonton ber-jersey kotak-kotak merah-putih. Mereka meneriakkan slogan-slogan khas penonton sepak bola. Tak lama kemudian mereka digiring polisi menjauh dari areal taman.
Di dalam lapangan, saat Ivanisevic bertanding, kelompok yang sama kembali membuat ulah. Mereka terus berteriak-teriak mendukung Goran, petenis Kroasia yang terkenal dengan servisnya yang sangat deras. Wasit harus berkali-kali meminta mereka tenang, terutama saat adu pukulan tengah berlansung.
Ivanisevic kemudian kalah, namun kelompok pendukung Kroasia yang jumlahnya sekitar 30 orang itu terus-terusan bernyanyi. Barangkali inilah momen, pertama kali dalam sejarah dunia tenis profesional, sekelompok penonton membuat "huru-hara" khas penonton sepak bola.
Dalam sejarahnya, tenis Grand Slam adalah arena yang sunyi. Tepuk tangan dan sorak sorai hanya terjadi pada momen-momen paling penting, angka terakhir laga final atau penyerahan piala. Itupun dengan format khas penonton tenis yang penuh sopan santun.
Master tenis Swiss, Roger Federer pernah menyebut Grand Slam Australia Terbuka sebagai "Happy Slam" untuk menggambarkan suasana nyaman dan relaks turnamen ini dengan atmosfer pesta barbeque di taman. Sejak 1997 itu, suasana Melbourne Park tak lagi terlalu nyaman akibat kehadiran fans Kroasia yang barangkali sedang dimabuk eforia sebagai negara merdeka.
Kroasia, negeri mungil di wilayah Balkan dengan pendukung kurang dari 5 juta jiwa, tidaklah "mungil" pretasinya di tengah persaingan elite olahraga dunia.
Setahun kemudian di Perancis dalam gelaran Piala Dunia 1998, saya kembali bertemu dengan rombongan pendukung Kroasia. Kali ini dalam jumlah ratusan kali lipat. Tampil untuk pertama kalinya di Piala Dunia, Kroasia mengguncang dunia dan masuk ke semifinal sebelum kalah melawan tuan rumah Perancis, yang kemudian menjadi juara dunia untuk pertama kalinya.
Tujuh tahun berselang sejak merebut kemerdekaan pasca pecahnya Yugoslavia, Kroasia langsung menyejajarkan diri dengan para raksasa sepak bola dunia seperti Brasil, Belanda, dan Perancis. Davor Suker dan kawan-kawan kemudian menutup turnamen dengan medali perunggu setelah mengalahkan Belanda di perebutan posisi tiga. Prestasi Suker dan kawan-kawan ini bahkan menyamai rekor Portugal sebagai negara debutan Piala Dunia yang melaju sampai empat besar pada 1966.
Kroasia, negeri mungil di wilayah Balkan dengan pendukung kurang dari 5 juta jiwa, tidaklah "mungil" pretasinya di tengah persaingan elite olahraga dunia. Masyarakatnya yang gemar berolahraga dengan belasan ribu klub sport--kebanyakan klub sepak bola-- membuat negara ini punya banyak prestasi fenomenal dalam level global.
Tim bola tangan (handball) Kroasia memenangi medali emas pada Olimpiade Atlanta 1996. Sebelumnya dengan motor dua pemain NBA, Toni Kukoc dan Dino Radja, Kroasia merebut medali perak cabang bola basket di Olimpiade Barcelona 1992. Di dunia tenis, Iva Majoli meraih gelar Grand Slam Perancis Terbuka 1997, sementara Goran Ivanisevic merebut gelar Wimbledon pada 2001.
Di Perancis 1998, Kroasia melangkah ke semifinal setelah mengalahkan favorit Jerman dengan skor telak 3-0. "Empat juta penduduk sama dengan penduduk satu kota di Amerika," ujar gelandang Aljosa Asanovic sembari tertawa. "Tapi negeri kami mendapatkan hasil yang hebat. Negara kecil dengan pemain-pemain besar," papar Asanovic kala itu.
Pemain bertahan Slaven Bilic menambahkan, Presiden Franjo Tudjman yang selalu hadir dalam setiap laga mereka, memberikan sokongan yang luar biasa. "Dia membuat kami bisa lebih santai menghadapi setiap laga. Presiden mengatakan kami telah menjadi pahlawan pejuang bagi Kroasia," ujar Bilic yang musim lalu menangani West Ham United.
Setelah laga melawan Jerman yang memastikan Kroasia ke semifinal, Presiden Tudjman masuk ke ruang ganti pemain dan menyalami mereka satu per satu. "Dia layaknya anak kecil yang sedang bergembira," papar Bilic mengenang momen itu.
