Membidik Bibit Masa Depan
Anak panah tim panahan mungkin belum melesat sempurna di Asian Games 2018. Namun, banyak hal bisa menjadi pelajaran di masa depan. Target medali di Olimpiade bakal jadi ujian sejati.
”Anda tidak akan bisa menang sebelum belajar kalah”
(Kareem Abdul Jabbar, olahragawan besar Amerika).
Kata-kata mutiara itu mungkin bisa direfleksikan tim panahan Indonesia di Asian Games 2018. Kali ini, bertarung di tanah sendiri, panahan nirmedali emas.
Kekecewaan itu kian menjadi karena pemanah andalan, Diananda Choirunisa (21), kalah dari pemanah non-unggulan, Zhang Xinyan. Zhang adalah pendatang baru yang target awalnya hanya finis delapan besar di Asian Games kali ini.
Akan tetapi, semuanya bisa terjadi dalam pertandingan. Grogi hingga terlalu percaya diri bisa membuat bidikan pemanah mana saja mudah meleset. Selaiknya cabang akurasi Olimpiade lainnya, tidak ada medali yang instan di panahan.
Akan tetapi, meski tak membawa pulang emas, bukan berarti kerja keras Diananda pantas dilupakan.
Dalam senyap, prestasinya melebihi harapan. Perjalanannya ke final tak mudah. Persiapan panjang yang ia siapkan jauh hari sebelumnya tetap menorehkan prestasi dan memunculkan harapan besar.
Kebangkitan
Pemanah nomor satu dunia sekaligus peraih emas Olimpiade Rio de Janiero 2016 asal Korea Selatan, Chang Hye-jin, sudah merasakan keandalan bidikan Diananda.
Chang dikalahkan Diananda di perempat final. Media-media Korsel bahkan melabeli kekalahan Chang sebagai kejutan dan kehancuran terbesar panahan recurve individu putri Korsel di Asian Games.
Untuk pertama kalinya sepanjang sejarah panahan di Asian Games, yang mulai ditandingkan tahun 1978, Korsel gagal meraih medali di nomor itu.
Indonesia juga merasakan manis perak yang direbut Diananda. Ditambah perunggu dari Riau Ega Agatha, Indonesia mencetak capaian tertinggi sepanjang sejarah di Asian Games. Pada lima edisi Asian Games sebelumnya, panahan Indonesia tak diperhitungkan karena selalu gagal meraih medali.
Oleh karena itu, meski tanpa emas, Diananda dan Ega tak perlu menangis. Perjuangan mereka bisa menjadi momentum kebangkitan prestasi panahan Indonesia.
Pengurus Pusat Persatuan Panahan Indonesia (Perpani) juga harus membuka lembaran baru dan berani mematok target medali di Olimpiade Tokyo 2020. Telah genap 30 tahun panahan tak melesat menyumbang medali di ajang itu.
Dengan pembinaan terencana, Diananda dan Ega bukan tidak mungkin berprestasi di Jepang. Mereka berpengalaman mengalahkan jawara dunia. Pergantian pengurus dan jajaran PP Perpani, yang diagendakan akhir September ini, juga berpotensi membawa panahan Indonesia lebih baik. Perpani butuh figur-figur baru yang kreatif, punya koneksi internasional, dan peduli dengan olahraga Indonesia.
Pihak ketiga
Kriteria itu sangat penting, terutama jika benar Perpani bakal mendapatkan ”sanksi” dari pemerintah berupa pemangkasan anggaran karena gagal meraih emas di Asian Games 2018. Induk olahraga bakal lebih terpacu mengejar target prestasi, tidak lagi sekadar menghabiskan duit negara.
Di sisi lain, Perpani dapat memanfaatkan meroketnya popularitas panahan di Tanah Air. Harapannya, bibit muda terus bermunculan. Selain itu, sumber dana pihak ketiga untuk uji coba tanding dan pemusatan latihan di luar negeri bisa dipenuhi.
Dalam hal ini, Perpani patut meniru Persatuan Bulutangkis Seluruh Indonesia, Persatuan Atletik Seluruh Indonesia, dan Federasi Panjat Tebing Indonesia yang gencar menggandeng sponsor. Jika itu semua diwujudkan, kekalahan Diananda di final bukan lagi kegagalan. Kekalahannya jadi tolok ukur keberhasilan masa depan. Seperti dikatakan Kareem, masa lalu bisa jadi batu loncatan menuju target lebih besar bagi panahan Indonesia. (Yulvianus Harjono)