Atlet sepatu roda andalan Indonesia, Muhammad Oky Andrianto (25), masih merinding ketika membayangkan berdiri di podium tertinggi pada SEA Games 2011. Oky yang saat itu masih berusia 18 tahun tidak menyangka mampu memenangi medali emas di nomor 5 kilometer putra.
”SEA Games 2011 jadi kemenangan yang paling dikenang karena di kandang sendiri. Bangga banget bisa bawa bendera waktu menang. Terus lagu ”Indonesia Raya” dinyanyiin di depan atlet negara lain. Itu hal paling luar biasa,” ucap Oky seusai latihan, Selasa (17/7/2018), di Bekasi.
Oky tidak pernah menyangka bisa meraih emas di SEA Games. Bahkan, ia belum berani berpikir mewakili Indonesia. Kala itu, ia hanyalah atlet yunior. Dalam pelatnas, masih ada 11 atlet senior yang menunggu untuk ikut berlomba. Akan tetapi, pria kelahiran 1992 itu yang dipilih mewakili ”Merah Putih”.
SEA Games merupakan kompetisi internasional pertama untuk Oky. Raihan emas tujuh tahun silam itu memotivasi Oky untuk bisa memenangi gelar-gelar berikutnya. Setelah merajai Asia Tenggara, ia pun bertekad untuk merajai Asia.
Sayangnya, mimpi untuk merajai Asia belum terwujud. Dalam tiga perhelatan Kejuaraan Asia, Oky belum beruntung. Di Kejuaraan Asia Sepatu Roda 2012 dan 2014, Oky harus puas berada di peringkat keempat. Sementara itu, pada Kejuaraan Asia Sepatu Roda 2016, Oky berada di peringkat keenam.
Dalam tiga Kejuaraan Asia, Oky selalu tertinggal dari atlet Korea Selatan, Son Geun Seong, dan atlet Taiwan, Chen Yang Chen. ”Saya masih penasaran untuk menjadi juara di Asia. Kekalahan itu terus membayangi saya,” ucap pria asli Sidoarjo itu.
Oky meyakini, Asian Games 2018 akan menjadi momentum tepat untuk menebus rasa penasarannya. Apalagi rivalnya, Son dan Chen, akan turut berlomba pada Agustus nanti, di Jakabaring Sport City, Palembang.
Peraih emas Pekan Olahraga Nasional 2016 itu yakin momen tujuh tahun silam, saat sepatu roda Indonesia berjaya, bisa terulang. Faktor cuaca panas di Palembang dipercaya Oky membuat lawan-lawannya akan cepat kelelahan. ”Kami sudah biasa panas-panasan, sedangkan mereka belum biasa pasti. Kalau kita capek, pasti mereka lebih capek. Pokoknya pasti bisa kali ini. Ini tanah kita sendiri, rumah kita,” kata Oky dengan semangat.
Selain itu, persiapan Oky pun lebih banyak dibandingkan lawannya. Adapun biasanya, dalam Kejuaraan Asia sebelumnya, persiapan tim Korsel dan Taiwan lebih baik. Mereka sudah hadir ke lintasan lomba seminggu sebelum berlomba. Mereka mencoba beradaptasi dengan cuaca dan trek.
Sementara itu, Indonesia kerap hadir sehari sebelum lomba. Sering kali atlet Indonesia mencoba lintasan pada hari lomba. ”Perkiraan saya, hal itu menjadi faktor kita sulit menang kalau tanding di luar negeri. Persiapannya kurang,” ujarnya.
Motivasi diri
Untuk merajai Asia, Oky sangat serius berlatih. Peningkatannya sangat pesat dari pelatnas Maret hingga kini. Dalam seleksi terakhir pelatnas, akhir Juni, Oky mampu mengungguli rekan lombanya, Tias Andira, sampai satu putaran atau sekitar 30 detik.
Padahal, tim pelatih menyebutkan, perbedaan kualitas Oky dan Tias tak terlalu jauh saat awal pelatnas. Namun, karena Oky berlatih lebih spartan, perbedaan kualitas itu mulai timpang.
Oky mengakui, dirinya tidak pernah mau kalah. ”Kalau orang lain berlatih dua kali. Saya harus tiga kali. Saya tidak takut overtrain karena saya yang mengenal tubuh sendiri,” katanya.
Pria bertubuh kurus ini pun selalu beradu dengan diri sendiri. Ia selalu membandingkan catatan waktunya dari hari ke hari. Jika merasa waktu latihannya kurang baik, Oky tidak akan berhenti berlatih.
Pertanyaan besar kini tertuju pada Oky. Ia mengalami kecelakaan pada pertengahan Juli 2018 yang membuatnya harus beristirahat hingga awal Agustus 2018. Kini, ia harus kembali ke kondisi puncak secepatnya. Untuk menebus rasa penasaran merajai Asia, Oky tidak hanya melawan Chen dan Son, tetapi juga melawan sakit di lutut kirinya yang mendapat 18 jahitan karena kecelakaan.