Kenangan Asian Games 1998 di Bangkok, Thailand, masih tersimpan rapi dalam memori Supriati Sutono (46). Datang sebagai atlet yang tak diunggulkan, pelari jarak jauh itu justru menyumbangkan sekeping medali emas untuk kontingen Indonesia di nomor 5.000 meter. Selain berlatih keras, modal utamanya adalah bermental baja.
Supriati nyaris tidak diberangkatkan dalam pesta olahraga terakbar di Asia itu. Sebab, peluangnya untuk meraih medali sangat kecil karena persaingannya sangat ketat.
"PB PASI (Pengurus Besar Persatuan Atletik Seluruh Indonesia) ngotot mengirim saya untuk menambah pengalaman dan memperbaiki catatan waktu. Jadi, dari awal memang tidak ditargetkan meraih medali," ujarnya saat ditemui di kediamannya di Kompleks Sekolah Calon Perwira Angkatan Darat, Kota Bandung, Jawa Barat, Kamis (19/7/2018).
Meskipun bermodal tiga medali emas (nomor 1.500 m, 5.000 m, dan 10.000 m) pada SEA Games 1997 di Jakarta, Supriati tidak jumawa menatap Asian Games 1998. Dia menyadari, catatan waktunya belum kompetitif dibandingkan pelari top Asia, seperti dari Tiongkok, Jepang, dan negara-negara pecahan Uni Soviet.
Di Asian Games, Supriati diproyeksikan turun di nomor 5.000 m dan 10.000. Catatan waktunya untuk kedua nomor itu pada SEA Games 1997 adalah 16 menit 11,6 detik dan 34 menit 02,26 detik.
Supriati berlatih keras untuk terus memperbaiki catatan waktunya. Selama setahun, dia berlatih dua sesi per hari pada pagi dan sore di Pangalengan, Kabupaten Bandung, Jabar. Dia bangun setiap pukul 05.00 untuk memulai latihan satu jam kemudian. Udara dingin pegunungan di kebuh teh Pangalengan menjadi saksi perjuangannya saat itu.
Atlet kelahiran Cilacap, Jawa Tengah, 24 Juni 1972, itu berlatih berlari sejauh 25 – 30 kilometer per hari. "Saya hanya fokus pada latihan. Sama sekali tidak terbebani untuk mengikuti ajang sebesar Asian Games," ujarnya. Walaupun tak diunggulkan, Supriati menatap pertandingan dengan semangat. Bukan medali yang dipikirkan, melainkan meraih catatan waktu lebih baik dari sebelumnya.
Hari pertandingan pun tiba. Lari nomor 10.000 meter digelar lebih dulu. Supriati gagal mendapatkan medali karena hanya berada di posisi kelima dengan catatan waktu 32 menit 52,45 detik. Dia memang gagal naik ke podium juara. Namun, catatan waktunya lebih baik dibandingkan pencapaiannya pada SEA Games 1997.
Empat hari berselang, pertandingan nomor 5.000 m digelar. Supriati menjaga mentalnya agar tidak jatuh karena gagal meraih medali di nomor 10.000 m. Sebelum pertandingan dimulai, Supriati sempat bertanya dalam diri apakah bisa bersaing dengan lawan-lawannya. Saat itu, pelari dari Tiongkok, Jepang, India, dan Uzbekistan lebih diunggulkan.
Supriati berusaha tetap tenang. Dia pun memulai lomba tidak dengan terburu-buru, melainkan mengikuti ritme pelari lainnya. Memacu kecepatan di awal pertandingan pada nomor lari jarak jauh memang bukan pilihan bijak. Sekitar 110 meter sebelum garis finis, anggota TNI yang kini berpangkat kapten tersebut masih menahan diri dengan hanya membuntuti pelari lainnya. Saat itu, empat pelari berada di barisan paling depan.
Supriati mulai memacu kecepatannya pada 80 meter menjelang finis. Satu per satu lawan dilewati. Di 20 meter terakhir, tinggal pelari India, Sunita Rani, di depannya. Sekitar 15 meter sebelum finis, Supriati melihat Sunita menoleh ke arahnya. Dia pun terus memacu langkahnya untuk mendekat. "Saya merasa masih ada tenaga yang bisa dikeluarkan. Tetapi enggak kepikiran akan menjadi juara satu," ujarnya.
Usai menyentuh garis finis, Supriati ambruk karena kelelahan. Dia harus diberi tabung oksigen untuk bernafas dan dibawa ke ruang medis. "Sempat tidak sadarkan diri selama satu jam. Saya baru tahu hasilnya dari tim pelatih saat mendampingi di ruang medis," ujarnya.
Supriati mengaku sempat tidak percaya mendengar hasil manis itu. Apalagi catatan waktunya 15 menit 54,45 detik. Hasil yang tidak pernah diraih sebelumnya. Pencapaian Supriati itu menjadi obat kekecewaan bagi kontingen Indonesia. Sebab, di saat bersamaan, dua petinju Indonesia – yang lebih diunggulkan meraih medali – gagal memenuhi target.
"Saat itu pun lebih banyak (pendukung Indonesia) datang ke arena tinju. Saya hanya melihat empat anggota kontingen Indonesia yang melihat saya bertanding," ujarnya.
Supriati tak berkecil hati meskipun bukan atlet unggulan pendulang medali. Kegagalan di nomor 10.000 meter juga tak meruntuhkan. Dia justru membayar lunas dengan sekeping emas di nomor 5.000 meter. Mental baja membuatnya menjadikan status nonunggulan dan kegagalan sebagai motivasi untuk melampaui batasan diri dan meraih juara.
Pensiun sebagai atlet bukan berarti Supriati meninggalkan dunia lari. Saat ini dia juga disibukkan dengan melatih sejumlah pelari dari TNI Angkatan Darat. Salah satunya Sersan Dua Endah Eka (21), pelari nomor 3.000 meter putri.
Sudah 1,5 tahun Endah dilatih Supriati. Menurut dia, pelatihnya tersebut selalu menanamkan kerja keras dan disiplin dalam berlatih.
"Beliau juga selalu memberikan motivasi untuk tidak cepat puas dan terus memompa semangat kami untuk memperbaiki catatan waktu," ujarnya. Endah mengaku bangga dilatih oleh peraih medali emas Asian Games 1998 tersebut. Dia pun menyimpan asa untuk menyamai prestasi pelatihnya itu.
"Akan tetapi, semuanya butuh proses. Pelatih (Supriati) selalu bilang semuanya bisa dicapai dengan kemauan kuat, kerja keras, dan disiplin," ujarnya.