Tangis para pemain tim LKG-SKF Indonesia meledak sesaat setelah wasit meniup peluit akhir pada laga semifinal melawan Stjarnan. Tim LKG-SKF gagal melaju ke final setelah kalah 2-3 dari Stjarnan 1, Sabtu (21/7/2018) dini hari WIB.
Para remaja berusia 15 tahun itu berjalan keluar lapangan dengan berurai air mata kesedihan. Kata-kata hiburan dari pelatih dan manajer tim tidak dapat meredam tangis mereka.
Namun, saat tiba di tempat berkumpul di luar Lapangan Heden, Gothenburg, Swedia, puluhan warga Indonesia
datang menyambut mereka. Semuanya memberikan pelukan bagi pemain, satu demi satu.
Siti Alwania atau Ibu Wawa memeluk Mohamad Afif Fathoni yang sangat terpukul dengan kekalahan itu. Ibu Wawa memeluk dan mengusap punggung Afif, layaknya anaknya sendiri, untuk meredakan tangis remaja itu.
”Kamu sudah bermain bagus. Tidak usah menangis lagi. Ayo bangkit,” kata Ibu Wawa.
Ikatan batin antara para pemain dan warga Indonesia di Gothenburg terjalin sejak pertama kali para pemain itu datang. Warga selalu menemani para pemain jika mereka bertanding di lapangan dan bahkan saat berada di asrama.
Viznami Surensa adalah warga Indonesia yang paling sering membantu tim LKG-SKF sejak awal kedatangan tim. Reza, nama panggilannya, bersama keluarganya menyediakan makanan tambahan bagi para pemain yang sesuai dengan lidah Indonesia.
Reza juga sering memandu tim LKG-SKF menaiki bus atau trem untuk menuju ke lapangan-lapangan yang berada jauh dari pusat Kota Gothenburg. Dia juga membantu menyediakan peralatan yang diperlukan oleh tim, seperti kerucut atau cone warna-warni untuk latihan para pemain.
”Kami selalu senang membantu tim dari Indonesia. Perkumpulan warga Indonesia di Gothenburg sangat kompak dan selalu antusias untuk membantu tim dari Indonesia,” kata Reza.
Bantuan lain juga datang dari Nyoman Neka. Warga Bali yang sudah menjadi warga negara Swedia. Nyoman sering ikut memandu tim LKG ke lapangan yang jauh, jika Reza berhalangan. Selain itu, Nyoman sangat berjasa untuk membantu mencuci baju seragam pertandingan milik para pemain. Dengan mesin cuci di apartemennya, Nyoman mencuci baju pemain LKG-SKF sampai tengah malam.
”Saya mau membantu para pemain karena rasa cinta saya terhadap Indonesia. Kebetulan saya juga suka bermain dan menonton sepak bola,” kata Nyoman.
Bantuan dari warga Indonesia lainnya juga sangat memudahkan perjuangan tim LKG-SKF. Pada Kamis (19/7), tim asal Indonesia itu harus menjalani dua laga di tempat yang berjauhan dari Kviberg ke Slattadamn. Jika ditempuh dengan bus, waktu perjalanan dapat mencapai 30 menit sampai 45 menit.
Oleh karena itu, perkumpulan warga Indonesia berinisiatif menyediakan sembilan mobil untuk mengangkut tim LKG-SKF ke Slattadamn. Bahkan, sebagian ibu bersedia merelakan tempat duduk mereka di mobil pribadi untuk para pemain. Sementara para ibu itu pergi ke Slattadamn dengan bus atau trem.
”Tidak usah khawatir. Jika tim memerlukan bantuan apa pun, kami siap membantu,” kata Rosalina Sarahutu.
Para warga tersebut juga membawakan aneka buah dan makanan ringan bagi para pemain untuk menyegarkan tubuh seusai laga. Makanan dan buah itu langsung diserbu para pemain begitu mereka memenangi pertandingan.
”Saya senang selalu mendapat dukungan penuh dari para warga Indonesia. Kami menjadi lebih bersemangat bermain jika mendengar dukungan dari warga Indonesia. Mereka juga banyak membantu dari makanan, transportasi, sampai mencuci baju. Kami bangga pada mereka,” kata Muhamad Uchida Sudirman, kapten tim LKG, yang selalu menyalami dan mohon doa restu dari warga Indonesia sebelum bertanding.