MOSKWA, KOMPAS Tiada pemain yang lebih besar dari sebuah tim, apalagi negara. Hal itu menancap di pikiran para pemain tim nasional Perancis menjelang duel kontra Kroasia pada final Piala Dunia Rusia 2018. ”Les Bleus”, tim termahal sejagat saat ini, dari nilai transfer pemain-pemainnya, enggan mengulang kesalahan masa lalu, dengan menghilangkan ego individual dan rasa besar kepala.
Pada jumpa pers di markas latihan tim Perancis di Istra, kawasan di pinggiran Moskwa, Jumat (13/7/2018), striker Perancis, Antoine Griezmann, ditanya wartawan soal peluangnya menjadi pencetak gol terbanyak Piala Dunia 2018. Striker yang telah mengemas tiga gol di Rusia itu berpeluang memuncaki daftar pemain terproduktif jika mencetak setidaknya tiga gol pada final, Minggu (15/7), pukul 22.00 WIB.
Jika prestasi itu terukir, secara paralel, Griezmann juga punya kans besar menyabet gelar pemain terbaik dunia, yang satu dekade terakhir didominasi Cristiano Ronaldo dan Lionel Messi. Namun, ia lebih memilih mengangkat trofi Piala Dunia ketimbang penghargaan individual, Ballon d’Or.
”Ini kesempatan menjadi juara dunia, bukan meraih Ballon d’Or. Jujur saja, saya tidak peduli meraih Ballon d’Or atau tidak. Saya akan memberikan segalanya untuk menjadi juara dunia bersama tim,” ujar Griezmann.
Ia lantas menekankan pentingnya kolektivitas ketimbang aspek kekuatan individual dalam perjalanan timnya menuju final. ”Kami lebih baik jika bermain kolektif dan saling membantu sebagai anggota tim. Justru, jika saya menjadi pencetak gol terbanyak, tim kami agaknya bakal kalah,” ujar Griezmann.
Pernyataan Griezmann itu terdengar menyejukkan bagi fans Perancis, yang telah dua dekade menanti kembalinya trofi Piala Dunia. Sebelumnya, Les Bleus dikritik keras media-media Perancis karena dinilai belum cukup kohesif dan tampil meyakinkan, baik pada kualifikasi maupun penyisihan grup.
Keraguan
Tak sedikit yang ragu, tim ”mahal” dan kaya talenta itu bisa mengikuti jejak pendahulunya, Zinedine Zidane dan kawan-kawan. Generasi Zidane sukses pada Piala Dunia 1998 berkat semboyan black, blanc, beur alias harmoni tim dari beragam latar belakang atau asal pemain.
Perlahan tetapi pasti, Les Bleus mengikis kekhawatiran itu. Mereka bermain lebih kompak dan rela berkorban. Perubahan itu terutama terlihat pada diri gelandang Paul Pogba. Gelandang Manchester United itu disorot tajam akibat egoisme dan penampilan buruknya di klubnya, musim lalu. Ia pernah dikritik Manajer MU Jose Mourinho karena tidak suka diperintah untuk bermain lebih defensif.
Namun, di Rusia, Pogba menunjukkan hal sebaliknya. Ia kini jadi salah satu pemain kunci dari solid dan kuatnya pertahanan Les Bleus. Pada semifinal kontra Belgia, misalnya, kontribusi defensif Pogba hanya kalah dari Blaise Matuidi, gelandang Les Bleus lain. Pogba membukukan tiga tekel dan dua sapuan akurat. Belgia pun frustrasi menembus pertahanan berlapis Perancis.
”Bertahan bukanlah kekuatan saya. Namun, saya rela berkorban dan melakukannya dengan senang hati demi seragam ini. Rekan-rekan, seperti Antoine (Griezmann), membantu saya.
Ia sering mengingatkan saya untuk mundur ke belakang. Saya terus bertumbuh dan kian dewasa. Ini semua demi memenangi Piala Dunia,” ujar Pogba.
Dengan rendah hati, Pogba juga menolak label favorit yang disematkan kepada timnya di final. ”Saya tidak pernah lupa akan kritik kepada kami sebelum turnamen ini digelar. Orang-orang banyak yang ragu dan berkata, kami tidak bermain kompak. Itu akan menjadi dorongan kami pada laga final nanti,” ujarnya.
Matuidi menambahkan, timnya tidak akan mengulangi kesalahan di final Piala Eropa 2016. Ketika itu, timnya menghadapi Portugal di final dengan rasa percaya diri yang berlebihan.