Sukacita meledak saat petembak Muhammad Sejahtera Dwi Putra jadi terbaik kedua di nomor 10 meter running target campuran putra Asian Games 2018 di Arena Menembak Jakabaring, Palembang, Sumatera Selatan, Sabtu (25/8/2018). Total nilainya 380 atau hanya kalah tipis dari peraih emas asal Korea Utara, Pak Myong-Won (384).
Putra yang menyepi di kamar tunggu dipanggil keluar. Gugup hingga muntah sebelum laga final dimulai tak dirasakanya lagi. Bersama manajer, pelatih, dan atlet menembak nasional lainnya, ia merayakan kemenangan langka itu.
Melewatkan 17 laga final sebelumnya, medali perak itu ibarat emas bagi Indonesia. Kegembiraan itu sudah terlalu lama hilang dari menembak. Terakhir, hal serupa terjadi 52 tahun lalu di Asian Games Bangkok 1966. Saat itu, Elias Joseph Lessy meraih perunggu di nomor 10 meter air rifle.
”Ini adalah medali yang sudah kita tunggu-tunggu sejak puluhan tahun lalu,” ujar manajer menembak Indonesia Asian Games 2018, Sarozawato Zai.
Butuh perhatian
Zai mengatakan, sekeping perak itu menjadi bukti atlet nasional bisa berprestasi. Dia mengatakan, andai pemerintah memberi dukungan lebih ideal, prestasi tim menembak bakal jauh lebih baik. ”Sudah sewajarnya menembak jadi prioritas pemerintah. Cabang ini jadi lumbung medali di setiap ajang multicabang. Di Asian Games 2018, ada 20 medali yang dipertandingkan,” katanya.
Sebagai atlet, Putra jelas mengharapkan dukungan itu. Dia mencontohkan, tempat latihan nomor 10 meter running target hanya ada di Senayan (Jakarta) dan Jakabaring. Bila hal ini terus terjadi, sulit memupuk keahlian atau menempa bakat baru dari berbagai daerah.
Tak hanya sarana yang butuh dukungan. Pengalaman berlaga dengan lawan-lawan tangguh juga kelak berpengaruh menempa mental petembak. Bukan hanya menundukkan lawan, tetapi juga menempa kemampuan mengalahkan diri sendiri.
Pelatih 10 meter air rifle Darmawan Budiman mengutarakan, kesempatan uji tanding internasional masih minim. Jelang Asian Games 2018, atlet-atlet menembak Indonesia hanya dapat kesempatan ikut dua kali kejuaraan internasional. Padahal, atlet dari negara jagoan menembak, China, Taiwan, dan Korut, bisa hampir setiap bulan ikut kejuaraan internasional.
Tidak ada kata terlambat bila Indonesia mau memulainya. Pengalaman Taiwan bisa jadi guru yang baik. Presiden Asosiasi Menembak Taiwan Shyhkwei Chen menyampaikan, menembak bukan olahraga favorit di negaranya. Menembak kalah tenar dibandingkan sofbol, basket, dan bulu tangkis. Namun, bukan berarti menembak dilupakan. Olahraga ini sudah dikenalkan sejak sekolah dasar. Pengalaman dasar itu ditempa lagi lewat klub menembak di jenjang sekolah yang lebih tinggi. ”Kami juga punya standar persaingan tinggi di pelatnas. Hanya yang punya kemampuan terbaik yang bisa ikut kejuaraan internasional,” kata Chen. Bila melakukan hal serupa, mungkin kita tak perlu menunggu 52 tahun kedua untuk merayakan pesta mendapat medali terjadi lagi. (ADRIAN FAJRIANSYAH)