BANDUNG, KOMPAS – Enam atlet difabel Jawa Barat menghentikan aksi berjalan kaki ke Jakarta untuk mengembalikan medali Peparnas Jabar 2016. Aksi itu dihentikan di Kabupaten Purwakarta setelah bertemu perwakilan Kementerian Pemuda dan Olahraga. Mereka dijanjikan bakal diakomodasi pemerintah guna menyelesaikan masalah terkait penolakan pemotongan bonus prestasi atlet.
“Bonus sepenuhnya hak atlet. Dalam pertemuan di Purwakarta, Kemenpora menolak segala bentuk pungutan liar, baik potongan, setoran maupun kontribusi lainnya,” ujar Ganjar Jatnika (36), atlet lari peraih tiga medali emas dan dua perak Peparnas 2016, di Bandung, Selasa (7/8/2018).
Ganjar berjalan kaki itu bersama lima rekannya, yaitu Asri (30), Farid Surdin (26), Sony Satrio (24), Junaedi (21), dan Elda Fahmi (18). Mereka semua mengalami gangguan penglihatan. Aksi itu dimulai dari Stadion Gelora Bandung Lautan Api, Kota Bandung, Sabtu (4/8/2018). Hingga Senin, mereka tiba di Purwakarta dan telah berjalan kaki sekitar 77 kilometer.
Ganjar mengatakan, langkah itu dilakukan sebagai bentuk protes karena tidak diikutsertakan dalam seleksi atlet ASEAN Para Games Kuala Lumpur 2015, Asian Para Games 2018 dan ajang paralimpiade lainnya. Ganjar menduga, hal itu dipicu karena mereka tidak menyetorkan uang 25 persen dari bonus yang diperoleh saat meraih medali di Peparnas Jabar 2016 kepada pengurus Komite Paralimpiade Nasional Indonesia (NPCI).
Atlet Jabar yang meraih medali pada Peparnas 2016 mendapatkan bonus dari Pemerintah Provinsi Jabar. Rinciannya, medali emas mendapat Rp 230 juta, perak Rp 73 juta, dan perunggu Rp 35 juta.
Ganjar mengatakan, di Purwakarta mereka bertemu Sekretaris Kemenpora Gatot S Dewa Broto. Pertemuan itu menghasilkan surat pernyataan dengan 15 poin kesepakatan. Di antaranya, Kemenpora tidak menoleransi pemotongan bonus prestasi atlet paralimpiade di semua ajang. Kemenpora juga akan mengirimkan auditor untuk memverifikasi dugaan pungutan liar itu.
Selain itu, Kemenpora akan mendesak pengurus NPCI untuk mengembalikan pungutan yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Terhadap dugaan didiskriminasi karena menolak menyetorkan kontribusi kepada NPCI, Kemenpora akan memperjuangkannya kepada Komite Paralimpiade Asia (APC) agar mereka dapat berlaga pada Asian Para Games 2018.
Atlet tolak peluru, Farid Surdin, mengatakan, sudah sepatutnya atlet difabel memperjuangkan masa depannya dengan menolak membayar kontribusi 25 persen dari bonus prestasi. "Ini sudah berlangsung lama dan harus dihentikan. Jangan ada lagi atlet yang mau bonusnya dipotong,” ujarnya.
Sekretaris Kemenpora Gatot S Dewa Broto mengatakan, potongan bonus prestasi atlet tidak dibenarkan. Dia mengatakan sudah menegur pengurus NPCI terkait hal itu. “Alasan NPCI, uang itu untuk biaya operasional. Itu tidak bisa dijadikan alasan untuk menagih kontribusi dari atlet. Bonus itu hak atlet. Bagi atlet yang sudah menyerahkannya, silakan melapor kepada kami,” ujarnya.
Ketua NPCI Jabar Ukun Rukaendi mengatakan, kontribusi 25 persen dari bonus atlet itu diatur dalam Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga NPCI. Rinciannya, 15 persen untuk NPCI tingkat provinsi dan 10 persen untuk tingkat kabupaten/kota.
Sebelumnya, Ketua Umum NPCI Senny Marbun menegaskan, pencoretan nama enam atlet peraih medali Peparnas Jabar 2016 itu bukan karena mereka tidak menyetorkan kontribusi atau iuran dari bonus medali. Meski meraih medali, mereka tidak masuk batas skor kualifikasi minimum. “Itu alasannya mereka tidak dipanggil ke pelatnas dan tidak bisa ikut Asian Para Games 2018 bulan Oktober mendatang,” ujarnya.