Rifki Ardiansyah, Karateka Muda Penakluk Raksasa
Rifki Ardiansyah Arrosyiid tetap tenang saat ajakannya untuk berjabat tangan dan berangkulan seusai laga final kumite kelas -60 kilogram Asian Games 2018 ditolak oleh karateka Iran Amir Mahdizadeh, Minggu (26/8/2018) di Jakarta. Rifki memilih mengibarkan bendera Merah Putih, menyapa para pendukungnya, dan meninggalkan Mahdizadeh yang duduk di atas matras tatami sambil marah-marah.
Mahdizadeh yang merupakan juara dunia dua kali, pada 2012 dan 2016, tidak bisa menerima kenyataan dirinya baru saja dikalahkan oleh karateka muda berusia 20 tahun yang belum memiliki nama di dunia karate internasional. Apalagi, Mahdizadeh juga merupakan peraih emas pada kelas yang sama pada Asian Games 2014 Incheon, dan peraih emas pada Kejuaraan Asia 2015 dan 2017.
Sebagai karateka, Mahdizadeh dianggap raksasa pada kelasnya. Bukan karena jangkuan tangan dan kakinya yang memang lebih panjang dari Rifki, melainkan karena tekniknya yang tinggi, taktiknya yang bervariasi, dan mentalnya yang tangguh. Dengan semua kemampuan itu, ia sempat menjatuhkan Rifki dan mendapat nilai ippon (tiga poin), serta mendapat nilai waza-ari (dua poin) dengan menendang ke badan Rifki.
Namun, semua itu tidak cukup untuk mengalahkan Rifki, karateka asal Surabaya. Sepanjang laga, Rifki melawan dengan sengit. Ia tidak gentar pada nama besar Mahdizadeh. Berkali-kali mendaratkan pukulan ke tubuh dan kepala Mahdizadeh. Rifki sangat cerdik memilih momen serangan sehingga dapat memukul dengan cepat dan tepat ke arah bagian tubuh lawan yang terbuka.
Riuhnya dukungan penonton membuat saya percaya diri dan berani menghadapi Mahdizadeh yang merupakan juara dunia
“Saya bersikap tenang dan berpikir dengan cepat untuk menentukan kapan dan di mana saya harus menyerang. Riuhnya dukungan penonton membuat saya percaya diri dan berani menghadapi Mahdizadeh yang merupakan juara dunia,” kata Rifki.
Keberhasilan Rifki meraih medali emas Asian Games 2018 itu mengejutkan semua pihak. Bukan hanya pihak Iran yang terkejut. Para pelatih, pengurus Federasi Olahraga Karate-Do Indonesia, dan para mantan atlet karate juga terkejut. Apalagi keberhasilan Rifki ini sekaligus mengakhiri paceklik medali emas dari cabang karate sejak dua windu lalu di ajang Asian Games. Terakhir kali karateka Indonesia meraih emas pada 2002 lewat Hasan Basri (65 kg).
Rifki sebenarnya tidak ditargetkan meraih medali emas pada penampilan perdananya di Asian Games 2018. Ia hanya diharapkan memetik pengalaman bertarung di tingkat Asia.
“Rifki memiliki dua kualitas untuk menjadi juara. Dia sangat tenang dan cerdik. Dia tidak takut menghadapi siapa pun dan tahu apa yang harus dilakukan untuk menghadapi lawannya,” kata Hasan Basri, karateka peraih medali emas pada Asian Games 2002.
Rajin belajar
Ketenangan adalah kualitas yang dimiliki Rifki setelah mengikuti banyak turnamen dan menghadapi berbagai situasi laga yang tidak menguntungkan. Sedangkan, kecerdikan didapat Rifki dari berbagai aspek kehidupan lain, selain karate.
Ibunda Rifki, Dwi Harni Rochani menceritakan, putranya adalah seorang anak yang rajin belajar. Meskipun sibuk berlatih karate, Rifki tetap menjadi juara satu saat berada di SMP dan di SMA.
Rifki juga mengasah otaknya dengan bermain catur. Meskipun tidak pernah mengikuti turnamen resmi, Rifki jarang sekali kalah dalam permainan catur melawan rekan-rekannya dan para pelatihnya di pelatnas.
Saya belajar sabar dan belajar memetakan taktik lawan dan menyusun taktik yang tepat untuk melawannya. Saya juga belajar menentukan momen serangan dari catur
“Saya belajar sabar dan belajar memetakan taktik lawan dan menyusun taktik yang tepat untuk melawannya. Saya juga belajar menentukan momen serangan dari catur,” kata Rifki.
Rifki mulai belajar karate pada usia enam tahun pada ekstrakurikuler di sekolahnya. Karate memikat hati Rifki sehingga dia berlatih dengan lebih keras dan dipercaya gurunya untuk mulai ikut turnamen pada skala lokal di usia sembilan tahun.
