Jiwa Kita Pun Perlu Olahraga
Bisa jadi, Asian Games Jakarta-Palembang yang tengah berlangsung bakal disaksikan langsung oleh ratusan ribu orang. Ratusan juta—di berbagai belahan dunia—mengikutinya lewat berbagai media. Asian Games kembali menjadi contoh, betapa ajang olahraga bisa menyedot perhatian begitu banyak manusia. Bukan karena mereka semua olahragawan, melainkan karena kebutuhan dasar kita sebagai manusia tecermin di dalamnya.
Awal Januari 2017, presiden dengan perjalanan karier paling kontroversial dalam sejarah politik AS, Donald Trump, dilantik di Washington DC. Lembaga survei Nielsen memperkirakan, sekitar 30 juta masyarakat AS menyaksikan pengucapan sumpah jabatan itu dari layar televisi.
Sekitar sebulan kemudian, pertandingan puncak cabang olahraga paling popular AS, American football, digelar di Houston, Texas. Ajang ini menciutkan skala pelantikan Trump menjadi tontonan yang biasa-biasa saja. Lembaga yang sama menyurvei, lebih dari 111 juta orang menonton duel final bertajuk Super Bowl itu dari layar plasma dan LED.
Di negeri ini awal Agustus, KH Ma\'ruf Amin tampil sebagai calon wakil presiden pendamping petahana Joko Widodo. Perhatian masyarakat tersedot. Media massa ramai memberitakannya, juga menjadi trending topic di media-media sosial.
Sebulan sebelumnya, kejutan yang dibuat oleh remaja 18 tahun Lalu Muhammad Zohri saat meraih gelar juara dunia nomor lari 100 meter yunior (U-20) di Swedia tak kalah menyita perhatian publik. Rekaman video aksi Zohri di final banyak dicuplik dan diunggah ke dalam Youtube. Setiap unggahan tentang Zohri disaksikan hingga ratusan ribu, bahkan satu juta lebih penonton.
Memang benar, menonton—juga menyaksikan via televisi atau membaca beritanya—sebuah pertandingan olahraga adalah bentuk kegiatan rekreatif. Manusia suka berekreasi karena aktivitas tersebut menghibur dan mampu mengalihkan sejenak semua pikiran dan perasaan dari kehidupan nyata yang dialami sehari-hari.
Hanya saja, suatu laga olahraga bisa menyesap perhatian begitu banyak orang—tak kalah dari fenomena politik penentu nasib negeri—karena apa yang berlangsung dalam arena olahraga itu sendiri adalah sebuah penggalan kehidupan yang nyata. Bukan rekayasa. Jika dirasakan lebih dalam, ”pergulatan nyata” dalam ”kehidupan” yang kita tonton sekian detik hingga puluhan menit tersebut itu adalah miniatur pergulatan diri kita sehari-hari.
Dalam sebuah lomba, kita menyaksikan sebuah dunia yang diisi manusia-manusia yang senantiasa berupaya untuk menjadi sempurna. Semua komitmen tersebut pada akhirnya tercurah dalam sebuah ruang yang sudut-sudutnya terjangkau oleh tatapan mata kita.
Dalam gelanggang itulah penonton disuguhkan dengan pementasan yang mengungkap hasrat mendasar para pemainnya: menjadi yang paling cepat, paling kuat, paling cerdik, paling padu, paling inspiratif. Bukankah seperti para atlet itu, setiap manusia juga selalu bergulat dengan dengan kehidupannya untuk terus menjadi lebih baik, lebih kuat—fisik dan mental, lebih pandai, lebih berkualitas?
Mereka menjadi percaya pada keajaiban, sepanjang atlet kesayangan tak menyerah, terus berjuang hingga detik terakhir.
Ada situasi yang membahayakan dalam pertandingan olahraga, element of danger. Katakanlah ketika sebuah kesebelasan sepak bola dikepung dan gawangnya dibombardir lawannya. Sebaliknya, penonton juga melihat sebuah masa penuh harapan. Sebelum pertandingan berakhir, para suporter percaya pemain atau tim favorit masih bisa menang.
