Waspadai Potensi Serangan Jantung pada Pemain Sepak Bola
Risiko pemain sepak bola meninggal karena jantung berhenti berdetak lebih tinggi dari yang dipikirkan para ahli selama ini. Meski kematian mendadak akibat serangan jantung itu juga terjadi pada populasi umum, peluang terjadinya lebih besar pada atlet.
Di pertandingan internasional, pesepak bola Marc-Vivien Foe (28) asal Kamerun tiba-tiba pingsan saat bertanding dalam semifinal Piala Konfederasi 2003 di Lyon, Perancis, tanpa ada pemain lain di dekatnya. Meski segera diberi pertolongan, termasuk resusitasi mulut ke mulut dan oksigen, dia tak tertolong. Hasil otoposi menunjukkan dia meninggal karena kardiomiopati hipertrofik.
Kondisi yang sama pernah dialami mantan bek tim nasional Inggris, Ugochuku Ehiogu atau populer dengan Ugo Ehiogu (44). Ia mendapat serangan jantung pada 2017 di lokasi pelatihan Tottenham Hotspur dan meninggal keesokan harinya di rumah sakit.
Indonesia juga memiliki sejumlah kasus serupa. Pemain gelandang Persebaya Surabaya, Eri Irianti (26), meninggal pada 2000. Saat bertanding, Eri tiba-tiba lari ke pinggir lapangan memegangi kepalanya sambil mengeluh sakit. Ia dilarikan ke rumah sakit dan dirawat intensif. Namun, keesokannya dia meninggal yang diduga akibat gangguan fungsi jantung (Kompas, 5 April 2000).
Berhentinya jantung berdetak secara tiba-tiba adalah pembunuh dalam diam. Penyakit yang dinamai kardiomiopati itu dipicu oleh kelainan pada otot jantung hingga jantung tidak mampu memompa darah ke seluruh tubuh.
Kardiomiopati sebenarnya juga banyak dialami populasi umum. Namun, potensi bahayanya menjadi lebih tinggi pada atlet karena jantung mereka dibebani lebih berat. Akibatnya, penyakit atau kelainan yang ada pada jantung atlet lebih mudah muncul. Selain itu, adrenalin yang hadir saat bertanding, perubahan elektrolit tubuh, hingga dehidrasi selama berolahraga bisa meningkatkan risiko serangan jantung.
Potensi bahaya kardiomiopati lebih tinggi pada atlet karena jantung mereka dibebani lebih berat. Adrenalin yang hadir saat bertanding, perubahan elektrolit tubuh, hingga dehidrasi selama berolahraga juga bisa meningkatkan risiko serangan jantung.
Penapisan
Aneil Malhotra dkk dalam ”Outcomes of Cardiac Screening in Adolescent Soccer Players” yang dipublikasikan di The New England Journal of Medicine menunjukkan, kematian mendadak pada sejumlah atlet muda karena mereka sudah memiliki gangguan jantung sebelumnya yang tidak terdeteksi atau lolos dari proses penapisan.
Studi itu dilakukan Aneil dkk dengan melakukan penapisan atau screening terhadap 11.168 atlet remaja dengan umur rata-rata 16,4 tahun di bawah Asosiasi Sepak Bola Inggris (FA). Pemeriksaan dilakukan dengan pemberian kuesioner kesehatan, pemeriksaan fisik, serta pemeriksaan elektrokardiografi dan ekokardiografi. Setelah itu, kondisi mereka dipantau selama 20 tahun pada 1996-2016.
Selama pemeriksaan awal, ditemukan 0,38 persen atlet atau 42 orang memiliki gangguan jantung yang berpotensi menimbulkan kematian jantung mendadak di masa depan. Dengan perawatan melalui operasi korektif dan pemberian obat-obatan, 30 orang di antaranya dipersilakan melanjutkan karier atletnya. Sisanya disarankan tidak lagi bermain dalam olahraga kompetitif.
Selain itu, 2 persen atlet atau 225 orang teridentifikasi memiliki kelainan kongenital (kelainan yang terjadi sejak pembentukan janin dalam kandungan) ataupun valvular (kelainan katup jantung).
Selama masa studi, ada 23 responden meninggal karena berbagai sebab. Namun, delapan kematian di antaranya disebabkan oleh serangan jantung mendadak. Sementara itu, tujuh dari delapan kematian mendadak itu disebabkan oleh kardiomiopati.
Selain itu, enam dari delapan kematian jantung mendadak itu memiliki hasil screening jantung normal dengan waktu rata-rata antara screening dan kematian jantung mendadak itu sekitar 6,8 tahun. Kondisi itu menunjukkan, penapisan sulit untuk menghasilkan hasil sempurna.
Dengan sejumlah perhitungan, diperoleh jumlah kematian atlet mendadak akibat penyakit jantung mencapai 6,8 orang per 100.000 atlet. Jumlah itu jauh lebih tinggi dari perkiraan sebelumnya yang menyebut kematian mendadak di kalangan atlet akibat penyakit jantung hanya kurang dari 2 orang per 100.000 atlet.