Karateka berusia 20 tahun itu tidak langsung menjadi pemenang. Dia lebih sering kalah dan menderita cedera ringan, tetapi Rifki menolak untuk menyerah.
Rifki terus mengikuti berbagai kejuaraan dan mulai menjadi juara. Mentalnya terus terasah melalui turnamen demi turnamen. Setelah menjadi juara di tingkat Surabaya, prestasi Rifki menanjak dengan menjuarai turnamen di tingkat Jawa Timur, dan terus menanjak di tingkat nasional, pada akhir SD dan awal SMP.
Pada saat SMP, Rifki pernah diajak Hermawan Sulistiyo, pengamat politik yang juga pengurus INKAI saat itu, untuk mengikuti turnamen di Singapura dan Malaysia. Bakatnya sebagai penakluk raksasa terlihat pada era itu. Meskipun badannya paling kecil di antara lawan-lawannya, Rifki justru tampil sebagai juara.
Wajah saya babak belur karena saya yang paling kecil dan kalah jangkauan kaki dan tangan, tetapi saya pulang sebagai juara
“Wajah saya babak belur karena saya yang paling kecil dan kalah jangkauan kaki dan tangan, tetapi saya pulang sebagai juara. Saya tidak kapok dan tidak trauma karena saya suka karate. Luka bisa diobati dan saya selalu siap bertarung terus setiap turnamen,” kata Rifki.
Keberanian, akurasi serangan, kecerdikan memilih momen serangan, dan ketenangan yang dimiliki Rifki terbentuk melalui banyak pertandingan yang dilaluinya. Ia belajar bahwa semua musuh memiliki kelemahan yang dapat dimanfaatkan untuk mengalahkannya. Hal itu yang membuat Rifki meraih prestasi demi prestasi.
Berbagai prestasi yang diraih Rifki membuat para pelatih tim nasional karate tertarik untuk memperhatikannya lebih serius dan akhirnya menariknya ke pelatnas kadet pada saat Rifki berada di kelas 3 SMP. Di pelatnas, Rifki banyak belajar soal teknik, taktik, mental, dan hal-hal nonteknis dari pelatih dan para karateka senior.
Berbagai ilmu yang dia dapatkan dipraktikkan di lapangan sehingga Rifki semakin matang. Prestasinya menanjak pada 2016 saat dia menjadi juara di Piala KSAD di Jambi. Pada ajang itu, Rifki mengalahkan beberapa atlet yang lebih senior dan membuat dirinya lebih diperhatikan oleh para pengurus FORKI.
Menjadi tentara
Untuk melancarkan kariernya sebagai atlet karate, Rifki yang sudah diterima untuk kuliah di Teknik Sipil Universitas Gajah Mada, pindah menjadi tentara. Rifki bergabung dengan Kodam V Brawijaya bidang pembinaan jasmani, dengan pangkat sersan dua. Sebagai tentara, Rifki lebih mudah mendapat izin untuk berlatih karate.
Kemampuan Rifki kembali diuji oleh pengurus FORKI pada Piala Mendagri 2017 dan SEAKF U-21 2017. Pada ajang tingkat tingkat nasional dan tingkat Asia Tenggara ini pun, Rifki kembali menjadi juara mengalahkan karateka yang lebih berpengalaman.
Menjelang SEA Games 2017, Rifki tampil sebagai juara seleksi nasional tim SEA Games menaklukkan para seniornya. Namun, karena ada karateka senior di kelasnya, Rifki hanya dimainkan pada nomor kumite beregu, bukan pada kumite perseorangan. Pada nomor kumite beregu, Rifki dan rekan-rekannya merebut medali perunggu.
Menjelang Asian Games 2018, Rifki kembali mengalahkan para karateka senior untuk menjuarai Seleksi Nasional Asian Games 2018. Kemampuan itu membuatnya dipercaya untuk bertarung pada kelas -60 kg. Rifki menjawab kepercayaan itu dengan mengalahkan semua atlet yang lebih senior dan berpengalaman dan merebut medali emas.
“Keinginan saya adalah menembus Olimpiade 2020 dan saya berharap dapat merebut medali bagi Indonesia,” kata Rifki.
Rifki Ardiansyah Arrosyiid
Lahir: Surabaya, 24 Des 1997
Orangtua: Surya Kencana (ayah), Dwi Harni Rochani (ibu)
Pendidikan:
- SD Widodaren Surabaya lulus 2010
- SMPN 4 Surabaya (2014)
- SMAN 7 Surabaya (2016)
Pekerjaan:
TNI Angkatan Darat dengan pangkat Sersan Dua
Prestasi
- Juara Piala KSAD Jambi 2016
- Juara SEAKF U21 2017
- Juara Seleknas 2017 Team SEA Games
- Medali perunggu kumite beregu putra SEA Games 2017
- Juara Antar Master 2017
- Juara Seleknas 2018
- Juara Seleknas Asian Games
- Medali Emas Asian Games 2018 kelas -60 kg