Mereka menjadi percaya pada keajaiban, sepanjang atlet kesayangan tak menyerah, terus berjuang hingga detik terakhir. Bukankah rasa waswas akan kegagalan dan harapan akan keberhasilan juga selalu menjadi bagian dari perasaan kita sehari-hari?
Kebutuhan hidup
Tanpa disadari, pertandingan olahraga pun menyentuh emosi terdalam para penontonnya. Sebuah lomba mengingatkan pemirsanya akan kebutuhan hidup manusia seperti yang ditulis oleh pakar psikologi sosial AS Abraham Maslow tentang hierarki kebutuhan, hierarchy of needs dalam A Theory of Human Motivation.
Seiring peradaban, manusia tak lagi cuma memerlukan pangan, pakaian, tempat berteduh, dan tidur. Manusia modern, ujar Maslow, punya kebutuhan lebih banyak lagi, antara lain perlu rasa aman: safety need, termasuk secara emosional; penghargaan (esteem) seperti pengakuan, dihormati, dinilai penting; dan aktualisasi diri: kebutuhan untuk berprestasi.
Oleh karena perlu emotional security itulah kita tak menyukai kegagalan yang kerap menerbitkan perasaan tak aman, insecure. Rasa seperti itu pula yang meruap dalam diri kita saat menyaksikan atlet jagoan berada di ambang kekalahan.
Takluknya sang bintang menerbitkan perasaan, betapa menyesakkannya rasa ketidakamanan. Saat dia kalah, kita ikut terpukul, terkadang menangis, atau sebaliknya: marah. Namun, karena kita tahu betapa pahitnya ketidakberdayaan, kerap pula muncul rasa empati menyaksikan seorang atlet terseok-seok di arena, nyaris tak mampu menyelesaikan lomba.
Satu contoh paling terkenal adalah perenang dari Guinea Ekuatorial Eric Moussambani. Moussambani lolos ke Olimpiade Sydney 2000 berkat jatah pemerataan asal peserta, universality. Bukan karena dia jago kelas dunia. Sekeras apa pun dia berlatih saat itu, Moussambani memang tak mungkin menyamai perenang elite global tingkat yunior sekalipun.
Ketika itu, negerinya sama sekali tak punya kolam renang standar Olimpiade. Untuk berlatih, dia hanya menggunakan kolam renang hotel yang desainnya lebih tepat untuk bersantai. Sangat mungkin, belum satu pun pelatih di negeri Afrika tersebut yang memahami metodologi kepelatihan renang pada era Moussambani.
Atraksi menaklukkan waktu berubah menjadi drama tentang seseorang yang berjuang untuk tidak tenggelam.
Maka, ketika turun di babak penyisihan nomor 100 meter gaya bebas, aksi Moussambani langsung menerbitkan tawa pada awalnya. Tangannya mengayuh secepat dan sekuat mungkin di 25 meter pertama. Gayanya tak beda seperti anak-anak yang berenang melawan arus di sungai belakang kampung.
Setelah itu, kayuhan tersebut melemah. Wajah Moussambani nyaris tak pernah lagi masuk ke dalam air, menandakan ketakutannya kehabisan oksigen karena rasa lelah telah mendera.
Seusai pembalikan untuk menyelesaikan jarak 50 meter terakhir, atraksi menaklukkan waktu berubah menjadi drama tentang seseorang yang berjuang untuk tidak tenggelam. Maka, derai tawa penonton berubah menjadi tepuk tangan dan teriakan penyemangat.
[embed]https://youtu.be/YDqwYUe_U7I[/embed]
Mereka tak ingin Moussambani gagal. Betapapun berantakan hasil akhirnya, penonton ingin Moussambani mencapai finis. Ketika harapan ribuan orang itu diwujudkan Moussambani, semua lega. Moussambani menjadi cerminan bahwa seburuk apa pun kemalangan yang menimpa, tak seorang pun ingin menyerah kalah ”di tengah jalan”.
