Emas Penebusan Eko Yuli Irawan
Eko Yuli Irawan (29) berhasil membuktikan bahwa usia bukanlah halangan meraih prestasi. Setelah mengukir sejarah dengan meraih tiga medali pada tiga Olimpiade, Eko merebut emas Asian Games 2018. Tak puas sampai di situ, Eko membidik medali emas Olimpiade Tokyo 2020. Diperlukan dukungan konkret pemerintah untuk mengantarnya mencapai puncak prestasi.
Bagi Eko Yuli, medali emas Asian Games merupakan penantian selama lebih dari delapan tahun. Tampil perdana di Guangzhou 2010, Eko mengemas perunggu. Demikian juga di Incheon 2014, dirinya hanya bisa menapak pada podium peringkat ketiga kompetisi. Barulah di hadapan publik Indonesia, termasuk Presiden Joko Widodo yang menyaksikan langsung di Hall A JIExpo, Kemayoran, Jakarta Pusat, Selasa (21/8/2018), Eko Yuli menunjukkan diri sebagai lifter terbaik Asia.
Keberhasilan Eko menjadi pemuas dahaga tim angkat besi yang rindu akan medali emas. Sepanjang keikutsertaan dalam Asian Games sejak 1962, Indonesia baru mengoleksi 7 perak dan 15 perunggu. Di tingkat Olimpiade, Indonesia selalu menyumbang medali sejak Sydney 2000. Namun, selama ini medali emas selalu lepas dari genggaman.
Sepekan menjelang pembukaan Asian Games, Ketua Umum PB Pabbsi Rosan Perkasa Roeslani mengatakan, keberhasilan tim “Merah Putih” di pesta olahraga antar negara se-Asia akan menjadi jalan tradisi emas angkat besi pada Olimpiade. “Saya katakan kepada atlet, bahwa kita harus membuktikan persiapan dan pengorbanan selama bertahun-tahun berbuah medali emas. Dari penampilan di Asian Games, pelatnas akan terus berlanjut hingga Olimpiade 2020,” ujar Rosan.
Setelah Asian Games, kemampuan Eko akan diuji pertama-tama pada Kejuaraan Angkat Besi Dunia, yang merupakan ajang kualifikasi Olimpiade, di Ashgabat, Turkmenistan, 1-10 November. Berbeda dengan Olimpiade sebelumnya yang memakai sistem kualifikasi kelompok, Federasi Angkat Besi Internasional (IWF) memberlakukan kualifikasi individu untuk Tokyo 2020.
Eko menuturkan, dirinya berharap ada dukungan nyata pemerintah untuk mengantarnya menuju Olimpiade 2020. “Kami harap ada perhatian lebih serius dari pemerintah untuk atlet angkat besi, terutama terkait nutrisi. Dengan usia tak lagi muda, menurunkan berat badan tidaklah mudah. Perlu penanganan serius untuk nutrisi dan pemulihan tubuh untuk mengantisipasi cedera,” kata Eko usai upacara pengalungan medali.
Perjalanan Eko Yuli untuk meraih medali emas Asian Games tidak mudah. Dirinya sempat dirawat di RS karena sakit tifus. Sakit membuat Eko terpaksa absen dari pelatnas angkat besi selama sebulan pada Februari lalu. Ketika itu, banyak pihak yang sanksi Eko bisa segera pulih dan angkatannya bisa segera kembali seperti semula.
Belum sembuh dari sakit, Eko menelan kabar buruk bahwa kategori 62 kg dicoret dari Asian Games. Pencoretan itu dilakukan menyusul adanya keputusan IWF yang menyatakan bahwa pembagian kategori lomba angkat besi berkurang dari delapan kategori putra dan tujuh putri, menjadi tujuh kategori putra dan tujuh putri.
Dengan pencoretan kelas itu, sempat ada pertimbangan untuk memainkan Eko pada kelas yang lebih tinggi, yaitu 69 kg. Eko sempat mengatakan bermain di kelas 69 kg lebih masuk akal ketimbang turun kelas ke 56 kg. “Saya pribadi lebih nyaman bermain di kelas 62 kg. Kesempatan meraih emas juga lebih terbuka. Tetapi, kalau tidak bisa, apa boleh buat,” kata Eko, ketika itu.
