Duta Bangsa di Garis Depan Asian Games
Sebagian di antara mereka mengambil cuti kerja sekitar dua pekan. Sebagian lagi memboyong keluarga dari berbagai daerah demi mendekati lokasi pertandingan. Tujuannya bukan pelesiran, namun menjadi sukarelawan Asian Games 2018.
Kasmuri (24), adalah salah seorang di antaranya. Rabu (8/8/2018) siang, kami bertemu di muka Stasiun Cawang, Jakarta Timur. Siang itu, bungsu lima bersaudara itu usai mengajar di sebuah yayasan sosial di Bekasi, Jawa Barat.
Kasmuri indekos di Tanjung Priok, Jakarta Utara dan menggunakan moda transportasi publik sebagai sarana angkutan sehari-hari. Kemungkinan untuk berinteraksi dengan orang-orang baru menjadi alasan utamanya menggunakan angkutan umum. Jarak antara tempat kos dan lokasi kerja yang relatif jauh justru disukainya. Agar ia bisa lebih berlama-lama menjalin komunikasi dengan orang-orang baru.
Kasmuri lolos seleksi menjadi sukarelawan Asian Games 2018 setelah mencoba kembali di tahap kedua, 18 Januari hingga 18 Maret 2018. Pada seleksi pertama, September hingga Oktober 2017, Kasmuri tidak lolos. “Saya telat input data,” kata Kasmuri.
Setelah melewati tahapan seleksi dan pelatihan, Kasmuri dipercaya sebagai salah satu koordinator Departemen Transportasi Inasgoc yang bertugas di Wisma Atlet Kemayoran, Jakarta. Ada 18 orang anggota tim yang berada dalam garis koordinasinya.
Tugas Kasmuri memastikan waktu keberangkatan dan unit bus yang ditumpangi atlet. Anggotanya bekerja 24 jam dalam tiga shift kerja. Sebagai koordinator, Kasmuri harus selalu mengontrol kelancaran tiga kelompok pembagian kerja itu.
Kasmuri merasa tugasnya teramat penting. Baginya, menjadi sukarelawan berarti turut pula membela nama baik negara. “Ini kesempatan saya untuk terjun dan terlibat untuk negara,” kata Kasmuri yang tiap akhir pekan aktif dalam kegiatan belajar anak-anak marjinal di Jakarta.
Teman-teman baru, relasi, dan jejaring profesional adalah hal-hal yang dicarinya saat menjadi sukarelawan. Belajar hal-hal baru dan menantang kemampuan diri untuk memimpin serta bekerjasama dalam tim menjadi hal lain yang ingin dia lakukan. Iya meyakini tugas ini kelak akan berguna bagi pengembangan kariernya.
Di sisi lain, ia menyadari menjadi sukarelawan berarti pula perlu kerelaan untuk banyak berkorban. “Tugas ini jauh dari (sekadar) nilai uang,” tutur Kasmuri yang mengambil cuti kerja di luar tanggungan selama jadi sukarelawan.
Lepas tengah hari, Kasmuri undur diri. Ia mesti segera kembali ke Bekasi. Siang itu, anak-anak didiknya tengah membuat kue brownies untuk dijual. Sebagian hasil penjualannya akan disumbangkan bagi korban gempa bumi di Lombok, Nusa Tenggara Barat.
Anggapan negatif
Pada saat nyaris bersamaan, sembilan kilometer dari Cawang, Fajar Ariessita masih berkutat di kantornya yang bergerak di bidang energi. Insinyur perminyakan yang lahir tahun 1985 itu tergabung sebagai sukarelawan di Departemen Hubungan Internasional dan Protokol Inasgoc. Salah satu tugasnya kelak, mendampingi tamu-tamu naratama (VIP) ajang tersebut.
Menjelang sore, perempuan yang akrab dipanggil Faye itu menuju kawasan Senayan. Ia berlatih di salah satu pusat kebugaran bersama sejumlah peserta lain dari berbagai negara. Amerika Serikat, Jepang, dan Brasil adalah sebagian di antaranya. Sudah sekitar dua tahun ia latihan di tempat itu. Selain berlatih bersama, Faye merasa senang dan nyaman untuk mengenalkan Indonesia dan “menjamu” teman-temannya itu, sebagaimana yang dilakukan tuan rumah.
