Atletik Tatap Masa Depan
Persaingan di cabang atletik Asian Games sangat berat bagi Indonesia. Tetapi, ini peluang mematangkan atlet-atlet muda.
Salah satu prestasi Pengurus Besar Persatuan Atletik Seluruh Indonesia yang mendapat apresiasi dari berbagai kalangan, bahkan mampu mengingatkan dan menyadarkan pentingnya harga diri bangsa, adalah ketika Lalu Muhammad Zohri menjadi juara dunia 100 meter U-20 di Tampere, Finlandia, dua pekan lalu. Zohri menancapkan tonggak sejarah baru karena belum ada putra-putri Indonesia yang menjadi kampiun di kejuaraan dunia yang digelar Asosiasi Federasi Atletik Internasional (IAAF).
IAAF yang berdiri sejak 1912 menggelar kejuaraan dunia atletik mulai dari tingkat remaja atau kategori di bawah umur 18 tahun (U-18), terus ke tingkat yunior (U-20), hingga tingkat senior. Kejuaraan dunia yang menjadi panggung tertinggi jadi impian semua atlet atletik. Mereka meniti anak tangga dari bawah, termasuk melalui ajang multicabang Asian Games.
Di Asian Games Jakarta-Palembang 2018, pesertanya banyak atlet senior. Sebagian besar juga merupakan atlet atletik elite yang pernah ataupun pemegang rekor Asia maupun Asian Games. Jika Zohri diturunkan di Asian Games 2018, ia akan menghadapi lawan-lawan yang jauh lebih kuat daripada Kejuaraan Dunia U-20.
Hal itu bisa terlihat dari catatan waktu Zohri di Kejuaraan Dunia U-20, yaitu 10,18 detik, yang juga rekor nasional U-20 di nomor 100 meter. Catatan itu masih tertinggal 0,01 detik dari rekor nasional 100 meter senior atas nama Suryo Agung Wibowo.
Jika catatan waktu Zohri dibandingkan dengan rekor di level Asia, kontras selisihnya. Sebagai pembanding, catatan waktu peraih emas 100 meter di Asian Games Incheon 2014 ialah 9,93 detik. Catatan waktu atas nama sprinter Qatar, Femi Seun Ogunode, itu sekaligus jadi rekor Asia dan Asian Games. Rekor milik sprinter 27 tahun kelahiran Nigeria itu unggul 0,25 detik atas rekor Zohri.
Perbedaan level inilah yang perlu dipahami. Bahwa Zohri sebaiknya jangan dibebani target terlalu muluk di Asian Games. Biarkan sprinter 18 tahun asal Sumbawa itu berkembang sesuai dengan cetak biru PB PASI untuk menjadikan dia andalan Indonesia di Olimpiade Tokyo 2020.
Zohri sendiri menyadari, dirinya masih butuh waktu untuk meningkatkan kecepatan. Dalam kesempatan wawancara dengan Kompas, Zohri sendiri mengakui baru satu atau dua tahun ke depan dirinya bisa berlari di bawah 10,00 detik.
Realitas itulah yang membuat Ketua Umum PB PASI Bob Hasan tidak larut dalam euforia gelar juara dunia yang diraih Zohri. ”Saya tidak membebankan atlet saya dengan target. Karena memang lawan yang akan dihadapi bukan hanya dari Asia, melainkan juga sebagian merupakan naturalisasi dari Afrika,” ujarnya.
Perebutan medali
Di Asian Games 2018, atletik akan memperebutkan 48 medali emas. Namun, dana pelatnas atletik dari pemerintah melalui Kementerian Pemuda dan Olahraga hanya untuk 16 atlet. Itu artinya Indonesia sebagai tuan rumah hanya akan ikut pada 12 nomor.
Namun, dengan pertimbangan pembinaan berkelanjutan hingga Olimpiade 2020, PB PASI telah mendaftarkan 58 atlet untuk mengikuti 42 nomor di Asian Games 2018. Dana pelatnas untuk 42 atlet tambahan yang berusia muda ditanggung PB PASI.
”Jadi, hanya enam nomor yang tak diikuti Indonesia karena memang kami tak memiliki atletnya, yakni tolak peluru putra, 10.000 m putra, lempar cakram putri, jalan cepat 20 kilometer putri, saptalomba, dan lontar martil putri,” ujar Tigor M Tanjung, Sekretaris Jenderal PB PASI.
”Kami berharap ke-42 atlet (tambahan) yang mengikuti pelatnas Asian Games PB PASI memiliki hak yang sama dengan ke-16 atlet utama ketika menempati perkampungan atlet nantinya,” ujar Tigor.
Dengan menurunkan atlet-atlet usia muda, usia rata-rata kontingen atletik Indonesia 22 tahun. Kalaupun ada senior, paling beberapa atlet saja. Seperti pelari jarak jauh Agus Prayogo, yang 23 Agustus nanti berusia 33 tahun; M Fadlin Ahmad (29), salah satu atlet pemegang rekor nasional 4 x 100 meter; dan Hendro Yap (27), pemegang rekor nasional jalan cepat 20 kilometer.
Atlet senior lainnya adalah Maria Natalia Londa (27), peraih medali emas lompat jauh di Incheon 2014, serta Eki Febri Ekawati (25), pemegang rekor nasional tolak peluru putri.
Atlet-atlet senior itulah tumpuan harapan PB PASI agar bisa menyumbangkan medali di Asian Games. ”Sekalipun mereka juga tidak kami bebani, selama ini tekniknya terus disempurnakan oleh Harry Marra, pelatih terbaik dunia IAAF 2016,” kata Tigor.
Nomor yang memberikan sedikit harapan meraih medali adalah estafet 4 x 100 meter putra serta lompat jauh putra. Namun, itu perlu kerja keras karena persaingan medali sebenarnya di atas level atlet-atlet nasional.
Nomor estafet 4 x 100 meter putra diperkuat Fadlin, Yaspi Bobby, Eko Rimbawan, dan Iswandi Abdul Hamid Abdullah. Dengan rekor nasional 39,13 detik, perlu perjuangan ekstra. Catatan waktu mereka belum cukup untuk bersaing di Asian Games.
Sebagai pembanding, tim 4 x 100 meter putra China, saat meraih emas Incheon 2014, catatan waktunya 37,99 detik. Tim Jepang meraih perak dengan waktu 38,49 detik. Hong Kong meraih perunggu dengan 38,98 detik.
Begitu juga pada nomor lompat jauh putra. Di nomor ini ada Saffwan Sanapiah (24). Ia baru memecahkan rekor nasional di Korea Terbuka, Juni, dengan lompatan sejauh 7,98 meter.
Calon lawan Saffwan di Asian Games antara lain pelompat jauh China, Li Jinzhe (28) dan Gao Xinglong (24). Lompatan Li saat meraih emas Incheon 2014 ialah 8,01 meter. Bahkan, atlet yunior mereka, Sho Yuhao (19), mampu melompat sejauh 8,16 meter pada Kejuaraan Atletik Asian Indoor di Kazakhstan, Februari.
”Ya, paling tidak di Asian Games saya bisa mempertajam rekor nasional saya kalaupun memang tidak bisa meraih medali,” ucap Saffwan.