Selama ini, menurunkan berat memang menjadi kendala Eko ketika ingin tampil pada kejuaraan. Jangankan turun kelas ke 56 kg, untuk memastikan masuk kategori lomba 62 kg saja Eko harus menjalani diet ketat. Diet yang terlalu ektrem juga dikhawatikan akan mengurangi kekuatan.
Medali ini merupakan penebusan saya kepada semua pihak yang sudah memperjuangkan agar kelas andalan Indonesia bisa dimainkan
Penghapusan kelas andalan Indonesia membuat Kemenpora, Panitia Pelaksana Asian Games Indonesia (Inasgoc), Komite Olimpiade Indonesia (KOI), dan PB PABBSI kebakaran jenggot. Setelah melobi Dewan Olimpiade Asia (0CA), Federasi Angkat Besi Asia (AWF), dan Federasi Angkat Besi Internasional (IWF), akhirnya kelas 62 kg kembali dimainkan pada Asian Games.
Kemarin, setelah dipastikan meraih medali emas Asian Games, Eko mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang sudah mengupayakan agar kelas 62 kg tetap dimainkan di Asian Games. “Medali ini merupakan penebusan saya kepada semua pihak yang sudah memperjuangkan agar kelas andalan Indonesia bisa dimainkan. Setelah ini saya harus fokus ke Olimpiade,” ujar lifter yang juga mengucapkan terima kasih kepada teman dan keluarga, terutama istrinya, Masitoh, yang sebentar lagi akan melahirkan anak kedua.
Dengan kemenangan ini, Eko telah menebus kekalahannya dari Trinh Van Vinh di SEA Games Kuala Lumpur 2017. Lifter Vietnam, yang ketika itu tampil sebagai lifter non-unggulan, secara mengejutkan menyalip jumlah angkatan Eko dan meraih medali emas dengan selisih angkatan hanya 1 kg. Van Vinh berjaya dengan jumlah angkatan total 307 kg, sementara Eko yang melakukan angkatan 306 kg di peringkat kedua dan meraih perak. Padahal, pada empat penyelenggaraan SEA Games sebelumnya, Eko Yuli selalu mengantongi medali emas.
Keyakinan
Keyakinan Eko untuk meraih medali emas Asian Games 2018 sudah terlihat ketika Kompas menemui lifter itu di ruang istirahat atlet, dua jam sebelum kompetisi dimulai pukul 14.00. Wajah Eko ceria dan terlihat relaks.
Eko menuturkan, dirinya bangun sebelum matahari terbit. Setelah shalat subuh, dia menimbang berat badan. Eko gembira karena berat badannya pagi itu pas 62 kg. Eko kemudian melewatkan sarapan pagi agar berat badannya tidak bertambah. Dia juga tidak menegak setetes pun air minum.
Pukul 12.00, atau dua jam menjelang kompetisi, Eko dan peserta lain kemudian menimbang berat badan. Setelah itu, Eko baru menikmati makan siang yang terdiri dari karbohidrat dan protein. Dia juga menyantap buah apel, pisang, coklat, dan minuman nutrisi.
Kondisi ini jauh berbeda ketika Eko tampil pada sejumlah kejuaraan internasional sebelumnya. Biasanya, pada malam dan pagi menjelang kompetisi, Eko masih harus diet dan sauna demi menurunkan berat badan.
Sebelum kejuaraan saya tanya ke Mas Eko apakah berat badannya sudah turun, apakah Eko lemas karena setiap hari sauna berjam-jam
Sulitnya menurunkan berat badan seringkali membuat istri Eko, Masitoh, was-was. “Sebelum kejuaraan saya tanya ke Mas Eko apakah berat badannya sudah turun, apakah Eko lemas karena setiap hari sauna berjam-jam,” katanya, sepekan sebelum Asian Games.
Pelatih kepala dan manajer tim angkat besi Indonesia Dirdja Wihardja mengatakan, dengan membuat seleksi nasional sebulan sebelum kompetisi, dirinya berusaha memastikan agar berat badan atlet masuk kategori lomba sejak jauh-jauh hari. “Kami tidak ingin atlet harus menghadapi tekanan menurunkan berat badan menjelang lomba. Hal itu bisa mempengaruhi fokus,” ujar Dirdja.
