Sampai awal tahun ini, peluh Yudha Tri Aditya (28) masih mengucur di balik kostum boneka dan riasan menor saat tampil menjadi badut di salah satu taman hiburan Kota Bandung, Jawa Barat. Pada Kamis (30/8/2018), hidupnya berubah. Dia menjadi pionir pesenam trampolin profesional Indonesia di Asian Games.
”Ini adalah impian almarhum ayah. Dia ingin melihat saya menjadi atlet dan berjuang untuk Indonesia,” kata Yudha, seusai menyelesaikan babak kualifikasi trampolin di Arena Senam JIExpo Kemayoran, Jakarta, Kamis.
Suaranya bergetar ketika menceritakan perjalanan panjang menggapai cita-cita ayah, yang meninggal saat Yudha berusia tiga tahun. Berat dan penuh jalan terjal.
Menekuni senam sejak lama, prestasi seperti enggan datang. Sekadar juara di ajang pekan olahraga nasional pun Yudha tidak mampu. Yudha lantas berpikiran realistis. Sulit mendapat medali, ia pilih bekerja di arena sirkus taman hiburan memakai kostum dan riasan badut. Mental sempat ambruk. Yudha malu bekerja menjadi badut.
”Sedih sekali, terutama saat ada atlet-atlet main ke tempat kerja saya. Di sana, saya pakai kostum badut untuk menjaga wahana,” katanya, di antara air mata yang terus mengucur.
Akan tetapi, riasan dan kostum itu juga yang menjadikannya atlet serta manusia yang lebih baik. Proses itu menempa dan membangkitkan rasa percaya diri Yudha untuk meraih yang diinginkan.
Hingga akhirnya jalannya perlahan terang. Pada April 2018, Pengurus Besar Persatuan Senam Indonesia menggelar seleksi atlet senam untuk masuk tim pelatnas trampolin. Di luar dugaan, Yudha terpilih bersama Dimas Sindu Aji Kurnia Putra dan berhak mengikuti pelatihan nasional.
Lebih fokus
Sejauh ini, baik Yudha maupun Dimas memang belum bisa bersaing dengan atlet Asia lainnya. Mereka tidak lolos babak final trampolin. Yudha hanya mendapat nilai 61,700 dan Dimas meraih 48,320 dari dua percobaan. Nilai itu sangat jauh dari peringkat pertama asal China, Dong Dong, (109,345).
Pelatih trampolin Indonesia asal Kanada, Greg Roe, mengatakan, kedua anak asuhnya sudah melakukan yang terbaik. Nilai yang mereka dapatkan tidak buruk untuk atlet yang baru berlatih selama tiga bulan.
”Mereka juga tak pernah berkompetisi sebelumnya, tetapi keduanya berani bertanding melawan atlet dunia dan juara Olimpiade asal China. Itu sangat luar biasa,” kata Greg.
Menurut Greg, trampolin bukan olahraga yang mudah. Banyak gerakan penuh detail kecil yang harus dikuasai. Di samping itu, diperlukan keberanian tinggi karena pesenam harus melompat di udara hingga sekitar 10 meter. ”Saya akan bantu mereka. Olahraga ini memerlukan waktu untuk berprestasi,” ucapnya.
Manajer senam, Dian Arifin, menjamin trampolin akan mendapat tempat untuk ajang multicabang selanjutnya. Menurut dia, pengembangan trampolin akan lebih fokus, terutama saat mencari dan membina bakat atlet. Cabang ini menjadi vital karena dipertandingkan di ajang Olimpiade.
”Kami tidak akan lepas begitu saja. Trampolin bisa berjalan beriringan dengan senam artistik dan ritmik,” kata Dian. (Kelvin Hianusa)