Berbeda dari nasib Moussambani, aksi menawan Zohri yang mampu berlari paling depan dan menang di Kejuaraan Dunia yunior memenuhi kebutuhan hidup kita akan penghargaan. Keberhasilan Zohri yang sebangsa, sebahasa, dan senegara itu membuat kita merasa ikut diakui. Kita tersadar akan potensi diri kita yang jika tak lelah diasah, dapat teraktualisasi sebagai prestasi global.
Emosi terdalam
Lebih jauh, olahraga tak hanya menenggelamkan penontonnya dalam emosi terdalam secara perorangan. Olahraga juga bisa memecah-belah para penonton, sebaliknya bisa pula menyatukan mereka.
Contoh paling yang sering kita baca atau dengar tentang yang pertama adalah tawuran yang melibatkan para suporter klub sepak bola. Ketika kesebelasannya kalah, mereka memukuli suporter lawan yang berpapasan di jalan atau dalam perjalanan pulang melempari kendaraan atau bangunan yang dilewati.
Tontonan olahraga menjadi bumerang bagi penonton ketika harapan akan keberhasilan atlet berubah menjadi glorifikasi pribadi atau kelompok. Sesungguhnya, ”bahaya” ini tak hanya menghinggapi para penonton. Glorifikasi dapat dengan mudah menghinggapi orangtua, keluarga dekat, hingga pelatih si atlet tersebut.
Ketika atlet kesayangannya menang, glorifikasi membuat para pendukung menjadi sombong, merendahkan pihak lawan. Sebaliknya ketika kemenangan gagal diraih, kemarahanlah yang muncul.
Orangtua bisa muntab, menjadi sosok yang menakutkan bagi anaknya yang atlet atau berupaya mendelegitimasi keberhasilan lawan dengan tuduhan curang, doping, dan lain sebagainya. Secara berkelompok, kegagalan membuat suporter menjadi hooligan bagi suporter lainnya. Yang terjadi adalah perpecahan.
Sejatinya, sifat glorifikasi tersebut dapat dienyahkan jika saja kita: penonton dan suporter, mau ”belajar” hingga pertandingan usai. Lihatlah, sang juara tidak pernah menjadikan selebrasi kemenangan sebagai pengujung tontonan. Aksi final yang dia lakukan adalah mendatangi lawan, menyalami, memeluk, dan menghibur kompetitornya.
Sebaliknya, tangis dan kesedihan juga bukan drama puncak bagi atlet yang kalah. Seusai meratap, dia akan bangkit, menyalami sang pemenang. Dengan tegar mereka akan mengikuti upacara penghormatan yang diberikan bagi sang juara. Dalam pertandingan olahraga, menang dan kalah adalah tujuan teramat penting, tetapi bukan segalanya.
Jika merasa ”dicurangi” dalam pertandingan, pelajaran paling mendasar dalam olahraga bagi para atletnya adalah: proteslah. Dan selalu ada tata cara baku yang dihormati bersama untuk melakukannya. Menang atau kalah, olahraga menjunjung sebuah etika: respect. Rasa hormat.
Respect juga merupakan wujud dari kebutuhan semua manusia akan penghargaan diri, self esteem.
Oleh para akademisi ilmu olahraga, rasa hormat dijabarkan menjadi sekumpulan prinsip. Rasa hormat terhadap lawan, terhadap teman satu tim, terhadap pelatih, ofisial pertandingan, dan peraturan. Semua itu yang membentuk karakter atlet: sportmanship. Kita di Indonesia menyebutnya sportivitas. Bukankah menurut Maslow, respect juga merupakan wujud dari kebutuhan semua manusia akan penghargaan diri, self esteem.
Jadi, kita suka menonton ajang olahraga karena olahraga adalah rekaman singkat pergulatan hidup kita sendiri. Kita melihat ada nilai dan kebutuhan yang kita cari dalam hidup di dalamnya.