PALEMBANG, KOMPAS Kontingen sepatu roda Indonesia gagal meraih medali dari dua nomor final yang dipertandingkan di Arena Sepatu Roda Jakabaring, Palembang, Sumatera Selatan, Jumat (31/8/2018). Modal stamina besar tidak cukup untuk menaklukkan lawan karena salah menerapkan strategi.
Kekalahan dramatis itu terjadi pada final nomor 20 kilometer putri. Dua atlet nasional, Salma Falya Niluh Heryadie dan Alifia Meidia Namasta, sempat memimpin pada 20 putaran pertama, dari total 50 putaran. Pada putaran ke-20 hingga ke-35, kedua pebalap itu terpancing ritme 14 pebalap lainnya yang cenderung menurunkan kecepatan. Niluh dan Namasta justru turun ke barisan tengah dan belakang, seolah bermain aman untuk menghindari kelelahan yang menguras banyak energi.
Berkali-kali jajaran pelatih Indonesia memerintahkan mereka untuk merangsek ke barisan depan, tetapi instruksi itu diabaikan. Puncaknya, juri memperingatkan para pebalap untuk meningkatkan kecepatan. Setidaknya, 3-4 kali juri memperingatkan.
Akhirnya, memasuki putaran ke-35, juri menerapkan sistem eliminasi acak dengan ditandai suara lonceng yang bisa berbunyi kapan saja. Padahal, biasanya eliminasi dilakukan secara urutan setiap dua putaran antara 15-10 putaran terakhir. Adapun yang dieliminasi adalah pebalap-pebalap terakhir yang sampai finis seusai suara lonceng berbunyi.
Perubahan aturan tiba-tiba itu kurang diantisipasi para pebalap sepatu roda Indonesia. Akibatnya, pada putaran ke-38, Niluh tereliminasi. Kemudian, pada putaran ke-48, Namasta menyusul dieliminasi.
Hasil itu menghadirkan kepedihan mendalam bagi para pebalap Indonesia, terlebih Niluh. Pebalap berusia 17 tahun itu benar-benar tidak menyangka bakal tereliminasi. Bahkan, seusai tereliminasi, ia masih mengikuti balapan selama dua putaran kemudian. Oleh karena itu, ketika menyadari dirinya dieliminasi, ia menangis sejadi-jadinya di pinggir lintasan.
Sembari memeluk pelatihnya, Yedhi Heryadie, Niluh mengaku masih sanggup meneruskan balapan tersebut. Staminanya masih sangat prima. Hanya saja, ia salah menerapkan strategi sehingga kalah atau tereliminasi. ”Saya masih kuat. Saya masih bisa menyelesaikan balapan,” ujarnya sambil menangis.
Di luar ekspektasi
Tangis Niluh itu menjadi simbol pilunya prestasi sepatu roda Indonesia di Asian Games 2018. Dari cabang ini ditargetkan meraih satu emas dari nomor 20 km putra dan minimal satu perunggu dari nomor 20 km putri. Kenyataannya, kontingen sepatu roda Indonesia tidak berhasil mendapat apa pun.
Dua pebalap putra Indonesia, Muhammad Oky Andrianto dan Andira Tias, juga gagal meraih medali di nomor 20 km. Oky hanya berada di urutan ketujuh, dengan catatan waktu 33 menit 55,981 detik, dari delapan pebalap yang berhasil masuk finis. Adapun Tias tereliminasi di putaran ke-48.
Pelatih sepatu roda Indonesia di Asian Games 2018, Faisal Norman, mengatakan, capaian itu benar-benar di luar ekspektasi jajaran pelatih Indonesia. Menurut dia, minimal Indonesia harusnya bisa meraih satu medali jenis apa pun, terutama dari sektor putra. Pasalnya, Indonesia sudah lebih paham kondisi arena dan sudah beradaptasi dengan cuaca.
”Bahkan, para atlet sudah digembleng dengan keras agar lebih tahan dengan panas terik di sini,” katanya. (DRI)