Misi Mulia Para Duta Bangsa
Belasan ribu sukarelawan terlibat dalam Asian Games 2018. Selama berbulan-bulan, mereka direkrut, dilatih, dan dievaluasi agar menjadi duta yang membanggakan bangsa.
Fandi Ahmad (32), Field Manager Human Resources Volunteer Department Panitia Penyelenggara Asian Games (Inasgoc), menjadi salah seorang yang bertanggung jawab agar misi mulia itu terlaksana. Kamis (9/8/2018) siang, di salah satu sudut ruangan kawasan perkantoran Inasgoc di Senayan, Jakarta Selatan, bersama sejumlah rekannya dia memastikan lagi semua persiapan sudah rampung.
Mereka adalah anak-anak muda yang sejak 11 tahun lalu aktif dalam sejumlah penyelenggaraan keolahragaan berbagai skala. Sebagian adalah anak didik Pusparani Hasjim, kini Coordinator/Director Human Resources Volunteer Department Inasgoc.
Periode 2007-2011 dan 2011-2014, Pusparani pernah turut mengurusi Komite Olimpiade Indonesia (KOI). Saat itu, dia juga mulai melatih para sukarelawan. Fandi termasuk salah seorang didikannya.
Kini, dalam Asian Games 2018, sebanyak 2.273 sukarelawan berada di bawah koordinasi Fandi. Selama Asian Games berlangsung, Fandi juga bertugas mengurusi transfer uang penggantian bagi para sukarelawan. Penggantian uang ini meliputi Rp 150.000 per hari untuk makan dan Rp 150.000 sebagai pengganti transportasi.
Selain itu, Fandi dan sejumlah kawannya juga bertanggung jawab mengambil keputusan tertentu saat ada sukarelawan yang indisipliner. Ia menyebutnya sebagai ”tindakan penyesuaian.”
Akan tetapi, tugas Fandi sejatinya sudah dimulai sejak empat bulan lalu. Dia jadi pelatih yang bertugas memberi materi latihannya terkait nilai-nilai keolahragaan bagi seluruh sukarelawan yang lolos tahapan seleksi. Materi yang dipaparkan meliputi sejarah Olimpiade, nilai-nilai keolahragaan, ulasan Asian Games, dan tentang kesukarelawanan. Bagi lulusan Universitas Negeri Jakarta ini, materi itu tak asing lagi.
”Karena kita mau berkecimpung di (dunia) olahraga. Maka, akarnya (harus) tahu.”
Akan tetapi, semuanya bukan tanpa tantangan. Salah satu yang terbesar adalah menihilkan orientasi pada uang. Selain itu, Fandi menuturkan, para pelatih juga berupaya menyamakan persepsi tentang definisi sukarela. Dia bahkan harus terus menegaskan bahwa sukarelawan adalah sosok yang kaya.
”Bukan materi, melainkan kaya pengetahuan dan waktu. Karena kita mau memberi, bukan meminta,” ujar Fandi.
Selain itu, tantangan lainnya adalah gegar budaya yang dialami sebagian sukarelawan. Kesenjangan paparan teknologi digital menjadi salah satu latar belakangnya. Proses pengisian formulir digital yang disebarkan secara daring, misalnya, belum diketahui semua sukarelawan.
Tahapan pelatihan
Pusparani pada hari yang sama menuturkan, tahapan pelatihan selanjutnya adalah penyampaian materi umum. Di dalamnya berisi teknik keahlian interpersonal, kemampuan berkomunikasi, etiket, serta materi pariwisata dan kebudayaan.
Setelah semua dilakukan, masih ada tahap pelatihan terakhir. Tahap ini disebut job specific training, meliputi aspek-aspek teknis setiap penugasan.
”(Di bagian) ticketing, misalnya, (tentang) cara berdiri (yang menunjukkan) keramahan, (posisi) bahu badan. Jadi, lebih spesifik,” kata Pusparani.
Hal lain yang juga paling ditekankannya adalah kesempatan yang mungkin hanya sekali seumur hidup untuk terlibat dalam ajang seakbar Asian Games. Sukarelawan juga bisa menunjukkan rasa cinta kepada bangsa. ”(Jangan sampai) Orang asing banyak datang terus kamu (sukarelawan) cuma memikirkan duit,” ujar Pusparani.
Hasilnya terlihat dalam sikap dan perilaku sebagian sukarelawan. Kasmuri (24), asal Tegal, Jawa Tengah, kini fasih bercerita ragam detail teknis sukarelawan Asian Games 2018. Namun, yang paling penting, Kasmuri sadar menjadi sukarelawan lebih dari sekadar beroleh rupiah. ”Saya suka dunia dan orang-orang baru,” ujar Kasmuri.
Menurut Kasmuri, yang sehari-hari juga aktif dalam aktivitas kesukarelawanan, orang-orang baru akan sangat memengaruhi jaringan profesionalnya kelak. Selain itu, menjadi sukarelawan dalam sebuah tim berarti pula berkesempatan mengasah kemampuan dan mengendalikan ego.
Terus belajar
Sekitar 600 kilometer dari Jakarta, Sharifa Diyanti (20) tengah sibuk membantu kelancaran di wisma atlet di Palembang, Selasa (14/8). Berasal dari Jakarta, ia memilih menjadi sukarelawan di Palembang untuk menambah pengalaman hidup.
”Saya juga ingin membantu Indonesia agar penyelenggaraan Asian Games ini lancar,” katanya.
Imam Lukmanul Hakim (23), sukarelawan lapangan sepak takraw dari Medan, juga tidak keberatan meninggalkan kampung halamannya. Demi Indonesia, ia tak keberatan menjadi sukarelawan bagi atlet yang berlaga di Palembang.
Lain lagi dengan Putri Permata Sari (19). Siang itu, dia tengah sibuk membereskan perlengkapan latihan atlet sepak bola putri Korea Selatan di Lapangan Atletik Kompleks Olahraga Jakabaring, Palembang. Menjadi bagian dari sekitar 2.000 sukarelawan di Palembang, Putri bertugas membantu tim Korsel.
Putri tidak sendiri, beberapa sukarelawan Asian Games 2018 turut membantu tim Korsel. Tugasnya mulai dari menjemput, mendampingi, hingga kelak mengantar mereka pulang menuju bandara.
”Saya juga bertanggung jawab mengatur transportasi dari wisma atlet menuju lapangan dan sebaliknya,” kata mahasiswi Fakultas Politik dan Ilmu Komunikasi Universitas Sriwijaya ini.
Putri mengatakan, Asian Games 2018 adalah pengalaman pertamanya menjadi sukarelawan. Modal utamanya kemampuan berbahasa Korea.
”Apabila sebelumnya hanya dipraktikkan menonton drama Korea, sekarang sekaligus berkontribusi untuk bangsa,” katanya bangga.