Meninggalnya satu pelari dalam Maybank Bali Marathon 2018 menjadi alarm peringatan untuk ajang lomba lari nasional. Duka ini menjadi pelecut bagi pelari maupun penyelenggara untuk lebih peka terhadap faktor keselamatan.
Dunia lari Indonesia berduka setelah seorang pelari kategori 10 K dalam MBM 2018, Denny Handoyo (50), meninggal pada Minggu (9/9/2018) pagi. Denny diduga gagal jantung saat menjelang garis finis.
Setelah memaksakan menambah kecepatan 100 meter mendekati finis, Denny terjatuh. Panitia yang melihat kejadian itu melakukan pertolongan pertama dan membawa Denny ke ambulans. Namun, dia sudah meninggal saat tiba di Rumah Sakit Kasih Ibu, Gianyar, Bali.
”Satu kematian dalam maraton itu terlalu banyak. Satu kasus ini sangat berarti. Ini peringatan di tengah berkembang pesatnya olaharga maraton,” ucap dokter spesialis kedokteran olahraga, Andi Kurniawan, Rabu (12/9), di Jakarta.
Andi menekankan, pelari khususnya bagi amatir, harus mengetahui batas tubuhnya sendiri. Bila sudah ada gejala keanehan dalam tubuh, pelari harus berhenti. Maraton adalah olahraga berisiko tinggi, yang dapat menyebabkan cedera fisik maupun organ vital.
Selain saat berlomba, fase latihan pun menjadi persoalan bagi pelari rekreasional. Mereka kerap berlatih berlebihan tanpa mempertimbangkan asupan makanan dan pola istirahat yang tepat.
”Akibatnya mereka overtrain. Masalahnya mereka bukan pelari profesional yang hanya berlatih lalu istirahat, didukung makanan yang tepat. Terkadang mereka tidak berhenti, habis berlari, langsung kerja, tidak cukup istirahat,” tutur Andi.
Dia menyarankan pelari amatir memeriksakan kondisi tubuh secara berkala. Hal ini untuk mengantisipasi penyakit yang tidak dirasakan. Selain itu, penting bagi pelari mengetahui riwayat medis keluarganya.
Dengan riwayat medis, kematian karena gagal jantung, seperti yang dialami Denny, dapat dicegah. ”Jika ada anggota keluarga meninggal karena gagal jantung di bawah 55 tahun, menandakan ada potensi yang sama. Jadi, kita bisa lebih berhati-hati dan tidak memaksa tubuh,” kata Andi.
Evaluasi keselamatan
Kejadian ini sekaligus menjadi teguran untuk penyelenggara maraton nasional. Pentingnya riwayat medis tidak bisa lagi diabaikan. Penyelenggara harus meniru Paris Maraton yang mensyaratkan peserta menyerahkan surat keterangan dokter. Surat ini bisa menjadi rujukan dokter mengedukasi pelari terkait bahaya dalam tubuh.
Selain itu, perlu ada memaksimalkan kekuatan medis pada 2 kilometer menjelang finis. Menurut data New England Journal of Medicine 2012, 42 persen kematian mendadak terjadi pada kilometer 40-42.
Menurut Andi, maraton memang tidak lepas dari kematian. Masih ada korban meninggal pada Tokyo Marathon 2018. Padahal lomba ini memberikan jaminan tingkat keselamatan yang tinggi. “Namun, prosedur yang membantu keselamatan wajib dilakukan. Terutama untuk edukasi pelari,” sebut Andi.
Koordinator MBM 2018 Wahyu Rizki menuturkan, kasus ini adalah yang pertama sejak MBM digelar pada 2012. Mereka akan mengevaluasi faktor keselamatan pada ajang selanjutnya. Salah satunya adalah dengan meningkatkan edukasi terhadap peserta. ”Kami akan lebih gencar mengedukasi keselamatan dan cara berlatih, untuk membantu pelari,” katanya.
Rizki mengatakan, panitia dan tim medis sudah melakukan langkah sesuai prosedur operasi standar pertolongan pertama. ”Perjalanan ke RS tidak sampai lima menit. Namun, 200 meter sebelum sampai, korban terlihat melemah. saat tiba di RS, dokter menyatakan dia sudah meninggal,” katanya.
MBM bekerja sama dengan asuransi akan memberi santunan pada keluarga Denny. Asuransi sudah disiapkan karena panitia mengetahui konsekuensi maraton.