Eko meraih medali emas Asian Games setelah berhasil membukukan jumlah angkatan total 311 kg (snatch 141 kg, clean and jerk 170 kg). Lifter Vietnam, Trinh Van Vinh meraih perak dengan angkatan total 299 kg (snatch 133 kg, clean and jerk 166 kg). Adkhamjon Ergashev dari Uzbekistan merebut perunggu setelah mengukir total angkatan 298 kg (snatch 136 kg, clean and jerk 162 kg).
Persaingan Eko dengan Van Vinh sebenarnya sudah terbaca sejak awal lomba ketika kedua lifter dipastikan bermain pada Grup A. Pembagian grup ditentukan dengan mendaftarkan jumlah angkatan total kepada dewan juri ketika rapat teknis berlangsung, Minggu (19/8/2018) sore.
Tampil relaks, percaya diri, dengan teknik sempurna, Eko dapat tampil mendominasi di panggung angkat besi. Pada angkatan snatch, Eko menjadi yang terkuat dengan mengangkat beban seberat 141 kg. Jumlah angkatan Eko lebih berat 8 kg dari Van Vinh.
Begitu dewan juri menyatakan angkatan benar, Eko langsung membanting barbel. Selanjutnya, dia melambaikan tangan ke arah penonton, seperti Manajer Kompetisi Angkat Besi Alamsyah Wijaya dan Anggota Komite Penelitian dan Pelatihan Federasi Angkat Besi Internasional, Aveenash Pandoo, yang pernah menanganinya di Olimpiade Rio de Janeiro 2016.
Tertinggal pada angkatan snatch, membuat Van Vinh ngotot membayar pada jenis angkatan clean and jerk. Dia menaikkan jumlah beban ekstrem sebanyak 13 kg, dari 166 kg menjadi 179 kg. Namun, tangan lifter Vietnam terpelintir ketika menggengam batang besi sehingga beban terjatuh.
Dirdja mengatakan, dirinya sudah memperhitungkan bahwa lifter Vietnam tak akan mungkin dapat mengangkat beban lebih dari 170 kg. “Kami sudah memperkirakan kekuatan terakhir Vietnam mengangkat beban 172 kg (pada SEA Games 2017). Itu pun dilakukan dengan gambling. Jadi, kami yakin Eko bisa tampil lebih unggul,” kata Dirdja.
Setelah dinyatakan meraih emas, Eko Yuli bersorak. Wajahnya basah dengan air mata bahagia. Dirdja, beserta pelatih Muljianto, Erwin Abdullah, Rusli, Zulkarnaen dan Supeni, menghamburkan pelukan ke tubuh Eko. “Akhirnya kita dapat emas,” kata Eko.
Namun, Eko Yuli Irawan tidak larut dalam kegembiraan. Setelah perlombaan usai, dirinya justru menghampiri dan menepuk pundak Trinh van Vinh, rival terberatnya, yang sedang duduk lesu karena kecewa. Di balik kemegahan panggung angkat besi, keduanya pun saling berpelukkan.
Eko mengatakan dirinya tidak menaruh perasaan dendam meski lawan pernah mengalahkannya di SEA Games 2017. “Di atas panggung, kami lawan. Tetapi di bawah, kami teman,” kata Eko.
Sejatinya, Eko sedang menunjukkan sikap sebagai juara sejati melalui dedikasi, integritas, kerja keras, juga penghargaan kepada siapa pun lawan yang dihadapi. Selamat, Eko!
EKO YULI IRAWAN
♦ Lahir: Metro, Lampung, 24 Juli 1989
♦ Orangtua: Salman (ayah), Wastinah (ibu)
♦ Istri: Masitoh
♦ Anak: Naycilla Salsabila Irawan (4)
♦ Prestasi:
- Medali emas SEA Games 2007 (56 kg), 2009, 2011, 2013 (62 kg)
- Medali perunggu Asian Games 2010, 2014 (62 kg)
- Medali perunggu Olimpiade 2008 (56 kg)
- Medali perunggu Olimpiade 2012 (62kg)
- Medali perak Olimpiade 2016 (62 kg)
- Juara dunia yunior 2007 (56 kg)
- Medali perak Kejuaraan Dunia 2009 (62 kg)
- Medali perunggu Kejuaraan Dunia 2011 (62 kg)
- Medali perak Kejuaraan Dunia 2014 (62 kg)
- Medali perak SEA Games 2017 (62 kg)
- Medali emas Asian Games 2018 (62 kg)