Ilusi Generasi Masa Depan
Pesta telah usai. Tawa dan air mata menjadi penanda. Ribuan suporter meninggalkan Rusia seiring kepulangan tim kesayangan. Kalah atau menang tinggal kenangan hingga tiba undangan untuk kembali merayakan olahraga terindah ini, empat tahun lagi.
Kylian Mbappe akan berusia 23 tahun saat Piala Dunia 2022 bergulir di Qatar. Penyerang ”Les Bleus” itu diharapkan menjadi bintang yang jauh lebih matang bersama Ousmane Dembele yang kelak berusia 25 tahun. Perancis akan dipenuhi pemain-pemain matang, termasuk bek Raphael Varane dan Paul Pogba yang saat itu di usia 29 tahun.
Tim-tim lain, seperti Inggris, Belgia, Italia, dan Belanda, juga akan memiliki pemain yang lebih matang jika mereka lolos ke putaran final Qatar 2022. Kroasia, finalis Piala Dunia 2018, kemungkinan akan kesulitan menemukan pengganti Luka Modric yang akan berusia 36 tahun, Ivan Rakitic kelak 34 tahun, dan Ivan Perisik yang setahun di bawah Rakitic.
Banyak yang bisa berubah dalam empat tahun berselang sejak laga final Piala Dunia Rusia 2018 selesai dini hari tadi. Peta kekuatan tim-tim masih bisa berubah, bahkan Perancis pun bisa berbelok ke arah lain. Bagi tim-tim Eropa, indikatornya adalah Piala Eropa 2020 dan skuad Amerika Selatan akan dijuji pada Copa America 2019.
”Kami memiliki mimpi baru di mana kami akan berusaha mewujudkannya,” ujar Pelatih Uruguay Oscar Tabarez setelah disingkirkan Perancis pada perempat final Piala Dunia Rusia 2018, dikutip ESPN.
Tim-tim tersebut akan kembali memburu gelar juara dunia. Sebagian akan berstatus favorit dan ”kuda hitam”. Tim-tim nonunggulan, seperti Kroasia, menghadirkan drama dan kejutan.
Di Rusia, Drama terus terjadi sejak laga pertama antara tuan rumah dan Arab Saudi. Kemenangan 5-0 mengawali perjalanan ”Sbornaya” melangkah hingga perempat final. Mereka menjalankan pesan Presiden Vladimir Putin, ”bermain dengan kemauan kuat dan tanpa kompromi”. Rusia menjadi ”kuda hitam” dengan menyingkirkan Spanyol pada babak 16 besar sebelum disingkirkan Kroasia pada perempat final.
Ini pencapaian bersejarah karena mereka tak pernah melangkah sejauh itu di Piala Dunia sejak Uni Soviet bubar pada 1991. Ini menjadi inspirasi bagi sepak bola Rusia untuk terus memburu mimpi. Rusia yang diragukan bisa lolos grup ternyata bisa meruntuhkan keraguan dengan motivasi tinggi, keberanian, kerja sama tim, dan penerapan taktik yang tepat pada setiap laga.
Bahkan, pada laga kontra Kroasia, Aleksandr Golovin dan kawan-kawan menunjukkan mental petarung yang pantang menyerah. Karakter itulah yang merebut hati rakyat Rusia. ”Tim kami menyatukan rakyat Rusia,” ujar Pelatih Rusia Stanislav Cherchesov kepada TASS.
Cherchesov kini mengincar pencapaian pada Piala Eropa 2020 yang akan digelar di 12 kota, termasuk Saint Petersburg. ”Piala Dunia di Qatar masih empat tahun lagi. Akan ada Liga Bangsa-Bangsa UEFA dan Piala Eropa 2020 sebelum turnamen di Qatar. Saya sangat berharap era baru mulai bergulir di Rusia, dengan semua orang ingin bermain sepak bola,” ujarnya.
Era baru juga menjadi harapan suporter Inggris. Skuad muda ”Tiga Siga” juga membuat kejutan di Rusia dengan finis di posisi keempat. Tim asuhan Gareth Southgate ini masih sangat muda dan minim pengalaman. Mereka bisa berkembang menjadi tim yang lebih kuat saat Piala Eropa 2020 atau Piala Dunia 2022. Target terdekat mereka adalah mewujudkan mimpi juara Eropa. Ini skenario impian karena London akan menjadi penyelenggara tujuh laga Piala Eropa 2020, termasuk dua semifinal dan final.
Dengan para pemain muda bersinar, seperti kiper Jordan Pickford, gelandang Delle Ali, striker Harry Kane, serta duet bek tengah John Stones dan Harry Maguire, skuad Tiga Singa layak menjadi favorit. Di Rusia, mereka finis keempat setelah kalah 0-2 dari ”Generasi Emas” Belgia yang lebih berpengalaman.
Southgate menegaskan, para pemain muda Inggris mendapat pelajaran dan pengalaman berharga di Rusia. Ini merupakan modal bagi setiap pemain untuk mengembangkan diri. ”Kami tidak berilusi tentang di mana kami berada sebagai tim. Kami finis keempat, tetapi kami belum menjadi tim empat besar, kami tahu itu dan kami tidak pernah bersembunyi di belakangnya,” katanya.
Pelatih Belgia Roberto Martinez pun enggan berpuas diri dengan hasil bersejarah pada Piala Dunia 2018 ini. Dia yang kontraknya masih sampai 2020 mengincar gelar juara Eropa. ”Sepak bola yang kami mainkan adalah sepak bola Belgia. Kebersamaan dan kelenturan pada taktik menunjukkan keinginan kami akan menjadi apa sebagai bangsa sepak bola,” ujar pelatih asal Spanyol itu.
”Ini perjalanan yang sangat menyenangkan, perjalanan yang sangat sukses. Namun, di sepak bola Anda perlu melihat ke depan dan berusaha menjadi lebih baik di kesempatan berikutnya,” ucap Martinez.
Peta kekuatan tim akan terus berubah. Status unggulan pun dinamis. Namun, ada beberapa tim yang selalu menjadi ”kuda hitam”, seperti Uruguay, yang oleh Tabarez digambarkan dengan lirik lagu ”Descolgando el Cielo”, ”Tak pernah menjadi favorit, selalu underdogs.” Uruguay menyadari siapa mereka dan tak pernah hidup dalam ilusi. (ANG)