Para Penjaga Keselamatan Atlet
Dalam setiap penyelenggaraan kompetisi olahraga, tim medis menjadi perangkat yang vital. Keberadaan mereka, termasuk di Asian Games 2018, tak hanya menjamin keselamatan atlet, tetapi juga anggota Dewan Olimpiade Asia, panitia, awak media, dan penonton.
Sekitar 1.800 tenaga kesehatan menjadi bagian dari Asian Games kali ini. Mereka terdiri atas dokter spesialis gawat darurat, dokter spesialis olahraga, dokter umum, fisioterapis, perawat, dan sopir mobil ambulans.
Selain berjaga di setiap tempat pertandingan, mereka juga bertugas di pusat layanan medis atau medical center. Di Jakarta, pusat pelayanan medis ada di area Pintu 3 Gelora Bung Karno di Senayan, serta Wisma Atlet Kemayoran. Selain menyediakan kamar perawatan, peralatan medis, dan obat-obatan, tempat ini juga menjadi pusat koordinasi dengan petugas yang tersebar di tempat pertandingan.
Pusat pelayanan medis ini dipimpin dokter spesialis gawat darurat, salah satunya Tri Maharani yang menjadi koordinator di Pintu 3. Dokter yang menjadi Kepala Unit Gawat Darurat Rumah Sakit Daha Husada, Kediri, Jawa Timur, ini bertugas di pusat pelayanan medis pukul 07.00 hingga 24.00.
”Kami harus siap sejak pagi sampai malam karena tak hanya melayani atlet, tetapi semua orang yang terlibat di sini. Pernah ada petugas keamanan yang pingsan pagi-pagi karena belum makan. Saat upacara pembukaan, banyak penonton yang dehidrasi karena tidak boleh membawa minum. Itu tugas kami juga untuk membantu mereka,” papar Maharani, Kamis (23/8/2018) siang.
Selain atlet yang mengalami cedera, beragam situasi pernah dihadapi tim medis Asian Games. Situasi itu antara lain adalah orang pingsan, panitia yang tangannya bengkak akibat gigitan serangga, atlet yang diare, dan atlet yang mengalami psikosomatis karena tidak bisa menanggung beban saat berkompetisi.
Meski ditemui saat istirahat makan siang, Maharani tetap memantau situasi melalui radio komunikasi (HT). Terdengar laporan seorang ofisial yang mengalami nyeri lengan. Ada pula permintaan ambulans untuk penonton yang pingsan di Istora.
”Saat ada kejadian, dokter di setiap arena yang terlebih dulu menangani. Kalau kasusnya termasuk gawat darurat dan cedera, saya langsung mendatangi dan memutuskan tindakan selanjutnya, dirujuk ke rumah sakit atau tidak. Kalau hanya gawat dan bukan cedera, bisa ditangani dokter di arena atau dibawa ke medical center,” tuturnya.
Dokter yang menjadi spesialis gawat darurat di Universitas Brawijaya, Malang, ini menjelaskan, gawat darurat adalah kondisi ketika nyawa pasien terancam. Tiga kondisi utama yang menjadi perhatian adalah pernapasan, jalan pernapasan, dan pendarahan. Ada pula situasi gawat, tetapi tidak darurat. Ini adalah kondisi jika tidak ada gangguan pada ketiga hal di atas.
”Sejauh ini, tidak ada kondisi gawat darurat di Senayan,” kata Maharani.
Tantangan di Asian Games
Petugas medis yang bertugas di ajang Asian Games memiliki tantangan tersendiri, terutama karena mereka harus memberi pelayanan terbaik bagi olahragawan yang merupakan aset terbaik negara masing-masing. Itu menjadi tidak mudah saat ada atlet dan ofisial yang tidak menaruh kepercayaan kepada mereka.
Maharani bercerita saat menangani atlet Korea Selatan yang sakit karena memiliki riwayat darah tinggi. ”Saat dibawa ke medical center, kondisinya sebenarnya sudah membaik, tetapi mereka meminta dirujuk ke rumah sakit tertentu. Dokter yang menangani atlet itu sampai menelepon saya dari Korea minta dirujuk. Setelah saya katakan bahwa saya ada spesialis gawat darurat dan menjelaskan kondisi atlet, dokternya meminta maaf,” tutur Maharani.
Tantangan lainnya, saat para petugas medis tidak dapat berkomunikasi dengan atlet atau ofisial karena kendala bahasa. Ada atlet yang tidak bisa berbahasa Inggris. Namun, dengan memperlihatkan sikap ingin membantu, kendala bahasa itu bisa ditangani.
Ada pula atlet yang dipaksakan bertanding oleh pelatihnya meski kondisinya tidak memungkinkan. ”Kami harus meyakinkan pelatihnya. Mereka akhirnya menerima penjelasan kami meski kecewa atletnya tak bisa tampil,” ujar Maharani.
Menurut Maharani, Asian Games ini sekaligus menjadi ajang bagus untuk mengukur kemampuan masing-masing anggota tim medis, apakah kemampuan mereka sudah berlevel internasional atau belum.
Kesigapan DKI
Sebagai tuan rumah penyelenggaraan Asian Games, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta melalui dinas kesehatannya juga tidak ketinggalan bersiaga penuh. Sebanyak 688 dokter dan perawat di wilayah DKI turut bertugas di Asian Games. Selain itu, 28 rumah sakit di bawah Kementerian Kesehatan dan Pemprov DKI Jakarta ditugasi sebagai rumah sakit rujukan.
Erizon Safari, Ketua Tim Ad Hoc bidang Kesehatan Dinas Kesehatan DKI Jakarta untuk Asian Games 2018, menjelaskan, pihaknya bertugas menyiapkan fasilitas pendukung, seperti rumah sakit rujukan dan ambulans operasional, menjamin keamanan pangan, menyiapkan laboratorium untuk doping, memantau dan mengendalikan vektor penyakit di wisma atlet dan arena, serta menyiapkan obat-obatan.
Para petugas medis menjalani pelatihan khusus sebelum bertugas di Asian Games. ”Mereka menangani atlet bukan hanya sebagai manusia, melainkan juga sebagai aset negaranya. Jadi, memang pendekatannya berbeda,” ujar Erizon.
Dengan menurunkan 688 dokter dan perawat, artinya hampir seluruh dokter dan perawat di DKI ikut bertugas. Karena itu, Dinas Kesehatan Pemprov DKI Jakarta harus memiliki perencanaan detail tentang pengaturan petugas di puskesmas dan rumah sakit, ataupun yang ditugaskan di arena dan wisma atlet.
Hal lain yang tidak kalah pelik adalah penempatan ambulans di arena-arena dan wisma atlet. Pemprov DKI Jakarta diminta menyiapkan 100 ambulans, sedangkan yang tersedia hanya 59 ambulans dan tambahan bantuan 15 ambulans dari Kemenerian Kesehatan. Ambulans itu harus disiagakan dan diatur sesuai jadwal pertandingan dan latihan cabang olahraga.