Mohammad Sarengat, pelari legendaris ini pada Asian Games IV tahun 1962 di Jakarta meraih medali emas untuk nomor lari 100 meter dan lari gawang putra 110 meter dalam waktu 14,3 detik. Pencapaian Sarengat itu sekaligus rekor baru untuk lari 100 meter dengan catatan 10,5 detik. Rekor itu baru dipecahkan 25 tahun kemudian lewat pelari Purnomo dengan waktu 10,3 detik.
Sarengat yang lahir di Banyumas, 28 Oktober 1939, meninggal pada usia 74 tahun di Jakarta. Hidup ayah tiga anak ini sungguh ”berwarna”. Setelah tak lagi menjadi atlet, selama bertahun-tahun dia bekerja sebagai dokter pribadi Wakil Presiden Sultan Hamengku Buwono IX dan Adam Malik.
Dia juga pernah menjadi Sekjen KONI, Direktur Operasi Gelora Bung Karno, dan Kepala Bidang Pembinaan Pengurus Besar Persatuan Atletik Seluruh Indonesia (PASI). Sarengat adalah dokter militer. Dia purnawirawan TNI Angkatan Darat dengan pangkat kolonel.
Mulai tertarik atletik saat berusia 18 tahun di Kampung Batang, Pekalongan, Jawa Tengah, Sarengat menorehkan prestasi pada pertandingan antarpelajar SMA untuk lompat tinggi dan lari 100 meter di Surabaya pada 1958. Ejekan teman-temannya saat dia kalah dalam Kejuaraan PASI 1959 di Jakarta justru membuat Sarengat terpacu berlatih keras.
Upayanya tak sia-sia, dia menjadi salah satu atlet legendaris dengan pencapaiannya di Asian Games 1962. Namun di sisi lain, pencapaiannya sebagai atlet harus dibayar ”mahal” dengan pendidikan yang terbengkalai. Demi atletik, Sarengat harus berlatih dan bertanding sehingga saat ujian SMA dia tak bisa. Tiga kali dia gagal ujian SMA.
Pada 1962, dia sempat bimbang, memilih meneruskan tugasnya sebagai atlet atau fokus pada pendidikannya di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI).
”Mengingat saya sudah banyak berkorban dalam bidang studi. Sekarang waktunya memikirkan diri sendiri,” kata Sarengat yang lulus dari FKUI tahun 1971.
Kecintaannya pada atletik membuat Sarengat tetap memberi perhatian pada cabang olahraga tersebut meskipun dia sudah menjadi dokter. Pemegang bintang jasa Satya Lencana Kebudayaan dari Pemerintah RI ini antara lain pernah menjadi Chef de Mission untuk kontingen Indonesia dalam Universiade di Tokyo, Jepang, tahun 1967.
Dia juga membagi pengalamannya, antara lain tentang pentingnya cara pendekatan yang tepat dari pelatih kepada atletnya, sesuai karakter kepribadian tiap atlet. Sepanjang kariernya sebagai atlet, Sarengat antara lain mendapat bimbingan dari pelatih asing, seperti Charles Jenkins, Bill Miller, dan Thomas Rosandich, ketiganya dari AS.
Sarengat juga menjadi sumber inspirasi bagi sebagian atlet lainnya. Salah satunya atlet panahan yang pernah masuk 10 besar Olimpiade Montreal 1976, Leanne Manurung. Selama tahun 1970-an, Leanne adalah salah satu atlet panahan terkuat Asia. Untuk pencapaiannya itu, dia meninggalkan kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Indonesia.
Apalagi tahun 1976 dia menikah. Namun justru sang suami yang menantangnya kembali ke bangku kuliah. Tahun 1980 Leanne tak mengambil kesempatan dalam SEA Games 1981 di Manila. Dia kembali kuliah dan diwisuda pada 1983. Pada tahun yang sama, atlet yang juga diwisuda adalah pesebak bola Khaerul Akwan sebagai sarjana hukum dan karateka Achyani Media sebagai sarjana ekonomi.