JAKARTA, KOMPAS—Sekolah sepak bola (SSB) merupakan tempat menyemai bibit pesepak bola profesional. Namun, pengelolaan SSB yang belum terstandar membuat fungsinya ini belum berjalan efektif.
“Bagaimana dengan pencurian umur? Apakah masih ada orang tua yang menyogok pelatih? Apakah pelatih tersebut sudah memiliki sertifikat? Bagaimana dengan peningkatan mutunya? Ini yang perlu kami dengar dari teman-teman SSB,” kata wartawan senior olahraga Yesayas Oktavianus dalam rapat di Kemenpora, Jakarta, Kamis (9/8/2018).
Hal itu disampaikan Yesayas saat mengomentari sejumlah perwakilan SSB yang berkeluh kesah pada rapat tersebut. “Kami mau mendengar evaluasi dari teman-teman SSB, bukan keluhan,” tambahnya.
Perwakilan SSB Pondok bambu Edi Suwito mengatakan, SSB kebanyakan digerakkan oleh kepedulian, baik dari orang tua siswa maupun pelatih. Menurutnya, SSB terbagi ke dalam tiga kategori, yakni yang benar ada, diada-adakan, dan yang hidup segan mati tak mau. “Harapannya, pemerintah bisa mengatur ini,” kata Edi.
Perwakilan SSB Daerah Supriyatno mengklaim, hingga 2014 terdapat 8000 SSB yang ada di Indonesia. Namun pengelolaan SSB di daerah masih jauh dari yang diharapkan. “Semua pada ditangani sendiri, tidak ada pengaturan apalagi badan hukumnya,” kata Supri.
Supri juga menyayangkan minimnya turnamen usia dini yang ada di daerah. Pemain yang berusia di atas 13 tahun, kata dia, cendrung menghilang dan tak lagi intens mengikuti latihan. “Mereka berlatih terus tanpa mengikuti turnamen atau kompetisi, tentu akan jenuh,” jelasnya.
Mantan Tim Transisi Kemenpora Cheppy Wartono yang sekaligus moderator rapat mengatakan, banyak SSB tidak memiliki acuan kegiatan yang jelas. “Mereka (SSB) tumbuh bagai jamur di musim hujan tetapi tidak mengerti harus melakukan apa,” kata Cheppy.
Oleh sebab itu, dia berharap rapat yang diinisiasi Kemenpora ini bisa menawarkan solusi terhadap persoalan di atas. Terlebih, SSB merupakan salah satu pelaku pembinaan sepak bola usia dini. “Kita tidak bisa menghasilkan pemain instan. Pembinaan sepak bola harus sejak muda dan disertai aturan yang jelas,” kata dia.
Direktur Liga Kompas Gramedia (LGK) Adi Prinantyo mengatakan, aturan liga yang ketat turut mendisiplinkan SSB yang menjadi peserta liga. Adi mencontohkan proses seleksi umur pada LKG U-14.
“Peserta harus melampirkan rapor, nomor induk. Jika masih ada keraguan pemain ini berada di bawah 14 tahun, maka dia harus tes kesehatan di rumah sakit yang bekerja sama dengan kami,” kata Adi.
Selain soal teknik bermain, kata Adi, peserta lomba LKG harus menjunjung tinggi sportivitas. Peserta diminta bersikap wajar saat berada di dalam maupun luar lapangan.
“Kalau ada pemain skill-nya bagus tetapi saat mendapat peringatan dari wasit pemain itu marah atau meludah di lapangan, kami akan coret dari daftar pemain terpilih,” kata Adi.
Deputi III Kemenpora Bidang Pembudayaan Olahraga Raden Isnanta mengatakan, pembinaan atlet usia dini tidak hanya fokus pada prestasi. Sikap dan mentalitas sebagai seorang atlet juga harus dibentuk. “Kami membangun sepak bola dengan perilaku, di samping juga membenahi teknik bermain,” kata Raden.
Berangkat dari pembahasan selama rapat, akhirnya diputuskan untuk membentuk tim perumus. Tim ini bertugas untuk membuat usulan terkait pembinaan usia muda. Salah satu poin yang akan dibahas adalah soal standarisasi dan sertifikasi SSB.
Setelah dirumuskan, usulan tersebut diberikan kepada Kemenpora sebagai bahan pertimbangan. Adapun tim perumus tersebut, yakni Yesayas Oktavianus, Bob Hippy, James Tangkudung, Edi Suwito, dan Adi Prinantyo. (E10)