SOLO, KOMPAS – Kontribusi dana yang bersumber dari bonus prestasi atlet dibutuhkan untuk menjalankan roda organisasi Komite Paralimpiade Nasional Indonesia. Pasalnya, Komite Paralimpiade Nasional Indonesia selama ini tidak pernah mendapatkan bantuan dana dari APBN.
“Kita tidak pernah mendapatkan dana (APBN) sepeserpun untuk menghidupi organisasi, dari tahun 2005 harus berjuang sendiri untuk menghidupi NPC (Komite Paralimpiade Nasional) Indonesia,” ujar Ketua Umum Komite NPCI Senny Marbun di Solo, Jawa Tengah, Selasa (7/8/2018) menyusul aksi long march para atlet penyandang gangguan penglihatan di Bandung, Jawa Barat.
Aksi itu dilakukan sebagai bentuk protes para atlet karena tidak diikutsertakan dalam seleksi atlet untuk ASEAN Para Games 2017 dan Asian Para Games 2018. Mereka adalah atlet lari Ganjar Jatnika (36) dan Asri (30), atlet tolak peluru Farid Surdin (26), atlet judo Sony Satrio (24) dan Junaedi (21), serta Elda Fahmi (18). Menurut Ganjar, hal itu karena mereka tidak menyetorkan uang 25 persen dari bonus saat meraih medali di Peparnas 2016 kepada NPCI. (Kompas, Selasa 7/8/2018).
Senny mengatakan, kontribusi dana dari para atlet yang berasal dari bonus prestasi yang diterima atlet dibutuhkan untuk menjalankan organisasi NPCI. Ini, misalnya, NPCI harus membayar iuran keanggotaan dan mengikuti sidang-sidang organisasi di tingkat internasional. Selain itu, juga untuk membayar biaya operasional kantor Sekretariat NPCI, seperti membayar listrik, telepon, air, membayar gaji staf NPCI, mendanai pembangunan gedung sekretariat NPCI di Solo serta pembinaan atlet.
Sekretaris Jenderal NPCI Pribadi mengatakan, kontribusi dana dari atlet untuk organisasi itu telah disepakati bersama dalam rapat kerja nasional NPCI yang diperbarui pada Rakernas tahun 2017. Rinciannya, atlet memberi kontribusi sebesar 15 persen dari bonus yang diterimanya dalam kejuaraan tingkat internasional untuk NPCI pusat dan 10 persen untuk NPCI provinsi. Jika level kejuaraan yang diikuti tingkat nasional seperti Peparnas, atlet wajib memberi kontribusi sebesar 15 persen dari bonus prestasi yang diterimanya untuk NPCI provinsi dan 10 persen untuk NPCI kabupaten/kota.
“Kenapa muncul ide minta kontribusi atlet, ini ada dasarnya karena kita (NPCI) tidak punya dana sama sekali, nol. Kami belum pernah mendapatkan dana dari APBN sampai saat ini,” katanya.
Menurut Pribadi, anggaran ABPN yang diterima NPCI adalah untuk mengikuti kejuaraan multicabang, seperti ASEAN Para Games, Asian Para Games, dan Paralimpiade. Sedangkan, untuk operasional organisasi NPCI tidak pernah mendapatkan bantuan dana APBN. Karena itu, NPCI harus mencari dana secara mandiri yang disepakati bersama berasal dari kontribusi para atlet.
Terkait enam atlet difabel dari Jawa Barat yang protes karena tidak dipanggil dalam pelatnas Asian Para Games, menurut Pribadi, tidak semua peraih medali di Peparnas dipanggil mengikuti pelatnas. Ini karena capaian prestasi mereka tidak masuk limit dalam MQS (skor kualifikasi minimum).
“Kalau pedomannya dipanggil pelatnas adalah mendapatkan medali emas, dalam Peparnas Jawa Barat itu ada 1.000 lebih medali emas. Pelatnas Asian Para Games itu kuotanya 300 atlet untuk 18 cabang olahraga. Seleksi dasarnya adalah prestasi, jadi tidak sembarangan memanggil atlet,” katanya.
Berdasarkan data NPC Indonesia, Sony pejudo di kelas +81 kilogram tidak dipanggil pelatnas karena kelas +81 kg tidak dipertandingkan dalam Asian Para Games 2018. Ganjar Jatnika, atlet lari T12 tidak dipanggil karena catatan waktunya relatif jauh dibawah atlet di tingkat Asia. Catatan waktu terbaik Ganjar lari 100 m pada Peparnas 2016 adalah 12.10 detik, sedangkan catatan waktu tingkat Asia lari 100 m pada posisi tercepat ketiga adalah 11.31 detik.