Sebagian alasan itu pula yang mendorongnya mengikuti seleksi sukarelawan Asian Games 2018. “Saya (seperti) punya internal mission untuk mematahkan (sebagian) anggapan (tentang Indonesia) sebagai negara terbelakang dan (tempat keberadaan) teroris,” sebut Faye mengenai motivasinya.
Untuk mewujudkannya, Faye sudah mengajukan izin tidak bekerja. Saat ini ia tengah menanti keputusan itu. Jika izin tidak terbit, ia sudah siap untuk menggunakan hak cutinya.
Faye sudah berencana, bakal melayani tamu-tamu asing tersebut dengan sebaik-baiknya berdasar pada prinsip kesetaraan. “Saya akan jamu (tamu asing), tapi saya tidak dalam posisi yang inferior,” ujar Faye yang petang itu berulangkali disapa teman-teman berlatihnya.
Ia menikmati aktivitas sebagai relawan sejak sekitar tiga tahun terakhir lewat sejumlah komunitas sosial. Faye menyebut keterlibatannya sebagai sukarelawan Asian Games sebagai upaya balas budi dari yang selama ini telah ia peroleh dari masyarakat.
Sementara Gilang Vega, mesti memboyong seorang anaknya yang baru berusia satu tahun, dari Karawang, Jawa Barat ke rumah orangtuanya di Bintaro, Jakarta Selatan. Ia memutuskan jadi sukarelawan karena merasa terpanggil dengan jalan hidup di masa lalu.
Sebelumnya, Gilang adalah atlet bulutangkis di sektor ganda putri. Bersama Samantha Lintang yang jadi pasangannya, Gilang pernah menjuarai nomor ganda putri Kejuaraan Provinsi DKI Jakarta tahun 2009.
“Saat saya (masih sebagai) atlet, saya tidak bisa ikut Asian Games. Sekarang sebagai relawan, saya bisa ikut disitu, cabangnya (juga) di situ (bulutangkis),” kata Gilang yang juga group leader Departemen Sport & Medal Games Service Inasgoc di Istora Gelora Bung Karno.
Sehari-hari, Gilang mengajar murid-murid SD di Karawang. Selain itu, ia juga mengajar di salah satu sekolah internasional di bilangan Ragunan, Jakarta Selatan. Dua kali dalam sepekan ia ke Jakarta untuk urusan tersebut.
Seperti juga Faye dan Kasmuri, Gilang pun mengajukan cuti. Agar bisa fokus, urusan-urusan terkait sejumlah kegiatan murid-muridnya, gilang menyerahkan ke rekan kerjanya.
Gilang, Faye, dan Kasmuri merasa inilah kesempatan paling memungkinkan selama hidup mereka untuk terlibat dalam ajang sepenting itu. Tidak terbayang di benak mereka kapan lagi Indonesia menjadi tuan rumah Asian Games setelah 1962 dan 2018.
Berdasarkan sejumlah riset, motivasi seseorang menjadi sukarelawan cenderung sulit disepakati. Akan tetapi dalam buku berjudul Working with Volunteers in Sport yang ditulis Cuskelly, Hoye, dan Auld (2006), menyebut sangat sedikit kekhasan orang-orang yang meluangkan waktu mereka secara sukarela. Motivasi mereka merupakan cerminan ekspresi nilai untuk bertindak berdasarkan keyakinan membantu orang lain. Selain untuk menghilangkan perasaan negatif dengan melayani orang lain, tugas itu dilakukan untuk pengembangan karir berikutnya, dan peningkatan harga diri tatkala memiliki perasaan dibutuhkan orang lain.
Berbagai Proses
Coordinator/Director Human Resources & Volunteer Department Inasgoc, Pusparani Hasjim menyebutkan para sukarelawan membantu pekerjaan hampir di seluruh departemen. Terdapat 31 departemen, dengan 22 di antaranya yang relatif tidak bisa lepas dari tenaga sukarelawan.
Para sukarelawan direkrut lewat tiga tahap. Pertama tahap dilakukan menggunakan sistem teknologi informasi selama empat periode antara Februari hingga Maret 2018. Sistemnya berupa pemberian skor berdasarkan kriteria tertentu untuk aplikasi-aplikasi yang masuk.
Tahapan ini menyaring 23.097 pendaftar usia 18-40 tahun yang mengajukan aplikasi secara daring. Teknologi informasi yang digunakan untuk melakukan penyaringan, merupakan kepunyaan perusahaan Korea yang ditunjuk Olympic Council of Asia (OCA). Terdapat pula calon sukarelawan asing sejumlah 392 orang yang turut mengajukan pendaftaran.
