City Akan Kehilangan Gelar jika Tren Berlanjut
Kompetisi sepak bola paling ingar bingar Liga Primer Inggris kembali bergulir pada akhir pekan lalu, mendahului sejumlah liga utama Eropa. Sejumlah rekrutan pemain bintang dengan nilai-nilai yang memecahkan rekor kembali menjadi warna salah satu kompetisi paling tua di muka bumi ini. Meski terasa rutin, sejumlah tanda tanya besar selalu menghantui Liga Primer, termasuk juga memasuki musim baru 2018-2019 ini, mampukah juara bertahan—Manchester City—mempertahankan gelarnya?
Pertanyaan ini muncul manakala realitas statistik menunjukkan, dalam sembilan musim terakhir sejak 2008-2009, tidak satu pun juara yang mampu mempertahankan gelarnya.
Ini berarti dalam satu dekade terakhir, setiap juara Liga Primer harus menyerahkan tahktanya kepada klub lain. Meski berputar di beberapa klub saja giliran menjadi juara, yakni tiga klub Manchester United, Manchester City, dan Chelsea, mereka tak mampu mempertahankan gelarnya pada musim berikut. Tiga klub tersebut hanya diseling oleh ”kejutan abad ini”, Leicester City, yang memenangi gelar Inggris pada 2015-2016.
Laman BBC akhir pekan lalu menurunkan laporan yang menarik mengenai fenomena unik di Liga Primer ini. Dalam ulasannya, BBC menyebutkan, saat juara-juara Liga Inggris menyerahkan takhtanya pada musim berikut, klub kaya raya Jerman, Bayern Muenchen, enam kali merebut gelar Bundesliga secara beruntun. Demikian pula raksasa Italia, Juventus, yang baru merekrut pemain terbaik dunia, Cristiano Ronaldo, yang tujuh kali beruntun menjuarai Serie A. Sementara klub yang dimiliki para miliarder Arab, Paris St Germain, empat kali beruntun meraih gelar Ligue 1.
Lantas mengapa fenomena unik terjadi di Liga Primer?
Untuk membedah fenomena ini, BBC mengamati sejumlah area yang diyakini menjadi penyebab gejala unik tersebut. Yang pertama adalah faktor finansial, uang yang bicara, money talk. Gejalanya sama, para rival melakukan investasi utamannya pembelian pemain dengan jumlah fantastik melebihi sang juara bertahan.
Semua ini berawal dari terus meningkatnya pendapatan klub dari hak siar televisi dan terakhir (2016-2019) bernilai 8,4 miliar pound (sekitar Rp 150 triliun). Angka mega ini membuat klub-klub divisi tertinggi Inggris mempunyai kekuatan finansial yang jauh lebih baik daripada rata-rata klub liga utama di Eropa. Ini juga berarti, saat sebuah klub gagal menjadi juara pada musim berjalan, mereka secara finansial punya kekuatan untuk memperkuat tim dengan membeli pemain-pemain terbaik dari mana pun dengan harga berapa pun.
Gila-gilaan ala Liverpool
Liverpool adalah contoh paling mutakhir bagaimana respons manajemen terhadap pencapaian klub musim lalu. Setelah menyelamatkan posisi Liga Champions di peringkat keempat—yang juga berarti aliran dana masih akan lancar—serta mencapai final liga paling bergengsi itu Mei lalu, ”The Reds” kini adalah klub pembelanja terbesar untuk mengejar ambisi juara yang sudah dua dekade lebih tidak mereka rasakan.
Fenway Sports Group sebagai pemilik Liverpool bukan hanya habis-habisan menyokong Manajer Juergen Klopp untuk belanja pemain, tetapi juga melakukan investasi besar-besaran untuk menambah daya tampung Anfield. Saat rival satu kota Everton melakukan panic buying dengan mendatangkan Yery Mina dari Barcelona dengan harga 28,5 juta pound pada jam-jam terakhir jendela transfer, manajemen Liverpool duduk manis karena mereka telah menghabiskan pengeluaran bersih 158 juta pound selama jendela transfer.
Klub pemegang lima gelar Liga Champions dan 18 gelar Liga Inggris itu mendatangkan Allison Becker dari AS Roma dengan mahar 65 juta pound, tak lama setelah mereka juga mendatangkan gelandang Naby Keita dari RB Leipzig (52,8 juta pound), gelandang Monaco, Fabinho (40 juta pound), dan penyerang Xherdan Shaqiry dari Stoke (13 juta pound). Ini belum termasuk mendatangkan bek tengah Virgil van Dijk dari Southampton dengan mahar 75 juta pound pada jendela transfer musim dingin, Januari lalu.
