Piala Gothia 2018 di Gothenburg, Swedia, 16-21 Juli, menjadi ajang pembuktian bagi tim LKG-SKF Indonesia untuk memamerkan hasil latihan selama satu tahun. Mereka berlatih dan bertanding pada Liga Kompas Gramedia Panasonic U-14 musim 2017-2018 selama sembilan bulan serta berlatih intensif sebagai tim terpilih selama tiga bulan.
Hasil kompetisi itu meningkatkan kualitas para pemain tim LKG-SKF sehingga mereka menjadi pemenang ketiga pada kategori Boys U-15 Piala Gothia. Tim LKG-SKF menang 18-0 atas Skalborg SK dari Denmark, unggul 2-0 atas Walddorfer SV (Jerman), dan unggul 6-0 atas Linkoping Kenty DF (Swedia).
Di fase gugur, tim LKG-SKF menang telak 6-0 atas Solvesborgs GIF (Swedia), melibas Interesporte/Boca dari Brasil dengan 2-0, melumat SC Weitmar 45 (Jerman) 4-0, lalu di perempat final memukul Kinna IF (Swedia), 2-1. Pada semifinal, langkah tim LKG-SKF terhenti setelah kalah 2-3 dari Stjarnan 1 (Eslandia).
Dengan hasil itu, tim asal Indonesia tersebut berarti lebih baik daripada 189 tim lain yang ikut bertarung pada kategori U-15. Tim-tim dari Eropa, Amerika, Asia, dan Afrika dilampaui oleh tim LKG-SKF pada Piala Dunia untuk remaja itu.
Hasil positif tersebut memperlihatkan, para pemain remaja Indonesia sebenarnya memiliki talenta yang sama atau lebih bagus daripada banyak pemain di Eropa dan Amerika Selatan. Dengan kompetisi reguler dan pelatihan yang intensif, para pemain remaja Indonesia dapat mengembangkan kemampuan teknik, strategi, mental, dan visi bermain yang bagus.
Dengan kompetisi reguler, para pemain yang tergabung dalam berbagai sekolah sepak bola (SSB) dapat menjalani lingkaran pembinaan, yaitu pelatihan, pertandingan, evaluasi, dan kembali ke tahap pelatihan, begitu seterusnya. Dengan lingkaran pembinaan itu, setiap pemain dapat berkembang semakin baik. Setiap kelemahan dapat diketahui dan diperbaiki. Kelebihan dapat dipertajam menjadi senjata yang mematikan.
Dengan lingkaran pembinaan itu, Liga Kompas Gramedia menghasilkan setidaknya 18 pemain remaja yang berkualitas prima dan bisa bersaing di tingkat dunia. Selain mereka, masih ada ratusan pemain potensial lain yang siap ditempa menjadi pemain nasional di masa depan.
Namun, semua talenta muda itu dapat terbuang sia-sia jika PSSI membiarkan tidak ada kompetisi reguler pada U-16 sampai U-19. Periode usia 16-19 tahun sangat krusial untuk menyiapkan pemain remaja menjadi pemain profesional. Tanpa kompetisi, pembinaan tidak akan optimal sehingga pemain profesional yang dihasilkan juga tidak berkemampuan optimal.
Di sisi lain, kompetisi sepak bola usia remaja seharusnya juga digelar di semua provinsi di wilayah Indonesia. Semua Asosiasi Provinsi PSSI harus aktif bergerak untuk membuat kompetisi usia remaja secara berjenjang. Hanya dengan cara itu PSSI dapat mengoptimalkan talenta seluruh pemain remaja di Indonesia dan memanen pemain berkualitas unggul untuk tim nasional.
Semua pemerintah provinsi juga perlu membangun lapangan sepak bola berkualitas baik yang didedikasikan untuk kompetisi usia remaja. Jika sewa lapangan digratiskan, kompetisi usia remaja dapat digelar dengan biaya murah dan dapat diselenggarakan di semua provinsi.
”Jika Liga Kompas Gramedia yang hanya diikuti SSB se-Jabodetabek dapat menghasilkan para pemain berkualitas bagus, kompetisi usia remaja di semua provinsi akan membuat timnas Indonesia di masa depan berlimpah pemain berkualitas prima. Tanpa kompetisi, Indonesia bakal sulit mendapatkan pemain yang bisa bersaing di tingkat dunia,” kata Iskandar, pelatih tim LKG-SKF Indonesia.