Tahap kedua dilakukan tahap penyaringan dokumen yang dilakukan Departemen Akreditasi Inasgoc. Sejumlah lembaga negara seperti Badan Intelijen Negara, Densus 88, dan Ditjen Dukcapil Kemendagri turut terlibat. Pusparani mengatakan, 27 calon sukarelawan tidak lolos dalam proses ini karena memiliki indikasi terkait dengan hal tertentu.
Tahap berikutnya adalah psikotes dan wawancara yang dilakukan pada 27 April-2 Mei di Jakarta dan 21-25 Mei di Palembang. Dari proses tersebut diperoleh 11.563 sukarelawan lokal, 30 sukarelawan asing, dan 857 sukarelawan dari unsur TNI/Polri.
Setelah itu, pelatihan diberikan dalam tiga jenjang. Pertama pelatihan dengan materi nilai-nilai olahraga yang meliputi sejarah olimpiade, nilai-nilai keolahragaan, tinjauan Asian Games, dan kegiatan kesukarelawanan. Kedua, pelatihan umum dengan materi kemampuan interpersonal, kemampuan komunikasi, etiket, dan materi tentang pariwisata dan kebudayaan.
Jenjang ketiga adalah pelatihan mengenai tugas-tugas spesifik sebagai relawan. Pelatihan ini menjadi ranah setiap departemen dimana setiap sukarelawan bakal ditugaskan.
Peran Pelatih
Pada jenjang tersebut, peran pelatih para relawan di setiap departemen menjadi relatif sentral. Koordinator Departemen Media dan Hubungan Masyarakat Inasgoc Ratna Irsana, Kamis (9/8/2018) menyebutkan bahwa peran para pelatih bisa bersifat umum dan spesifik. Sukarelawan yang bertugas di departemennya, secara umum akan diberikan gambaran tentang wartawan sebagai klien utama mereka.
“Secara umum (diberi tahu) kenapa kita perlu wartawan, kenapa wartawan dikasih satu kode berbeda dibandingkan yang lain,” sebut Ratna di kantor Inasgoc. Sejumlah pertanyaan dari berbagai pihak kepada Ratna menginterupsi obrolan kami di tengah suara-suara peralatan kerja dan lalu lalang orang-orang pada siang itu.
Fandi Ahmad, Field Manager Human Resources & Volunteer Department Inasgoc mengkoordinir 2.273 sukarelawan menjelaskan bahwa salah satu tantangan besar dalam membentuk mental sukarelawan ialah meniadakan orientasi untuk mencari uang. Salah satu upaya yang dilakukan ialah dengan meniadakan istilah gaji dan honor, karena memang tidak ada, melainkan uang pengganti yang diberikan.
Uang pengganti meliputi Rp 150 ribu perhari untuk biaya makan dan Rp 150 ribu perhari untuk pengeluaran transportasi. Total Rp 300 ribu perhari. Selain itu, para sukarelawan juga berhak menggunakan layanan Transjakarta secara gratis dan satu set pakaian berikut sepatu dan tas hingga topi, sebagai seragam dalam bertugas.
Untuk menjamin kerja sukarelawan sesuai tuntutan setiap departemen, ada 21 pemuda terpilih yang bertugas sebagai penghubung antara Departemen Sumber Daya Manusia dan Sukarelawan Inasgoc dengan 21 departemen lain. Misalnya bila terjadi hal-hal yang tidak sesuai dengan kode disiplin.
Menurut Fandi, menyamakan persepsi bahwa menjadi sukarelawan adalah tentang memberi, dan bukan hendak meminta, merupakan hal penting untuk dicapai. Sebab bagi Fandi, makna paling besar Asian Games 2018 bukan terletak pada peninggalan fisik bangunan tempat laga. Namun jiwa sebagai sukarelawan yang mempraktikkan nilai-nilai keolahragaan seperti menjunjung asas “fair play,” kompetitif, tahu bagaimana menghadapi kemenangan, dan siap menghadapi kekalahan.
Jika belasan ribu sukarelawan itu benar-benar terbentuk sesuai yang diharapkan, maka inilah kelompok dengan kekuatan besar untuk membuat Indonesia bangkit. Tegak dan berdaulat.