Pengalaman Tanding Internasional Petinju Indonesia Minim
Oleh
KELVIN HIANUSA
·4 menit baca
Dunia tinju Indonesia kembali bergairah. Setelah paceklik medali dalam 20 tahun terakhir, petinju nasional menyudahi tren buruk lewat raihan dua perunggu di Asian Games. Dengan dukungan dari seluruh pihak, prestasi ini bisa menjadi titik awal kebangkitan tinju.
Tinju Indonesia pernah begitu hebat pada era 1970 – 1990. Tercatat dalam lima edisi Asian Games, kecuali 1982, petinju nasional selalu membawa pulang medali. Bahkan dalam rentang waktu itu, tiga emas berhasil diboyong, dua emas oleh Wiem Gomies dan satunya oleh Pino Bahari.
Konsistensi terus dijaga hingga 1998. Kala itu, masih ada dua medali perak yang berhasil diraih petinju nasional. Namun, setelah itu tinju Indonesia mengalami kemarau prestasi.
Asa muncul di Asian Games 2018. Dua petinju muda, Sunan Agung Amoragam (20) di kelas bantam 56 kilogram dan Huswatun Hasanah (20) di kelas ringan 60 kg putri, meraih medali perunggu setelah kekosongan prestasi dalam dua dekade.
Prestasi itu memang belum memenuhi target satu emas dari Pengurus Pusat Persatuan Tinju Amatir Indonesia (PP Pertina). Akan tetapi, dengan persiapan ala kadar, pertunjukan Sunan dan Huswatun cukup memuaskan dahaga gelar Indonesia. “Ini sudah maksimal yang bisa dilakukan petinju kita,” kata Ketua Umum PP Pertina Johny Asadoma.
Dalam hal persiapan tanding, 10 petinju nasional di Asian Games terbilang sangat kurang. Huswatun dan petinju putri lainnya hanya menjalani satu kali uji coba, yaitu ke India pada awal 2018. Sementara itu, petinju putra sedikit lebih baik, dua kali, ke Ukraina pada April dan Thailand pada Juli.
Mengingat tinju adalah olahraga pertarungan, esensi utamanya adalah bertarung. Meski terus berlatih, kekurangan jam terbang melawan petinju berkualitas akan membuat kemampuan petinju stagnan. Berkaca dari India dan Uzbeksitan, petinju mereka mengikuti 5 – 7 kejuaraan selama persiapan.
Terbukti pada semifinal, Sunan dan Huswatun gagal melaju karena kalah pengalaman di ajang multicabang pertama bagi keduanya. Sunan kebingungan menghadapi petinju Uzbekistan, Mirazizbek Mirzakhalilov, yang bertipe eksplosif.
Di sisi lain, Huswatun kehabisan akal saat bertemu petinju kidal asal Thailand, Sudaporn Seesondee. Dia belum punya pengalaman menghadapi petinju kidal dalam uji coba jelang Asian Games.
Nasib serupa dialami petinju andalan, seperti Mario Blasius Kali (terbang ringan 49 kg), Aldoms Suguro (terbang 52 kg), dan Farrand Papendang (ringan 60 kg). Di perempat final, mereka kewalahan menghadapi petinju cerdik yang terus menghindar dan berlari sepanjang laga. Akibatnya, emosi mereka terpancing yang mengakibatkan pukulan menjadi tidak efisien.
Pelatih kepala tinju Adi Swandana mengaku tidak dapat berbuat banyak ketika laga. “Kami sudah latih mereka untuk menghadapi berbagai tipe lawan. Tetapi itu akan percuma kalau mereka belum mengalami pertarungan sebenarnya,” katanya.
Menuju Tenggara
Dana menjadi kendala PP Pertina untuk mengadakan uji coba. Mereka hanya diberi Rp 1 miliar oleh pemerintah untuk mengikuti kejuaraan di luar negeri. “Jujur saja, ke Ukraina saja sudah Rp 1 miliar. Itu sisanya kami usahakan sendiri cari-cari dana lain,” kata Johny.
Meski begitu, Johny tidak menyalahkan pemerintah. Sebab, tinju bukan prioritas dalam Asian Games. Apalagi, di SEA Games 2017, Indonesia hanya pulang dengan satu emas.
Kini, PP Pertina menatap SEA Games 2019. Dengan dua perunggu di Asian Games, PP Pertina berharap pemerintah dapat memberikan kesempatan uji coba lebih banyak. Mereka juga berharap dukungan untuk merekrut pelatih asing.
“Kita butuh pelajaran teknik lebih banyak, itu bisa diwujudkan dengan pelatih asing. Seperti negara-negara Asia, sekarang sudah menggunakan pelatih asal Kuba,” tutur Johny.
Indonesia seharusnya mampu menguasai Asia Tenggara lewat pembinaan yang serius. Lawan petinju nasional hanya berasal dari dua negara, Thailand dan Filipina. Di Asian Games, Thailand meraih 1 perak dan 5 perunggu, sementara Filipina mendapat 1 perak dan 2 perunggu.
Kondisi ini didukung dengan potensi besar petinju-petinju muda seperti Sunan dan Huswatun. Sunan merupakan petinju lengkap. Dia memiliki mental juara serta kemampuan pukulan kombinasi keras dan cepat. Sementara itu, Huswatun adalah petinju putri pertama yang mengukir prestasi di Asia.