Peristiwa bahagia memang tak mungkin dilupakan. Namun, peristiwa itu hanya tenggelam dalam ingatan apabila tiada kejadian yang mampu membangunkannya pada zaman sekarang. Maka, buat Perancis, karena berhasil masuk ke final Piala Dunia 2018, kemenangan 20 tahun lalu itu pun kembali terbangun menjadi kebahagiaan pada zaman sekarang.
Pada final Piala Dunia, 12 Juli 1998, Fabien Barthez, Zinedine Zidane, Bixente Lizarazu, Youri Djorkaeff, dan kapten Didier Deschamps merobohkan Brasil, 3-0. Rakyat Perancis pecah dalam sorak kegembiraan dan berduyun-duyun turun ke jalan merayakan kemenangan. Peristiwa 20 tahun lalu tersebut tiba-tiba menjadi kenyataan yang begitu dekat lagi di depan mata mereka ketika Kylian Mbappe dan kawan-kawan akan terjun ke laga final di Stadion Luzhniki malam ini.
”Saya belum lahir waktu itu. Saya tak mengalami kemenangan itu, tetapi saya sangat bangga akannya,” kata Mbappe. Mbappe pun yakin, kebanggaan itu akan dialaminya sendiri secara nyata ketika ia dan kawan-kawannya bisa menekuk Kroasia pada laga final nanti.
”Saya akan memberikan semuanya untuk final ini. Kami
siap mati di lapangan,” kata Mbappe. Mbappe adalah ”elemen anarkistis” dalam skuad Perancis. Maklum, usianya baru lepas remaja. Ia bermain tanpa dibebani rasa salah. Larinya kencang dan sewaktu-waktu bisa membuat manuver anarkistis yang membuyarkan konsentrasi lawan.
Perancis memang sedang sangat optimistis. Bintang terang seakan sedang menaungi mereka. ”Pelatih kami sendiri sudah sebuah bintang,” kata Paul Pogba. Memang, 20 tahun lalu, sebagai kapten, Deschamps adalah pemain Perancis pertama yang mengangkat piala juara di Stade de France. Dua tahun setelah itu, pada tahun 2000, Deschamps dan kawan-kawan meraih Piala Eropa.
Lalu, dua kali berturut-turut, dalam Piala Eropa 2016 dan Piala Dunia 2018 ini, Deschamps membawa anak-anaknya meraih final. Tidak ada pelatih Perancis meraih prestasi seperti dia. Dan, kalau kali ini ia bisa membawa équipe tricolore menggulung Kroasia, Monsieur Deschamps akan menyamai rekor Franz Beckenbauer dan Mario Zagallo, dua insan bola yang meraih juara dunia, baik sebagai pemain maupun pelatih.
Sejumlah pengamat menilai Deschamps sebagai anti-football karena permainan defensif Perancis ketika melawan Belgia. Namun, sejumlah pengamat lain berpendapat, anti-football itu justru adalah sebuah football-tactic. ”Jika dengan permainan kami yang demikian ofensif kami tidak berhasil mencetak gol, kami harus mengandalkan pertahanan kami dengan solid,” kata kapten Hugo Lloris membela taktiknya.
Deschamps memang seorang pragmatis. Ia tidak ingin mempersulit pemain dengan pernik sistem yang rumit. Kesebelasan harus berada di atas individu. Maka, jangan sampai ada individu yang mempersulit kesebelasan. Bermain indah bukanlah perintahnya yang utama.
”Saya tak pernah memainkan bola demi permainannya sendiri. Hanya kemenangan yang saya perhitungkan,” demikian Deschamps merumuskan kredonya.
Anak-anak Deschamps dijuluki Deschampions. Namun, Deschamps mengatakan, dirinya tidak pernah membanggakan ke- champion-annya kepada pemain Perancis. ”Beberapa pemain kami, toh, belum lahir saat itu. Saya tidak bisa bercerita tentang peristiwa 20 tahun yang lalu. Tekad kami hanyalah mau menulis sejarah baru,” kata Deschamps.
Seperti Deschampions, pemain-pemain Kroasia juga ingin menuliskan sejarah baru. Sejarah mereka kiranya akan lebih dramatis. Maklum, riwayat sepak bola Kroasia nyaris sama dengan riwayat pemain-pemainnya. Luka Modric dan kawan-kawannya adalah anak-anak perang Balkan. Mereka mengalami kehilangan, perpisahan, dan ketakutan. Dari penderitaan itu, mereka bangkit perlahan-lahan.
Modric mengalami betapa perihnya perang Balkan. Kakeknya dibunuh partisan Serbia. Keluarganya mesti mengungsi ke desa Zadar. Modric kecil melewatkan hari-harinya yang pedih dengan bermain bola. Sekarang, Modric menjadi pemain besar. Karena gerak, gaya rambut, dan kecerdikannya, orang nyaris menyamakan dia dengan legenda Belanda, Johan Cruyff. Di tengah kehebatannya itu, Modric tepat menyimpan trauma masa kecilnya. Namun, seperti pada pemain Kroasia lainnya, kepedihan itu justru terus memacunya.
”Seakan-akan perang itu baru kemarin, bagi saya, bagi ibu saya, bagi orang-orang di negeri saya, semuanya itu masih demikian segar,” kata Dejan Lovren menjelang final melawan Perancis ini. Lovren juga pernah mengungsi ke Jerman, tinggal di Muenchen, sampai izin tinggalnya habis.
Sebagai kenangan akan masa kecil yang traumatis itu, Mario Mandzukic juga pernah menandai punggungnya dengan kata-kata filsuf Friedrich Nietzsche: ”Apa yang tidak membunuh aku, itu akan memperkuat aku”. Kata-kata filosofis ini mengandung maksud: segala kesulitan, penderitaan dan kepedihan yang pernah dialami, itu akan membuat orang makin kuat menghadapi hidup ini.
Semangat macam itulah yang ada di balik kesuksesan Kroasia, negara kecil berpenduduk 4,1 juta jiwa, sampai mereka bisa menembus final. Semangat ini tentu merupakan nilai plus, di samping pengalaman dan kematangan pemain mereka yang berusia rata-rata 30 tahun. Dengan semangat dan kematangan itu, mereka telah menumbangkan gairah dan kecepatan para pemain muda Inggris. Jika nanti Perancis tumbang pula di kaki mereka, itulah drama paling sensasional pada Piala Dunia 2018 ini.