Bukan hanya Liverpool, rival Manchester City lainnya, Chelsea, juga melakukan belanja besar-besaran setelah musim lalu gagal mempertahankan gelar sekaligus memecat Manajer Antonio Conte. ”The Blues” bahkan memecahkan rekor transfer seorang kiper saat mendatangkan Kepa Arrizabalaga dari Athletic Bilbao dengan harga 71,6 juta pound. Tim yang kini dilatih mantan Manajer Napoli Maurizio Sarri itu juga mendatangkan gelandang Jorginho dari Napoli dengan mahar 50,4 juta pound.
Lantas bagaimana dengan sang juara bertahan Manchester City dan runner-up musim lalu, Manchester United?
Pep Guardiola cenderung kalem dan tenang. Gagal mendapatkan Jorginho karena kalah bersaing dengan Chelsea, pria Spanyol ini cukup percaya diri dengan skuad juaranya dengan praktis hanya mendapatkan Riyad Mahrez dari Leicester dengan nilai 60 juta pound.
Di Carrington markas latihan United, meski Jose Mourinho terus uring-uringan karena merasa tidak disokong manajemen dalam pembelian pemain, Manchester United tetap merogoh kocek senilai 43,7 juta pound untuk mendatangkan gelandang asal Brasil, Fred, dari Shaktar Donetsk dan 19 juta pound untuk merekrut bek Diogo Dalot dari FC Porto.
Namun bukan hanya para elite yang melakukan pembelanjaan mega, bahkan klub-klub papan tengah bawah pun seolah berlomba mendatangkan pemain bintang. Berbanding dengan skala finansialnya, klub seperti West Ham United juga unjuk gigi dengan pengeluaran bersih 76,5 juta pound setelah mereka juga melakukan investasi London Stadium. Pembelian West Ham termasuk rekor klub 33,5 juta pound saat mendatangkan gelandang Felipe Anderson dari Lazio.
Juga klub seperti Bournemouth yang selalu diasosiasikan dengan tim papan bawah. Musim lalu, tim yang baru promosi ke Liga Primer pada 2015 itu mendapatkan suntikan finansial senilai 111 juta pound dan mereka memboyong gelandang Jeferson Lerma dari Levante denga rekor klub senilai 25 juta pound. Setali tiga uang adalah Brighton and Hove Albion yang selamat dari degradasi musim lalu yang membelanjakan bersih 44,3 juta pound. Sementara klub yang kembali promosi, Fulham, merogoh kocek sebesar 74,5 juta pound.
Fakta menunjukkan, dalam sembilan musim sejak United mempertahankan gelar pada musim 2008-2009, juara bertahan tujuh kali dilampaui klub rival dalam belanja pemain yang kemudian berhasil menjadi juara.
Fakta menunjukkan, dalam sembilan musim sejak United mempertahankan gelar pada musim 2008-2009, juara bertahan tujuh kali dilampaui klub rival dalam belanja pemain yang kemudian berhasil menjadi juara. Pengecualian hanya pada dua musim, yakni pada United musim 2010-2011 dan Leicester pada 2015-2016 saat mereka hanya belanja senilai 21,87 juta pound dan 34,38 juta pound sebelum menjadi juara.
Meski demikian, pandangan lain diberikan mantan asisten United, Mike Phelan, yang mendampingi Alex Ferguson saat tim ”Setan Merah” memenangi liga tiga kali beruntun antara 2007 dan 2009. Menurut Phelan, United tidak pernah coba melakukan pembelian besar-besaran pemain setelah memenangi gelar. ”Saat Anda mencapai tahapan itu dengan mentalitas juara dan lalu menjadi juara, Anda telah mempunyai sekelompok pemain hebat,” ujar Phelan kepada BBC Sports.
”Yang Anda butuhkan hanya memperkuat tim dengan satu atau dua pemain untuk membawa ke level selanjutnya seperti saat kami mendatangkan Juan Sebastian Veron,” kata Phelan.
Kesalahan berulang
Lebih lanjut BBC juga mengungkapkan, dalam enam musim terakhir, para juara bertahan terus mengulang kesalahan dalam pembelian pemain baru. Hanya ada dua pemain, yakni Pedro (Chelsea) dan Marouane Fellaini (United), yang akhirnya mampu tampil mengesankan dan memberi dampak besar pada tim utama juara bertahan. Selebihnya gagal menjadi faktor penguat untuk mempertahankan gelar. Sebut saja Maicon, Jack Rodwell, Baba Rahman, atau Bartosz Kaputska sebagai sejumlah contoh kegagalan.
Chelsea adalah contoh paling mutakhir. Selepas menjuarai liga pada 2017, The Blues mengeluarkan dana 186,03 juta pound untuk membeli tujuh pemain baru yang sebagian besar di antaranya kemudian menjalani musim yang buruk dan sulit. Mereka antara lain Tiemue Bakayoko, Davide Zappacosta, Danny Drinkwater, dan Alvaro Morata. Manajer Conte benar-benar putus asa membentuk tim utama yang bisa diandalkan dan kemudian berujung dipecatnya pelatih asal Italia tersebut.
