Tenis meja Indonesia tidak memiliki sejarah prestasi membanggakan di tingkat internasional. Proses pembinaan atlet pun tidak berjalan dengan baik karena minim infrastruktur ditambah polemik bertahun-tahun di tubuh induk organisasi tenis meja nasional.
Menghadapi Asian Games 2018, atlet tenis meja nasional akan menghadapi misi yang amat sulit. Apalagi, mereka dituntut meraih minimal satu medali di tengah persaingan menghadapi negara-negara Asia yang notabene penguasa tenis meja dunia.
Adapun prestasi tenis meja Indonesia di tingkat internasional tak ada yang bisa dibanggakan. Faktanya, tenis meja Indonesia memang tidak pernah menuai prestasi tertinggi di tingkat Asia, apalagi dunia. Di Asian Games, misalnya, setelah ganda putra Sinyo Supit/Empie Wuisan meraih perak di Bangkok 1978 dan beregu putra meraih peringkat keenam di New Delhi 1982, tidak ada lagi atlet Indonesia yang bisa menyamai prestasi tersebut.
Tenis meja Indonesia hanya mampu mengukir prestasi internasional di tingkat SEA Games atau Asia Tenggara. Itu pun hanya di era 1980-1990-an. Setelah itu, terutama 10 tahun terakhir, prestasi tenis meja melempem.
”Bahkan, terakhir kali atlet tenis meja Indonesia meraih emas SEA Games adalah Muhammad Hussein pada nomor tunggal di SEA Games Manila 2005,” ujar pelatih tenis meja Indonesia Haryono Wong Tye (57) di pelatnas tenis meja di Pusat Pendidikan dan Latihan Perusahaan Listrik Negara, Ragunan, Jakarta, Kamis (2/8/2018).
Faktor pembinaan
Haryono mengatakan, terus merosotnya prestasi tenis meja adalah puncak gunung es dari buruknya proses pembinaan atlet. Selain DKI Jakarta dan Jawa Timur, tak ada sentra pembibitan tenis meja yang baik dan benar.
”Di tempat-tempat lain memang ada klub, tetapi cenderung hanya untuk hobi, tak serius untuk pembinaan. Akibatnya, atlet yang lahir jauh di bawah standar. Bahkan, jika pun masuk pelatnas, mereka harus dibina lagi dari nol untuk jadi atlet standar internasional,” tutur Haryono, mantan atlet yang meraih emas di SEA Games 1983, 1987, dan 1989 itu.
Mirisnya, klub-klub yang turut melahirkan atlet-atlet nasional pun kini megap-megap. Di Surabaya, Jawa Timur, contohnya, ada klub legendaris Harapan Cerah Insan yang Sejati (HCIYS). Klub itu telah eksis sejak 1960-an dan banyak melahirkan atlet-atlet nasional yang mampu berprestasi hingga SEA Games, seperti Leman Affandi, Loka Purnomo, Hartono Herlin, Liliana Wibisono, Karnelia Ailin, dan Haryono Wong.
Namun, memasuki awal 2000-an, klub itu vakum karena tak ada lagi tempat latihan. Kendala infrastruktur itu memang jadi masalah pelik yang makin membuat buntu lahirnya atlet tenis meja andal di Indonesia.
Padahal, tenis meja adalah olahraga dalam ruangan. Untuk itu, memainkannya sangat butuh gedung olahraga (GOR) yang layak. Paling tidak, butuh GOR yang mampu menampung 20-an meja, berpendingin udara, dan beralas karpet. Itu adalah spesifikasi GOR standar untuk kejuaraan resmi internasional.
Namun, tenis meja Indonesia tidak seberuntung bulu tangkis. Hampir semua daerah di Indonesia tidak menyediakan GOR yang layak untuk tenis meja. Mayoritas tempat berlatih tenis meja di pelatda ataupun pelatnas menumpang di tempat yang tidak khusus untuk tenis meja.
Pelatnas saat ini pun menumpang di GOR serba guna milik Pusdiklat PLN di Ragunan. Karena tak khusus untuk tenis meja, tempat itu jauh dari standar, yakni hanya mampu menampung 10 meja, tak ada pendingin udara, dan tidak beralas karpet.
Padahal, bukan untuk gaya-gayaan, spesifikasi tertentu di GOR tenis meja sangat memengaruhi pola latihan dan permainan atlet. Semakin sempit GOR, tak ada pendingin udara, dan tidak berkarpet, akan membuat pergerakan bola lebih cepat. Sebaliknya, GOR yang luas, berpendingin udara, dan berkarpet akan membuat bola lebih lambat.
”Sementara atlet bertanding di tempat luas, berpendingin udara, dan berkarpet. Akibatnya, sering kali atlet yang terbiasa latihan di tempat sempit, tidak berpendingin udara, dan tidak berkarpet harus adaptasi lagi minimal satu minggu ketika akan terjun di kejuaraan resmi, terutama internasional,” papar Novita Oktariyani, pelatih tenis meja yang masih berusia 19 tahun dan sempat berlatih di China pada 2010-2013 ketika aktif sebagai atlet.
Polemik organisasi
Puncak penyebab dari buruknya pembinaan atlet tenis meja nasional itu tak lepas pula akibat polemik di tubuh Pengurus Besar Persatuan Tenis Meja Seluruh Indonesia (PB PTMSI). Bertahun-tahun, pengurus bertikai karena ego pribadi ataupun kelompok. Akibatnya, kepengurusan tidak pernah fokus memperhatikan cara meningkatkan prestasi tenis meja nasional.
Situasi mengorbankan nasib atlet. Pada awal 2018, anggaran Kemenpora sempat tertunda disalurkan ke PB PTMSI karena dualisme kepengurusan organisasi itu. Pelatnas tenis meja pun baru dapat suntikan dana pada Februari. Padahal, atlet diagendakan untuk melakukan pemusatan latihan di China selama enam bulan sejak Januari.
Jadi rahasia umum pula, PB PTMSI memiliki dua kubu. Masing-masing kubu menaungi sejumlah atlet. Kala salah satu kubu menguasai organisasi, kubu tersebut seolah tidak sudi menarik atlet-atlet dari kubu seberang. Kubu yang tak berkuasa pun kadang enggan melepas atletnya untuk membela timnas.
Saat ini, skuad pelatnas pun tidak dihuni atlet terbaik nasional sepenuhnya. ”Mau bagaimana lagi, saya tidak bisa apa-apa. Saya sepenuhnya cuma mau bantu negara. Dengan skuad yang ada sekarang, saya akan tetap berjuang membina mereka sebaik mungkin,” ujar Haryono.
Atlet tenis meja yang diproyeksikan tampil di nomor tunggal, ganda campuran, dan beregu putri, Rina Sintya (19), berharap segera ada perbaikan di pembinaan atlet tenis meja nasional. Ia dan para atlet lainnya berharap segenap insan tenis meja Indonesia bersatu untuk membangun tenis meja Indonesia.
Selama tiga tahun berlatih di China, 2010-2013, Rina melihat Negeri Tirai Bambu itu fokus mengembangkan tenis meja. Pembinaan dilakukan berjenjang sejak usia 6-8 tahun dari tingkat kabupaten/kota, provinsi, hingga nasional.
Fasilitas di pusat pembinaan pun semuanya standar internasional. Para pengurusnya juga satu suara. ”Tak heran, China menjadi negara nomor satu dunia di tenis meja,” kata Rina.
Indonesia perlu segera menuntaskan masalah kronis tenis meja ini karena bersatu kita teguh bercerai kita runtuh.