Presiden Kolinda
Dua puluh tahun kemudian, bukan Tudjman yang masuk ruang ganti pemain, melainkan penerusnya Presiden Kolinda Grabar-Kitarovic yang memeluk satu per satu tim asuhan Zlatko Dalic selepas laga semifinal yang fenomenal melawan Inggris. Melangkah lebih jauh dari para pahlawan pendahulunya, Luka Modric dkk menorehkan sejarah untuk pertama kalinya membawa Kroasia ke partai puncak Piala Dunia.
Apapun hasil di final hari Minggu mendatang di Stadion Luzhniki, pencapaian Modric dkk telah membawa Kroasia ke tingkat elite dunia melampaui pencapaian Suker dkk tahun 1998. Kala itu, Kroasia yang menjejak Perancis sebagai negara dengan peringkat FIFA 125, naik ke posisi 3 setelah merebut perunggu mengalahkan Belanda.
Melawan Perancis yang sejak awal favorit kuat di Rusia 2018, Kroasia memang tidak diunggulkan. Meski terus memenangi laga sejak babak grup, termasuk kemenangan fenomenal 3-0 atas Argentina, pasukan Dalic harus melewati tiga babak gugur dengan perpanjangan waktu. Dibandingkan dengan Perancis, pasukan Kroasia memainkan 90 menit laga lebih panjang dibandingkan Les Blues sehingga faktor kelelahan fisik menjadi isu utama.
Meski demikian, menilik penampilan melawan Inggris, Modric dkk sungguh tak dapat diremehkan bahkan oleh Perancis sekalipun. Meski disebut tidak secemerlang Generasi Emas 1998, namun semangat juang pasukan Dalic layak membuat gentar siapa pun.
Jika pada 1998 Kroasia memiliki sejumlah bakat hebat pada diri Suker, Bilic, Robert Jarni, Zvonimir Boban, Robert Prosinecki atau Igor Stimac, generasi penerus 2018 juga punya talenta besar pada sosok Modric, Ivan Rakitic dan Ivan Perisic atau Mario Mandzukic.
Melaju ke Rusia tanpa menyita banyak perhatian melalui babak play-off melawan Yunani, tim Kroasia 2018 berbekal tekad mencetak sejarah baru melebihi para pendahulunya. Tiga penampilan mengecewakan di ajang Piala Dunia selepas 1998, menjadi salah satu faktor pendorong kebangkitan Modric dkk.
Dengan pelatih yang relatif tidak dikenal, Zlatko Dalic, tim ini berisikan sejumlah pemain yang haus gelar internasional bersama negaranya. Pemain seperti Modric yang mendapat empat gelar Liga Champions bersama Real Madrid, atau Rakitic bersama Barcelona atau Mandzukic bersama Bayern Meunchen, tim asuhan Dalic benar-benar haus gelar bagi negaranya.
Dalic juga hanya membawa pemain yang benar-benar siap bertarung habis-habisan demi ambisi itu. Saat menghadapi Inggris, apa yang diinginkan Dalic semuanya terwujud di lapangan.
Sejarah gemilang
Jika kembali menengok sejarah, Kroasia bukanlah "anak bawang" di dunia sepak bola. Pemain Kroasia menjadi pilar kesebelasan Yugoslavia di Olimpiade 1948 dan 1956 yang merebut medali perak. Pada 1960, pasukan Yugoslavia bahkan merebut emas Olimpiade dengan pilar-pilar Kroasia-nya.
Setelah Perancis 1998, pemain-pemain Kroasia tampil untuk tim-tim terbaik di Eropa. Mereka ibarat menaklukkan Spanyol, Jerman, Italia, dan Inggris. Suker main untuk Real Madrid, sementara Alen Boksic yang tidak tampil di Perancis 1998, memenangkan gelar Serie A bersama Juventus pada 1997. Sedangkan Boban malang melintang bersama AC Milan.
Kroasia merdeka pada 1991 dan gagal ikut Piala Dunia 1994 karena terlambat dalam kualifikasi. Sementara itu Yugoslavia terkena sanksi internasional terkait konflik Bosnia sehingga juga tak bisa ikut Piala Dunia 1994. Dua tahun sebelumnya, federasi negara-negara Balkan ini juga terkena sanksi sehingga batal ikut Piala Eropa 1992.
Sebagai negara merdeka, Kroasia memasuki persaingan sepak bola internasional pada 1996 dalam ajang Piala Eropa di Inggris. Mereka tampil brilian sebelum kehilangan kesempatan menang atas Jerman di babak perempat final.
Kini Modric dkk tengah menapaki sejarah dengan melaju ke final Piala Dunia menghadapi Perancis. Dua puluh tahun lalu, nasib lebih berpihak kepada Perancis. Zinedine Zidane dkk akhirnya menjadi juara dengan mengalahkan Suker dkk di semifinal dan berlanjut dengan kemenangan dramatis atas Brasil di final.
Saat ini situasinya berbeda. Kroasia masih tetap negeri mungil namun dengan nyali besar untuk menumbangkan para raksasa, termasuk Perancis yang lebih difavoritkan publik dunia.