Duo Manchester pun tak luput dari kekeliruan belanja pemain ini setelah menjadi juara. Setelah memenangi liga lewat detik-detik dramatik gol Sergio Aguero pada 2012—juara dengan hanya hanya berselisih produktivitas gol dengan United—Manchester City merekrut Maicon, Rodwell, Javi Garcia, Matija Nastasic, dan Scott Sinclair yang gagal membuat City lebih kuat. Dua tahun kemudian saat mereka menjadi juara 2014-2015, kesalahan yang sama berulang lewat perekrutan Eliaquim Mangala, Bruno Zuculini, dan Bacary Sagna.
Tetangga mereka yang congkak, United, setali tiga uang. Saat David Moyes memegang kendali di Old Trafford setelah Ferguson memenangi liga di musim terakhirnya, hanya Fellaini dan bek sayap Guillermo Varela yang direkrut pada musim panas. Sementara saat Ferguson memenangi gelar pada 2009, sejumlah pemain juga ditambahkan tetapi gagal mempertahankan juara. Mereka antara lain Michael Owen, Antonio Valencia, dan Gabriel Obertan.
Faktor penampilan di kejuaraan Eropa juga diterangai menjadi penyebab penurunan kinerja tim juara.
Dalam temuan studi banyak pakar sepak bola, sebuah tim, atau juga atlet individual akan mengalami penurunan grafik penampilan akibat mengalami kepuasan diri berlebihan setelah menjadi juara. Fenomena kepuasan berlebihan itu barangkali bisa menjelaskan apa yang terjadi pada para juara Liga Primer pada sembilan musim terakhir.
Mantan bintang United yang juga pernah menjadi pemain Barcelona, Mark Hughes, mengatakan, butuh tambahan lima sampai enam pemain pada sebuah tim juara untuk menghindarkan diri dari kepuasan yang berlebihan. ”Pada masa lampau kita bisa melihat tim seperti United, Chelsea, atau Liverpool yang selalu mengeset ulang tiap musim untuk bersiap bagi musim berikutnya,” ujar Hughes.
Faktor penampilan di kejuaraan Eropa juga ditengarai menjadi penyebab penurunan kinerja tim juara. Dalam kasus Leicester dan Chelsea, mereka mampu menjadi juara karena para pemainnya tidak tampil di Liga Champions dan fokus hanya pada kompetisi domestik.
Data menunjukkan, setelah menjadi juara, mereka gagal meraih sukses dan kinerjanya merosot drastis saat mereka terlibat dalam kompetisi Eropa. Leicester memainkan 43 laga pada musim 2014-2015, berbanding 54 laga pada musim 2015-2016 di mana mereka finis di posisi ke-12. Chelsea main 47 kali pada 2016-2017 dan 59 laga musim berikutnya untuk merosot ke peringkat lima.
Lantas apa yang dilakukan Manchester City agar fenomena sembilan musim terakhir tidak terulang?
Pep Guardiola mengakui, pencapaian City musim lalu adalah fantastik, termasuk mencatat rekor poin 100, dan itu hal yang sangat sulit diulang. Sepanjang sejarahnya, City memang tidak pernah berhasil mempertahankan gelar Liga Inggris. Sejarah mencatat, bahkan pada 1937-1938, mereka terdegradasi setelah musim sebelumnya menjadi juara.
Namun, Pep dianggap pelatih yang mampu membalikkan semua catatan sejarah itu. Selain sejumlah pemecahan rekor musim lalu, termasuk poin final yang terpaut 19 dengan runner-up United, Pep adalah tipe pelatih yang sangat fanatik dengan aspek kekuatan mental timnya. Pep khusus menunjuk mantan atlet polo air, Manuel Estiarte, untuk selalu mencari langkah-langkah inovatif guna terus menginspirasi para pemain. Setelah menjadi juara, langkah inovatif sangat dibutuhkan untuk membawa tim ke level berikut dan mempertahankan gelar.
Pelatih legendaris Alex Ferguson pernah punya taktik jitu untuk terus memotivasi pemainnya agar tidak pernah berpuas diri setelah menjadi juara. Dia selalu mengatakan, tim pelatih telah menulis dua nama di dalam sebuah amplop tertutup. Dua nama itu dipastikan telah mengalami kepuasan tetapi karena loyalitas, mereka tetap diberikan kesempatan membuktikan diri bahwa tim pelatih telah salah menilai.
Gary Pallister selalu bertanya, siapa dua nama itu dan dijawab Ferguson hanya akan diumumkan pada akhir musim. Saat musim berakhir dan United berhasil mempertahankan gelar, bahkan dengan gelar tambahan juara Piala FA, Pallister bertanya lagi kepada Ferguson, siapa dua pemain di dalam amplop. Ferguson mengatakan, tidak ada satu pun!
”Kalau memang ada, mereka tidak akan pernah berada di ruang ganti. Karena menangani kepuasan diri jauh lebih penting daripada loyalitas,” ujar sang legenda Ferguson.