Mesut Oezil akhirnya buka suara setelah menjadi bahan ejekan sebagian publik Jerman, menjelang hingga setelah Piala Dunia 2018. Melalui curhatannya yang lugas, pemain keturunan Turki itu membunyikan alarm tanda bahaya.
BERLIN, SENIN Keputusan gelandang serang Mesut Oezil mundur dari tim nasional Jerman, Senin (23/7/2018), menyiratkan tanda bahaya di tubuh tim yang dikenal kaya asal-usul pemainnya itu. Skuad ”Die Mannschaft” dikhawatirkan terjangkiti xenophobia dan menguatnya kembali paham fasisme seperti era Perang Dunia kedua.
Jagat sepak bola dunia dikejutkan dengan kabar mundurnya Oezil, salah satu bintang sekaligus pemilik nomor punggung 10 di timnas Jerman, kemarin. Dalam pernyataan panjang lebarnya sebanyak empat halaman di akun Twitter-nya, pemain berdarah Jerman-Turki itu merasa tidak lagi sanggup menjadi ”kambing hitam” kegagalan Jerman di Piala Dunia Rusia 2018.
”Di mata (Reinhard) Grindel (Presiden Federasi Sepak Bola Jerman) dan para pendukungnya, saya adalah warga Jerman ketika juara. Sebaliknya, saya hanyalah imigran ketika kalah. Dulu, saya sangat bangga dan antusias mengenakan kostum Jerman. Kini, itu tidak lagi,” ungkap Oezil dalam curhatannya itu.
Meskipun Piala Dunia Rusia telah berakhir, Oezil tetap disorot publik Jerman. Pemain yang berjasa mengantarkan Jerman memenangi Piala Dunia Brasil 2014 itu dianggap sebagai ”biang kerok” kegagalan Die Mannschaft di Rusia. Jerman tersingkir dini di penyisihan grup. Ini rekor terburuk pengoleksi empat gelar juara dunia itu sejak Piala Dunia Perancis 1938.
Sorotan tajam publik itu bermula dari beredarnya foto Oezil dan rekan setimnya, Ilkay Gundogan, bersama Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan, di London, Inggris, beberapa waktu lalu. Oezil dan Gundogan kebetulan berbagi kesamaan, yaitu warga Jerman keturunan Turki. Namun, pertemuan itu dikritik deras media dan publik Jerman. Keduanya dianggap tak menghargai negara tempat mereka dilahirkan, Jerman.
Kritik pedas pun muncul, terutama dari salah satu partai politik Jerman, Alternative for Germany (AfD). Parpol sayap kanan di Jerman yang terkenal dengan paham anti-imigran, fasisme, dan xenophobia itu menilai Oezil tidak pantas membela Die Mannschaft karena hanya memiliki ”setengah hati”.
”Tanpa Oezil, kita bisa saja menang!” ujar Jens Maier, tokoh penting AfD di Parlemen Jerman melalui Twitter-nya.
Dalam pembelaannya, Oezil justru berkata, dirinya punya dua hati, yaitu Jerman dan Turki. Hal ini sangat lumrah bagi para warga keturunan imigran di Jerman. Namun, ia berkata, tidak ada muatan politis di balik pertemuannya dengan Erdogan.
”Saya hanya ingin menghormati institusi tertinggi dari negara asal keluarga saya”, tulis pemain berusia 29 tahun itu.
Keputusan mundurnya Oezil mengundang simpati publik dunia, khususnya warga Turki. ”Saya mengucapkan selamat kepada Oezil yang telah membuat gol indah melawan virus-virus fasisme”, kicau Menteri Kehakiman Turki Abdulhamit Gul melalui Twitter-nya.
Masalah fasisme tidak hanya sekali ini menimpa skuad Die Mannschaft. Menjelang Piala Eropa 2016 di Perancis, bek Jerman, Jerome Boateng, juga sempat dilecehkan politisi AfD semata-mata karena asal-usul keluarganya yang bukan asli Jerman. Alexander Gauland, tokoh parpol itu, sempat berkata, orang-orang Jerman menyukai Boateng sebagai pemain Die Mannschaft. ”Namun, tidak akan ada yang mau bertetangga dengannya,” tukasnya.
Alarm peringatan
Menteri Kehakiman Jerman Katarina Barley menilai, keputusan mundurnya Oezil menjadi kemunduran sekaligus alarm peringatan bagi Jerman. Ia menilai akan sangat bahaya jika pesepak bola besar seperti Oezil merasa tidak lagi dihargai oleh negaranya.
”Para pemain muda keturunan Turki kini akan mendapatkan kesan bahwa mereka tidak lagi punya tempat di timnas,” ungkap Cem Ozdemir, politisi Jerman yang juga keturunan Turki.
Hal yang dialami Oezil itu berbanding terbalik dengan timnas Perancis. Keberhasilan ”Les Bleus” tidak terlepas dari jasa para pesepak bola keturunan imigran. Sebanyak 87 persen dari 23 pemainnya adalah keturunan imigran seperti Paul Pogba dan Kylian Mbappe-Lottin. Tak heran, koran Australia, The Herald Sun, menilai, gelar juara Perancis di Rusia sejatinya adalah kemenangan para imigran. (AFP/Reuters/JON)