”Itu membuat kita perlu membuka mata bahwa angka kematian mendadak akibat serangan jantung di kalangan atlet lebih tinggi dari yang kita duga meski jumlah kematian yang terjadi masih termasuk jarang,” kata profesor kardiologi di Universitas London St George’s (SGUL), London, Inggris, Sanjay Sharma, seperti dikutip BBC, Rabu (8/8/2018).
Kita perlu membuka mata bahwa angka kematian mendadak akibat serangan jantung di kalangan atlet lebih tinggi dari yang kita duga meski jumlah kematian yang terjadi masih termasuk jarang.
Ketidaksempurnaan penapisan yang dilakukan membuat Asosiasi Sepak Bola Inggris memperkenalkan penapisan tambahan untuk atlet-atlet mereka, yaitu pada usia 18 tahun, 20 tahun, dan 25 tahun.
Hasil identifikasi masalah jantung yang tidak bisa diobati itu bisa menjadi masalah yang serius bagi atlet muda karena membuat mereka harus melupakan cita-citanya bermain sepak bola secara profesional. Karena itu, keputusan tindak lanjut setelah penapisan itu harus dibuat antara atlet, orangtua, dan klub sepak bola mereka.
Sangat sulit bagi anak muda yang memimpikan menjadi atlet sepak bola profesional dan mencurahkan seluruh hidupnya untuk bermain sepak bola sejak mereka berumur 8 tahun atau 9 tahun tiba-tiba harus melupakan impiannya.
Sharma mengatakan, ”Kami (tim dokter) harus sangat jujur mengatakan ada risiko kematian mendadak. Meski tingkat kematiannya rendah, dokter tidak bisa memperkirakannya.”
Kondisi itu membuat perlindungan bagi atlet selama bertanding perlu ditingkatkan.
Dokter tim Crystal Palace Football Club, London, Inggris, Zaf Iqbal, mengatakan, dalam setiap pertandingan Liga Premier Inggris, harus ada dokter, dua paramedis, dan berbagai perlengkapan medis wajib. ”Dibandingkan 10 tahun lalu, saya pikir pemain sepak bola saat ini lebih terlindungi,” katanya.
Selain program penapisan sejak muda, klub juga memiliki peralatan defribrilator yang akan memberikan tembakan listrik ke jantung guna memulihkan korban serangan jantung. Alat ini disimpan di tempat latihan klub. Staf dan pelatih juga dilatih untuk menggunakan alat tersebut.
Kelainan
Sepak bola memang memberi manfaat kesehatan. Namun, pada sebagian orang yang memiliki kelainan jantung bawaan, latihan keras akan membawa mereka pada peningkatan risiko serangan jantung mendadak.
Sepak bola memang memberi manfaat kesehatan. Namun, pada sebagian orang yang memiliki kelainan jantung bawaan, latihan keras akan membawa mereka pada peningkatan risiko serangan jantung mendadak.
Berhentinya jantung berdetak secara mendadak atau kardiomiopati memang sering kali tidak menunjukkan gejala, khususnya pada tahap awal. Seiring dengan bertambahnya waktu dan kelainan jantung itu makin berkembang, gejala akan muncul dan akan semakin memburuk jika tidak segera diobati.
Gejala kardiomiopati yang sering muncul, seperti dikutip dari mayoclinic.org, antara lain sesak napas baik saat harus mengeluarkan banyak tenaga maupun saat istirahat serta pembengkakan kaki khususnya di pergelangan kaki atau telapak kaki dan perut yang kembung karena penuh cairan.
Selain itu, gejala yang harus diperhatikan adalah batuk sambil berbaring, kelelahan, detak jantung yang cepat, ketidaknyamanan di dada, hingga pusing atau pingsan.
Penyebab kardiomiopati sering kali tidak diketahui. Pada beberapa orang, kondisi itu diturunkan atau diwariskan.
Namun, faktor lain yang berkontribusi memicu kardiomiopati antara lain tekanan darah tinggi pada jangka panjang, kerusakan jaringan jantung, denyut jantung cepat dan kronis, adanya masalah pada katup jantung, hingga gangguan metabolisme dalam tubuh, seperti obesitas, gangguan tiroid, dan diabetes.
Risiko kardiomiopati juga makin meningkat karena kekurangan vitamin dan mineral penting, seperti tiamin atau vitamin B1, komplikasi selama kehamilan, terlalu banyak mengonsumsi alkohol selama bertahun-tahun, hingga penggunaan obat terlarang, terserang infeksi tertentu, atau penumpukan zat besi di otot jantung.
Dengan kondisi itu, mereka yang memiliki riwayat keluarga kardiomiopati perlu waspada. Gaya hidup sehat dengan menghindari konsumsi alkohol dan obat terlarang serta mengontrol tekanan darah dan kolesterol harus dilakukan. Selain itu, pola makan sehat, olahraga teratur, dan cukup tidur juga harus dilakukan sembari mengelola stres.