Mengumandangkan lagu kebangsaan ”Indonesia Raya” dan menyaksikan bendera Merah Putih di tiang tertinggi menjadi kebanggaan Pino Jeffta Udayana Bahari (45). Momen saat dia meraih medali emas Asian Games Beijing 1990 itu abadi dalam ingatan mantan petinju yang akrab disapa Pino Bahari tersebut. Saat itu, di partai final tinju kelas 75 kg, Pino mengalahkan petinju unggulan asal Mongolia, Bandiin Altangerel.
”Saat itu saya tampil dengan beban sangat berat, termasuk fisik,” kenang Pino ketika ditemui Kompas di Sasana Cakti Gibbor Boxing Incorporated, Denpasar, Bali, Jumat (13/7/2018).
Sebelum menghadapi Altangerel, Pino mengalami cedera pada kedua tangannya. ”Karena sudah partai final, saya harus memberikan yang terbaik. Kalau menyerah, saya yang digebukin,” kata Pino mengenang momentum itu. ”Karena itu, saya harus melawan,” ujarnya.
Pino yang saat itu berusia 17 tahun berhadapan dengan Altangerel, petinju berpengalaman yang posturnya lebih tinggi dan memiliki jangkauan yang lebih panjang. Sepanjang laga, dalam tiga ronde, Pino memaksa Altengerel bertarung jarak dekat. ”Saya tidak ingin kalah memalukan,” kata Pino. Lantaran tangannya cedera, Pino mengaku kesakitan setiap kali memukul lawannya. ”Itu momen yang tidak bisa saya lupakan. Demi Merah Putih, saya harus berjuang habis-habisan,” ujar Pino.
Pantang menyerah dan berani adalah hasil didikan keras ayahnya, Daniel Bahari. Menurut Pino, ayahnya berpandangan bahwa atlet tinju harus berlatih sangat keras layaknya dia sedang di neraka. Dengan demikian, saat bertanding, atlet itu dapat berpesta atas lawannya.
Latihan fisik yang berat menjadi menu keseharian Pino. Itu juga dialami atlet-atlet tinju didikan Daniel karena dia menginginkan atletnya memiliki stamina yang kuat dan menjadi petarung tangguh dan andal.
Melatih
Pino mengungkapkan, almarhum ayahnya adalah sosok pelatih yang keras dan bervisi ke depan. Daniel menyiapkan Pino menjadi atlet sejak Pino masih kecil. ”Boleh dibilang sejak saya masih di kandungan ibu, ayah sudah bercita-cita mencetak saya sebagai juara,” kata Pino.
Untuk itu, Daniel memberikan istrinya asupan vitamin dan nutrisi yang dibutuhkan hingga Pino lahir. Pino dilatih berenang sedari kecil dan diakrabkan dengan suasana sasana sejak usia dini. ”Keseharian saya, bangun tidur sudah melihat sasana tinju dan melihat petinju berlatih,” ujar Pino mengenang masa kecilnya.
Setelah pensiun sebagai atlet tinju sejak 1996, Pino membantu ayahnya melatih atlet-atlet tinju. Pino menjadi asisten pelatih Daniel. Mulai 1997, Pino menjadi promotor tinju dan penata pertandingan dalam program tinju profesional yang dikelola Daniel di sebuah stasiun televisi swasta.
Melalui program tinju profesional yang tayang reguler itu, Pino ikut membina atlet tinju profesional. ”Ketika itu, kami berhasil mencetak Chris Jhon sebagai juara dunia setelah eranya Ellyas Pical. Kami juga membawa Daud ’Cino’ Yordan menjadi juara,” kata Pino.
Setelah program tinju di stasiun televisi swasta itu berakhir, Pino pulang ke Bali dan kembali melatih tinju di sasana tinju Cakti Bali yang dikelola Daniel. Pino bersama adiknya, Nemo Bahari, mendirikan sasana tinju Cakti Gibbor Boxing Incorporated di Denpasar, dengan memanfaatkan lantai satu dari gedung GPdI Gloria. Pino menjadi pembina atlet tinju dengan terlibat di Persatuan Tinju Amatir Indonesia (Pertina), baik di Pertina pusat, Pertina Bali, maupun Pertina Kabupaten Badung.
Pino menyatakan, semua atlet dalam tim nasional Indonesia, khususnya petinju, memiliki kesempatan untuk menang dan berprestasi asalkan atlet tersebut berkeinginan menang dan mau bertarung maksimal. Selain itu, adanya dukungan dari tim dan pemerintah.
”Saya berharap pemerintah turun tangan, membantu dunia olahraga agar mampu berprestasi lebih maksimal,” kata Pino.
Pino berharap pemerintah juga menganggarkan dana pensiun bagi atlet berprestasi sehingga mantan atlet Indonesia memiliki jaminan hidup dan calon-calon atlet Indonesia terpacu semangatnya untuk berprestasi.